Maandag 27 Mei 2013

diana parmer SP3

1 PARA turis berkerumun di sekitar kedai-kedai makanan di bandara Brussels yang ramai, tempat dua wanita Amerika mencoba memutuskan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Wanita ramping berambut pirang dalam setelan cokelat hampir tercekik gembira ketika dengan geli menatap temannya yang berambut gelap dan mengenakan jaket sutra hijau serta celana longgar. “Bukankah ironis sekali kalau kita mati kelaparan padahal banyak makanan di sekeliling kita” tanya Gretchen Brannon geli. “Oh, hentikan itu,” erang Maggie Barton, berdiri menujang di samping temannya yang tertawa nyaris histeris. “Kita tidak akan mati kelaparan, Gretchen. Kita bisa mendapatkan franc Belgia. Ada tempat penukaran uang di mana-mana!” Ia mengibaskan tangannya dengan ekspresif ke arah toko-toko terdekat, nyaris mengenai seorang pria dan wanita di dalam kedai makanan yang ramai itu. Mata hijau Gretchen berkilat-kilat. “Benarkah? Tepatnya di mana?” Maggie mendesah ketika gagal mengingat sedikit saja bahasa Prancis untuk membaca petunjuk arah. Gretchen mengamati temannya dengan kelopak mata bengkak. Berbeda dengan Maggie yang efisien, yang bisa tidur di pesawat, ia terjaga selama hampir 36 jam nonstop. “Tidak bisakah kau membayangkan tajuk utamanya?” desak Gretchen. “Turis-turis Texas yang lugu ditemukan mati di samping restoran bintang lima...!” Gretchen mulai tertawa lagi. Maggie tidak merasa ada yang lucu. “Duduk saja di sini. Jangan bergerak.” Gretchen menahan desakan gila untuk memberi hormat. Maggie, 26 tahun dan tiga tahun lebih tua daripada Gretchen, adalah rekan junior di perusahaan investasi di Houston. Ia memiliki sikap kepemimpinan yang kadang-kadang menguntungkan. Ia pasti akan menemukan cara mendapatkan mata uang lokal dan kembali dengan banyak makanan dan minuman. Maggie kembali dengan uang franc dan memilah-milahnya, mengerutkan kening sambil mencoba mengingat penjelasan petugas di tempat penukaran uang itu tentang koin-koinnya. “Kita masih punya banyak waktu untuk makan, lalu berkeliling kota sebelum penerbangan kita ke Casablanca siang ini.” Gretchen mengerjap mengantuk. “Ide bagus, tentang turnya. Bisakah kau mencari pemandu yang kuat? Kurasa aku harus digendong...” “Makanan. Kopi. Sekarang. Ayo.” Gretchen dengan patuh membiarkan temannya menariknya berdiri. Mereka pasangan yang aneh, dengan Maggie yang begitu jangkung, berambut cokelat, dan memiliki lekuk tubuh yang indah, dan Gretchen dengan tubuh ramping, tinggi tubuh sedang, kulit putih, dan rambut pirang panjang. Mereka menarik tas masing-masing, berakal sehat untuk tidak membawa banyak bawaan karenanya bisa lolos dan keharusan menunggu bagasi seringkali tidak tiba bersama para penumpang. Magie terbatuk-batuk pasrah. “Semua orang merokok di berbagai tempat di sini,” gerutunya. “Tidak ada bagian tidak merokok, ya?” Gretchen tersenyum lebar. “Tentu saja ada. Ke sanalah asap rokok diembuskan.” Maggie memberengut. “Bagaimana dengan bar makanan di sana?” tanyanya, menunjuk kedai di dekat jendela. “Tempat itu nyaris terpencil dan tidak ada orang yang merokok.” “Aku bisa makan kerak roti yang sangat kering,” Gretchen setuju. “Dan kalau kita tidak punya cukup uang, aku bahkan akan mencuci piring dengan sukarela!” Mereka memesan pasta dengan tomat dan jamur, dan roti buatan sendiri—di piring keramik asli, dengan peralatan makan asli—di konter. Ketika mereka menghabiskan kopi kedua mereka, Gretchen merasa segar. “Sekarang yang harus kita lakukan adalah mencari tur cocok,” kata Maggie ceria. “Aku akan menelepon agen tur dan melihat apakah kita bisa meminta seseorang menjemput kita.” Gretchen hanya mendesah. Ia duduk dan memejamkan mata akan sangat menyenangkan kalau memiliki ranjang dan bisa tidur sepuluh jam tanpa gangguan. Tetapi mereka masih berjam-jam jauhnya dari hotel mereka di Tangiers, Maroko. Lima belas menit yang mengesalkan kemudian, Maggie menutup telepon dan menggumamkan kata-kata kasar ke arah telepon sambil menyikut Gretchen yang sedang tidur. “Aku tidak bisa membaca buku telepon, semuanya dalam bahasa Prancis, aku tidak tahu koin mana yang harus digunakan karena aku tidak bisa berbahasa Prancis, dan aku tidak bisa menemukan orang yang menjawab telepon yang bisa memahamiku karena aku tidak bisa berbahasa Francis!” “Jangan melihatku,” kata Gretchen ramah. “Aku tidak bisa berbahasa Prancis, sedikit pun tidak. Aku hanya bisa berbahasa Spanyol, dan sepertinya tidak ada orang di sini yang memahaminya.” “Aku juga bisa berbahasa Spanyol, tapi kita berada di negara yang salah untuk menggunakannya. Well,” kata Maggie kesal, “kita akan keluar dan memanggil taksi. Itu pasti cukup mudah. Benar, bukan?” Gretchen tidak berkata apa-apa. Ia mendesah dan bangkit, menyeret tas di belakangnya seperti anak anjing yang enggan. Bandara Brussels besar, modern, dan ramah. Setelah menemukan sederet jalan buntu, mereka menemukan taksi yang bagus, dengan sopir menyenangkan dan ramah yang bahasa Inggris-nya seburuk bahasa Prancis Maggie. Maggie dan Gretchen berhasil mengikuti tur dan melihat beberapa pemandangan menakjubkan. Turnya lama, menyenangkan, dan mendidik. Tetapi akhirnya mereka harus kembali ke bandara atau berisiko ketinggalan penerbangan lanjutan mereka. Bersemangat karena kopi, makanan, dan turnya, Gretchen kini tersadar penuh dan tak sabar ingin melihat Maroko—tanah unta-unta dan padang pasir Sahara—dan orang-orang Berber yang terkenal di pegunungan Rif. Ia sudah tidak sabar melihat tanah kuno di wilayah padang pasir itu. Beberapa jam kemudian, dan setelah menikmati makanan kecil menakjubkan dari Timur Tengah, pesawat mereka mendarat di Casablanca, Maroko, tempat mereka harus Mencari terminal untuk penerbangan lanjutan ke Tangier. Kebiasaan-kebiasaan menarik selama penerbangan adalah dibagikannya makanan tradisional Maroko dan surat kabar dalam berbagai bahasa asing untuk para penumpang dan juga kebiasaan rutin untuk bertepuk tangan kapada pilot ketika pesawat sudah mendarat dengan selamat. Maggie dan Gretchen bergabung dengan kegembira dan melangkah ke dunia lain, tempat pria dan wanita mengenakan jubah panjang yang anggun, dan para wanita mengenakan tutup kepala dengan cadar atau syal yang dililitkan erat-erat di sekeliling kepala mereka. Ada banyak anak kecil yang bepergian bersama orangtua mereka. Di dalam terminal Casablanca, yang jauh lebih kecil dari pada yang mereka duga, para pengawal bersenjata dalam pakaian loreng menuntun para penumpang ke bagian bea cukai dan dari sana ke berbagai ruangan terminal untuk menunggu penerbangan-penerbangan mereka. Kamar mandinya, walaupun kecil dan sederhana, memiliki penjaga yang bisa berbahasa Inggris dan merupakan sumber informasi tentang kota dan masyarakatnya. Maggie dan Gretchen menukar mata uang Amerika dengan dirham di bandara setelah melewati bea cukai—sebelum melewati pemeriksaan bagasi serta mesin pendeteksi logam lagi saat akan naik ke pesawat berikutnya. Casablanca kota yang besar, dipenuhi gedung-gedung bercat putih dan pencakar langit modern dengan kemacetan lalu lintas seperti yang bisa ditemukan di kota mana pun. Ketika pesawat mereka—yang bertingkat dua—lepas landas, mereka sempat melihat kota eksotis yang indah itu dari atas Samudra Atlantik. Hanya tiga setengah jam kemudian, setelah sesak napas karena para penumpang di penerbangan ini diizinkan merokok, pesawat anggun itu mendarat di tarmak bandara Tangier yang kecil. Akhirnya, setelah paspor dicap dan bagasi diperiksa, mereka keluar dari terminal ke udara malam yang lembap dan nyaris tropis di Tangier, Laut Mediterania. Banyak taksi parkir di sepanjang jalan di depan terminal. Para sopirnya menunggu penumpang-penumpang yang kelelahan dengan sabar. Sopir taksi yang dihampiri Maggie dan Gretchen tersenyum, mengangguk sopan, memasukkan tas mereka ke bagasi Mercedes-nya, dan akhirnya mereka dalam perjalanan ke Hotel Minzah, hotel berbintang lima di atas bukit yang menghadap pelabuhan. Jalan-jalannya diterangi lampu, dan hampir semua orang mengenakan jubah. Kota itu memiliki penampilan yang aneh, dengan benda-benda kuno dan kebiasaan-kebiasaan mulia, dengan para turis kosmopolitan, misteri, dan intrik. Ada pohon palem di mana-mana. Jalannya, bahkan pada malam hari, dipenuhi orang, beberapa di antaranya mengenakan pakaian Eropa. Mobil-mobil berlalu lalang di jalan, klakson dibunyikan. Kepala-kepala melongok dari kaca jendela dan, diikuti lambaian tangan yang aneh, gerutuan orang Berber terdengar ramah sementara para sopir berlomba-lomba masuk ke lalu lintas yang mengalir tenang. Aroma tajam yang samar tercium di mana-mana, manis, asing, dan sangat bernuansa maroko. Itu lompatan besar ke dalam dunia asing bagi Gretchen dan Maggie, karena mereka tidak bisa menemukan tur yang hanya menampilkan Tangier. Mereka memesan tiket melalui agen perjalanan dan merencanakan jadwal perjaanan mereka sambil jalan. Singgah di Brussels dalam perjalanan ke Afrika, dan singgah di Amsterdam dalam perjalanan kembali dari Afrika memang disengaja, untuk memberi mereka sedikit kesan tentang Eropa. Perjalanan ini mulai terasa seperti perjalanan hebat, terutama karena kini mereka berada di Maroko, dan di mana-mana ada sedikit masa lalu kuno, tempat para penduduk Berber menunggangi kuda-kuda jantan Arab melawan orang-orang Eropa untuk menyatakan kepemilikan atas kampung halaman mereka yang kuno dan suci. “ini,” kata Gretchen, oleng karena sudah menempuh perjalanan jauh tanpa tidur, “adalah petualangan yang paling luar biasa.” “Kubilang juga apa,” Maggie membenarkan sambil terseyum. “Anak malang, kakimu capek, ya?” Gretchen mengangguk. “Tapi semuanya sepadan dengan waktu tidur yang hilang.” Ia memberengut ketika memandang ke luar jendela. “Aku tidak melihat sahara.” “Gurun Sahara berjarak 960 kilometer dari sini,” kata sopir sambil melirik kaca spion ke arah mereka. “Tangier adalah kota pelabuhan di Mediterania, Mademoiselle.” “Hilang sudah perjalanan kita ke padang pasir,” Gretchen terkekeh. “Oh, tapi banyak yang bisa dilihat di sini,” kata Si sopir taksi ingin membantu. “Museum Forbes, Grotto of Hercules, Grand Socco...” “Pasar,” kata Maggie, teringat. “Ya, brosur perjalanan menyebutkan bahwa tempat itu sangat besar!” “Benar,” si sopir mengiyakan. “Dan mungkin Anda bisa menyewa mobil, lalu mengemudi ke Asilah di pesisir laut Atlantik untuk hari pasar,” ia menambahkan. “Itu pemandangan yang pantas dilihat, di sana semua penduduk negara ini membawa hasil panen dan barang-barang mereka untuk dijual.” “Dan mungkin kita bisa melihat kasbah-nya,” Gretchen menambahkan dengan nada melamun. “Salah satu kasbah,” Si sopir mengoreksi. “Ada lebih dari satu?” tanya Gretchen kaget. “Ah, ya, film Amerika. Humphrey Bogart.” Si sopir terkekeh. “Kasbah hanyalah kota yang dikelilingi dinding, Mademoiselle. Toko-toko ada di dalam kasbah kami, di Tangier sini. Anda akan melihatnya. Sangat tua. Tangier sudah dihuni sejak tahun 4000 SM, dan yang pertama tinggal di sini adalah orang-orang Berber.” Ia menyebutkan beberapa detail sejarah lain selama perjalanan melintasi kota dan naik ke bukit kecil, ke gedung bermuka datar yang bergabung dengan toko-toko kecil. Ia meminggirkan mobilnya dan berhenti, lalu mematikan mesin. “Hotel Anda, Mademoiselle.” Si sopir membukakan pintu dan memberikan koper-koper mereka kepada pria muda yang keluar dari hatel sambil tersenyum menyambut. Itu bukan hotel berbintang lima yang mereka harapkan, setidaknya dari luar. Tetapi kemudian para wanita itu masuk ke gedung dan ternyata berjalan ke dalam kemewahan. Sang concierge di meja mengenakan kopiah merah dan jas putih. Dia sedang sibuk melayani tamu lain, jadi kedua wanita itu menunggu bersama koper-koper mereka, memandang berkeliling ke arah karpet yang anggun dan kayu gelap berukir di sofa dan kursi, di bawah mozaik berbingkai di ruang terbuka di samping lobi. Lift yang berada di dekat sana sedang bekerja keras. Sang concierge selesai dengan tamunya dan tersenyum sepada kedua wanita itu. Maggie melangkah maju dan menyebutkan namanya, karena kamar dipesan atas namanya. Dalam waktu singkat, mereka sudah dalam perjalanan ke atas bersama pria muda yang membawakan koper-koper mereka. Kamar mereka menghadap Laut Mediterania. Tetapi lebih dekat, di bawah, adalah pekarangan hotel yang berbunga dengan kolam renang dan banyak tempat untuk duduk-duduk sambil menikmati pemandangan ke arah laut Mediterania di bawah pohon-pohon palem yang menjulang, tidak terlihat dari jalan raya. Kelihatan seperti foto-foto yang pernah Gretchen lihat dari pulau-pulau indah di Karibia. Aroma udara laut sangat enak, dan kamarnya eksotis, besar, dengan kamar mandi dan toilet yang terpisah. Ada telepon dan bar kecil berisi minuman dengan air kemasan, bir, dan makanan kecil. “Kita sudah pasti tidak akan kelaparan,” gumam Maggie sambil menjelajahi kamar. Gretchen mengeluarkan gaun tidur dari kopernya, berganti pakaian, memanjat ke balik selimut, dan tidur Sementara Maggie bertanya tentang layanan kamar... Walaupun banyak orang membicarakan tentang jet lag, Gretchen dan Maggie terbangun dalam keadaan segar dan lapar pada jam delapan keesokan paginya. Mereka kemudian mengenakan celana panjang longgar dan kemeja, ingin mencari sarapan dan mulai berkeliling kota kuno yang pernah menjadi bagian dari kerajaan Romawi. Sang concierge mengarahkan mereka ke bufet sarapan yang luar biasa dan memperkenalkan mereka kepada pemandu kota berlisensi yang akan menjemput mereka dua jam lagi untuk melihat-lihat kota. Mereka diperingatkan si pemandu untuk tidak berkeliaran di jalanan sendirian tanpa pemandu. Sepertinya masuk akal menuruti peraturan itu, dan mereka setuju menunggu Si pemandu di dalam hotel. “Apakah kau melihat harga makanan bufet itu?” tanya Maggie ketika mereka duduk untuk sarapan. “Tidak sampai satu dolar Amerika, untuk semua ini.” Ia mengernyit. “Gretchen, apakah kau ingin tinggal di Tangier?” Gretchen tertawa. “Aku sangat suka di sini, tapi bagaimana Callie Kirby akan hidup tanpaku di kantor hukum itu?” Maggie menatap Gretchen lama dalam diam. “Kau akan menua dan mati di kantor hukum itu, sendirian dan di dalam tempurung,” kata Maggie lembut. “Kepergian Daryl adalah hal terburuk yang pernah terjadi padamu, langsung setelah kematian ibumu.” Mata biru Gretchen sedih. “Aku memang bodoh. Semua orang bisa melihat pria macam apa dia sesungguhnya, kecuali aku.” “Kau tidak pernah benar-benar mendapatkan perhatian dari pria,” jelas Maggie. “Wajar saja kau tergila-gila pada pria pertama yang memperlakukanmu dengan baik.” Gretchen meringis. “Dan yang sebenarnya dia inginkan aalah uang asuransi. Dia tidak tahu peternakan itu sudah digadaikan, dan tidak akan ada uang. Kami pasti akan kehilangan peternakan itu kalau kakakku Marc tidak memiliki simpanan yang cukup untuk membayar sebagian tuggakannya.” “Menyedihkan sekali Daryl kabur dari kota sebelum kakakmu menangkapnya,” kata Maggie dingin. “Marc membuat orang-orang ketakutan kalau sedang marah,” kenang Gretchen sambil tersenyum. “Dia legenda setempat bahkan sebelum keluar dari Texas Rangers dan bergabung dengan FBI.” “Marc menyayangimu. Aku juga.” Maggie menepuk-nepuk tangan Gretchen dan tersenyum. “Aku sama sepertimu, hanya menjalani rutinitas. Kuputuskan aku butuh lompatan besar, petualangan besar untuk menarikku keluar dari kemudahan hidup. Jadi aku akan pergi ke Qawi menjadi asisten pribadi syekh yang menguasai seluruh negeri ini,” ia menambahkan. “Bagaimana menurutmu dengan lompatan besar semacam itu?” Gretchen terkekeh. “Mungkin keputusan paling besar yang akan pernah kaulakukan. Kuharap kau tahu apa yang sedang kaulakukan,” ia menambahkan. “Aku pernah mendengar cerita-cerita menakutkan tentang negara-negara Timur Tengah dan hukuman-hukumannya yang mengerikan.” “Tidak di Qawi,” kata Maggie ringan. “Tempat itu sangat maju dalam hal budaya, dengan pemeluk agama yang merata sehingga membuatnya unik di Teluk Persia. Dan semua uang dan hasil penjualan minyak akan membuat tempat tersebut menjadi kosmopolitan dengan sangat cepat. Sang syekh sangat berpikiran maju.” “Dan lajang, kaubilang?” goda Gretchen. Maggie mengerutkan kening. “Ya. Kau ingat, kurang lebih dua tahun lalu negaranya diserang, dan ada skandal besar tentang itu. Aku menonton beberapa siaran berita yang meliput masalah itu. Ada juga beberapa gosip tentang pria itu, gosip yang tidak menyenangkan, tetapi pemerintahannya sudah memberikan penjelasan.” Gretchen menyesap kopinya. “Mungkin dia tampan, seksi dan terlihat seperti Rudolph Valentino. Apakah kau pernah menonton film bisu berjudul The Sheikh?” lanjut Gretchen sambil melamun. “Bayangkan fantasi seperti itu benar-benar berubah menjadi nyata, Maggie. Diculik syekh tampan berkuda putih yang kemudian jatuh cinta setengah mati padamu! Hanya memikirkannya sudah membuat bulu kudukku merinding.” Ia mengernyit. “Mungkin aku tidak cocok menjadi wanita modern. Mungkin aku sebaiknya bermimpi melempar syekh tampan ke kudaku dan pergi dengan dia sebagai tawananku.” Desahan panjang meluncur dari bibir Gretchen. “Oh, well, itu hanya lamunan. Kenyataan tidak pernah seheboh itu, tidak untukku. Kau lebih cocok menjadi perempuan yang memikat pria-pria tampan dan seksi.” Maggie tertawa hampa. “Aku tidak terlalu beruntung dalam hal pria tampan dan seksi,” katanya. Gretchen tahu Maggie sedang berpikir tentang kakak angkatnya, Cord Romero. “Well, jangan melihatku,” renung Gretchen, mencoba meringankan suasana. “Aku hanya menarik perhatian gigolo.” “Daryl bukan gigolo, dia bajingan. Seharusnya kau berkencan dengan pria-pria yang satu spesies denganmu,” kata Maggie angkuh. Gretchen tertawa terbahak-bahak. “Oh, kau membuatku merasa sangat mandiri dan berani,” katanya bersunguh-sungguh. “Aku sangat senang kau mengajakku ikut berlibur dan membayarkan sebagian pengeluaranku sehingga aku bisa ikut,” tambah Gretchen penuh syukur. “Walaupun aku harus terbang pulang sendiri. Aku akan merindukanmu,” katanya pelan. “Kita tidak akan bisa berbelanja bersama atau bahkan mengobrol di telepon saat liburan.” Maggie mengangguk serius. Ia akan terbang dari sini ke Qawi. Perannya sebagai asisten pribadi syekh yang berkuasa adalah bertanggung jawab dalam hal hubungan bermasyarakat, pekerjaan di istana, dan tugas-tugas mengurus rumah tangga. Itu akan menjadi pekerjaan yang menantang, dan ia mungkin akan merindukan Texas. Tetapi ia pernah berkata pada Gretchen bahwa apa pun akan lebih baik dari pada neraka karena berada di dekat Cord Romero, yang sudah menyatakan dengan jelas bahwa. Maggie tidak akan pernah menjadi bagian dari hidupnya. Maggie dan Cord adalah anak yatim piatu, diadopsi seorang ibu di Houston. Mereka tidak memiliki hubungan darah, tetapi Cord memperlakukan Maggie seperti saudara. Beberapa tahun yang lalu Cord menikah, dan istrinya, Patricia, bunuh diri setelah Cord nyaris terluka fatal dan tidak bisa, atau tidak mau, melepas kariernya sebagai agen pemerintah. Tidak lama setelah kematian Patricia, Cord meninggalkan pasukan penegak hukum dan bekerja sebagai tentara bayaran profesional, mengkhusus-kan diri pada penjinakan bom. Itu yang Cord kerjakan sekarang, dan Maggie sudah berusaha menjaga jarak dengan Cord sampai tiba-tiba ibu angkat mereka meninggal. Maggie menikah beberapa minggu kemudian, tetapi suaminya, yang usianya jauh lebih tua, ternyata invalid dan meninggal hanya enam bulan setelah pernikahan mereka. Maggie dan Cord saling rnenghindar sejak saat itu. Gretchen bertanya-tanya apa yang terjadi, tetapi Maggie tidak pernah mengatakan apa-apa. Ketika Cord tanpa disangka-sangka kembali ke Houston dan masuk ke lingkaran profesi yang sama Seperti Maggie, di antara tugas-tugas luar negeri, Maggie mengajukan lamaran dan mendapatkan pekerjaan di negara lain. Negara yang ironisnya pernah Cord ceritakan kepadanya. Cord baru kembali dari pekerjaan di Qawi, membantu mengamankan wilayah tua yang beranjau bekas invasi gerilya. Ketika Maggie mencari tahu tentang pekerjaan itu, ia menyadari bahwa bayarannya besar— jauh lebih besar daripada posisinya sekarang sebagai penasihat keuangan. Kali ini ia bertekad memutuskan hubungan dengan Cord. Ia pun memutuskan untuk sekalian berlibur. Ia mengajak temannya, Gretchen, terutama karena Grechen sangat putus asa setelah kematian ibu dan pengkhianatan tragis kekasih seriusnya. Sejauh ini perjalanannya luar biasa. Tetapi tidak lama lagi Maggie akan terbang ke Qawi dan Gretchen akan naik pesawat sendiri ke Amsterdam, dan dari sana ia akan terbang kembali ke Texas. Gretchen pasti kesepian, tetapi ia akan melihat-lihat dunia. Ia membutuhkannya. Ia sudah merawat ibunya yang terkena serangan kanker dua kali selama enam bulan terakhir. Gretchen berusia 23 tahun dan ia sepolos anak remaja di sekolah biara. Ia tidak mendapat banyak kesempatan untuk berkencan, karena ibunya sakit parah—dan sangat posesif pada anak satu-satunya. Ayah Gretchen meniggal dunia ketika Gretchen berumur sepuluh tahun dan kakak laki-lakinya Marc berumur delapan belas tahun, dan itu membuat hidup mereka jauh lebih sulit. kalau bisa pulang, Marc tinggal bersama Gretchen dan seorang mandor beserta keluarganya di peternakan mereka di Jacobsville, Texas. Marc bekerja untuk FBI, dan menghabiskan banyak waktu bekerja di luar kota. Pekerjaannya tidak memungkinkan Marc membantu Gretchen merawat ibu mereka, walaupun dia jelas membantu memenuhi kebutuhan mereka. “Maroko,” seru Gretchen dan tersenyum pada Maggie. “Aku tidak pernah bermimpi bisa mengunjungi tempat begitu eksotis.” Maggie hanya tersenyum. “Kau sangat pendiam,” kata Gretchen tiba-tiba, penasaran dengan sikap diam temannya yang tidak biasa. Maggie biasanya yang paling cerewet di antara mereka. Maggie’ mengangkat bahu dan menangkup cangkir kopi dengan kedua tangan. “Aku sedang memikirkan... rumah” “Memalukan sekali. Kita sedang liburan dan baru saja tiba di sini. Kau tidak mungkin sudah rindu rumah.” Maggie tersenyum lemah. “Aku bukannya rindu rumah. Tidak juga. Aku hanya berharap segalanya bisa jadi lebih baik.” “Dengan Cord,” kata Gretchen mengerti. Maggie mengangkat bahu. “Tidak mungkin berhasil. Dia tidak akan bisa melupakan kematian Pat dan tidak akan pernah meninggalkan pekerjaannya. Dia terlalu menyukai pekerjaan itu.” “Orang-orang akan berubah kalau semakin tua,” kata Gretchen. “Dia tidak akan berubah.” Ada nada pasti dan sedih dalam pernyataan itu. “Aku sudah menghabiskan sebagian besar hidupku berharap dia sadar dan mencintaiku. Dia tidak akan pernah mencintaiku. Aku harus belajar hidup tanpa dirinya sekarang.” “Dia mungkin akan merindukanmu dan bergegas naik pesawat pertama untuk membawamu pulang.” “Rasanya tidak mungkin.” “Aku juga tidak mungkin bisa datang ke Maroko,” sahut Gretchen nakal. Ia menghabiskan telur orak-ariknya yang dimasak sempurna. Maggie memaksakan seulas senyum. “Oh, baiklah. Sang syekh masih muda, memesona, dan lajang. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi?” “Siapa tahu?” Gretchen prihatin karena Maggie memutuskan mengambil tindakan drastis ini. Ia akan sangat merindukan Maggie. Callie Kirby, rekan kerjanya di kantor hukum di Jacobsville, adalah teman yang luar biasa, tetapi Maggie sahabat terbaik Gretchen sejak kecil. Sudah cukup buruk ketika Maggie pindah ke Houston. Kepergian Maggie keluar negeri ini jauh lebih buruk. “Kau bisa datang dan mengunjungiku,” kata Maggie. “Aku boleh menerima tamu. Kami mungkin bisa mencarikan pangeran untukmu.” “Aku tidak menginginkan pangeran,” kata Gretchen sambil terkekeh. “Aku akan puas dengan koboi baik yang memiliki kuda sendiri, dan hati yang baik.” “Hati yang baik sangat langka,” cetus Maggie. “Tapi mungkin kau akan menemukannya suatu hari nanti. Kuharap begitu.” “Kau bisa pulang bersamaku,” kata Gretchen serius. “Belum terlambat untuk berubah pikiran. Bagaimana kalau Cord tiba-tiba menyadari bahwa dia tergila-gila padamu. sementara kau berjarak 3.200 kilometer jauhnya?” “Seperti yang kau katakan tadi, dia tahu cara naik pesawat.” sahut Maggie tegas. “Sekarang mari kita bicarakan sesuatu yang menyenangkan.” Gretchen tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi ia sangat harap Maggie tahu apa yang dilakukannya. Menjadi turis berbeda dengan menjadi wanita mandiri di negara asing. Pekerjaan itu kedengarannya terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Dan bukankah Qawi adalah masyarakat yang didominasi pria, tempat wanita memiliki kamar-kamar terpisah dan kehidupan terpisah dari pria? Rasanya aneh sang syekh tidak hanya menginginkan pegawai humas wanita, tetapi juga wanita dari negara asing yang terkenal dengan wanita-wanita liberalnya, Mungkin ada revolusi kecil-kecilan yang sedang berlangsung di Qawi. Gretchen berharap begitu. Ia tidak ingin sahabat terbaiknya berada dalam bahaya. Tetapi, Gretchen menghibur diri, mereka masih memiliki waktu seminggu untuk bersenang-senang di Tangier. ini akan menjadi perjalanan yang sempurna. Ia tahu itu. 2 TETAPI semua rencana Maggie untuk liburan dan pekerjaan barunya hancur keesokan pagi ketika menerirna telepon internasional tak terduga dari Jacobsville, Texas. “Aku tidak suka mengabarkan ini,” kata Eb Scott, teman Maggie, dengan pelan. “Cord terluka. Seminggu yang lalu ia ke Florida untuk bekerja, memasang bom-bom kecil di tong untuk detonasi jarak jauh dan bom itu meledak di depan wajahnya.” Setiap tetes darah mengering dari wajah Maggie. Ia mencengkeram gagang telepon seperti tali penyelamat. “Apakah dia... mati?” tanyanya dalam bisikan serak. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berabad-abad itu Eb berkata, “Tidak. Tapi dia berharap dia mati. Dia buta, Maggie.” Maggie memejamkan mata, mencoba membayangkan pria angkuh dan mandiri itu berjalan dengan tongkat atau anjing penuntun, mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan hidupnya. “Di mana dia sekarang?” tanya Maggie. “Kakak Gretchen, Marc, sedang berada di Miami ketika hal itu terjadi. Dia menjemput Cord dan membawanya pulang setelah Cord diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Cord ada di peternakannya di luar Houston.” Ragu sejenak. “Aku tidak tahu soal ini sampai Marc meneleponku dalam perjalanan kembali ke Miami.” “Apakah Cord sendirian?” “Sendirian,” kata Eb kesal. “Dia tidak mau datang ke sini dan tinggal bersama Sally dan aku di Jacobsville, atau bahkan dengan Cy Parks. Dia tidak punya kerabat, bukan?” “Hanya aku,” kata Maggie sambil tertawa hampa, “kalau aku bisa disebut kerabat.” Ia ragu sejenak, berpikir cepat. “Kurasa dia akan menendangku keluar kalau aku pulang untuk tinggal bersamanya.” “Sebenarnya,” kata Eb perlahan, memilih kata-katanya, “Marc bilang Cord memanggil namamu ketika mereka membawanya ke rumah sakit.” Jantung Maggie melompat. Itu yang pertama kalinya. Ia tidak ingat kapan Cord pernah membutuhkannya. Cord memang menginginkannya, tetapi hanya sekali, dan ia bahkan tidak sadar waktu itu... “Aku menelepon Cord begitu Marc berkata dia sudah membawa Cord pulang. Cord mengatakan dia pikir kau belum tentu mau menjaganya, tapi aku bisa meneleponmu kalau aku mau,” Eb menambahkan dengan kering. “Jadi aku meneleponmu.” “Benar-benar pemilihan waktu yang luar biasa,” kata Maggie, saraf-sarafnya tegang. “Aku sedang dalam perjalanan menuju pekerjaan baruku dan liburanku masih tersisa seminggu. Ia melirik Gretchen, yang menguping ranpa malu, dan meringis. “Aku tidak tahu bagaimana melakukannya, tapi aku akan terbang ke Brussels siang ini kalau bisa mendapatkan pesawat, lalu meneruskannya dengan penerbangan nonstop pulang ke Texas.” “Aku tahu kau akan melakukannya,” kata Eb lembut. ‘Aku akan memberitahu Cord.” “Terima kasih, Eb,” kata Maggie tulus. “Dengan senang hati. Semoga perjalananmu menyenang-kan. Dan Marc menyuruh Gretchen berhati-hati kalau berjalan-jalan sendirian di sana.” “Akan kukatakan padanya. Cord... kebutaannya... apakah itu permanen?” tanya Maggie. “Mereka belum yakin.” Maggie mengucapkan terima kasih kepada pria itu dan menutup telepon. “Cord terluka,” katanya tanpa basa-basi, “dan aku harus pulang, hari ini. Aku minta maaf karena meninggalkanmu tiba-tiba...” Tahu bagaimana perasaan Maggie pada Cord, Gretchen lebih memilih membiarkan dirinya diculik para bandit dari pada menunjukkan ketakutan karena sendirian di negeri asing. “Jangan khawatirkan aku. Aku bisa menjaga diri” kata Gretchen dengan kepercayaan diri yang lebih besar dari pada yang dirasakannya setelah Maggie menjelaskan apa yang terjadi. “Tapi bagaimana dengan pekerjaanmu, Maggie?” Maggie menatap temannya dan otaknya sibuk bekerja. Sebuah rencana terbentuk... “Kau bisa melakukannya.” Gretchen melongo menatap Maggie. “Apa?” “Kau bisa pergi ke Qawi dan mengambil pekerjaan itu. dulu,” kata Maggie ketika Gretchen hendak memprotes. “Itulah yang kaubutuhkan. Kau akan menyia-nyiakan diri sendiri dengan terus berkutat di kantor hukum kecil di Jacosbville. Kau sudah menyia-nyiakan sebagian besar hidupmu demi merawat ibumu. Sudah waktunya kau melihat dunia nyata. ini kesempatan sekali seumur hidup!” “Tapi aku paralegal,” Gretchen mengerang. “Aku tidak tahu bagaimana mengatur pesta dan menulis pernyataan pers. Dan sang syekh mengharapkan janda berambut hitam...!” “Katakan padanya kau mengecat rambutmu, dan jangan menyebut-nyebut dirimu janda,” kata Maggie, menyeret kopernya dan berjalan ke lemari tempat pakaian-pakaiannya digantung. “Kau bisa menggunakan tiketku dan aku akan memberikan semua sisa uangku kepadamu.” “ini gagasan yang sangat buruk...” “ini gagasan yang luar biasa,” bantah Maggie. “Kau akan bersenang-senang. Kau bahkan mungkin bisa menemukan bujangan yang baik.” “Oh, itu gagasan yang hebat,” renung Gretchen tidak keruan. “Aku bisa menjadi istri keempat yang terbungkus pakaian dari kepala sampai ujung jari kaki di dalam harem seseorang!” Maggie melemparkan tatapan datar ke arahnya. “Banyak yang harus kaupelajari tentang wanita Muslim. Mereka juga hidup berdasarkan nilai-nilai kebaikan yang kita anut, dan mereka memiliki kekuatan sendiri. Di Qawi dan beberapa negara lain, mereka memiliki hak pilih dan memiliki independensi dalam hal keuangan. Di Qawi juga ada banyak wanita dan pria Kristen. Gosipnya tidak hanya mayoritas penduduknya beragama Kristen, tetapi sang syekh sendiri juga beragama Kristen. Orangtuanya berbeda agama.” “Seingatku, ada gosip tentang kecenderungan seksual sang syekh yang aneh,” Gretchen mengingatkan Maggie. “Kau sendiri yang mengatakannya kepadaku.” “Hal itu sudah dijelaskan dalam wawancara INN,” kata Maggie sambil lalu. “Senator Holden berkata bahwa sang syekh sendiri yang memulai gosip itu untuk menyelamatkan istri Pierce Hutton sebelum ayah tiri wanita itu menyakitinya. Media berkata dia tidak pernah bisa melupakan Brianne Hutton.” Maggie mulai menarik pakaian-pakaiannya dari gantungan. “Mrs. Hutton sama sekali tidak cantik, tapi dia punya senyum yang indah dan berbusana dengan gaya menarik. Mungkin sang syekh tertarik karena dia sangat pirang.” “Kurasa pria itu sangat gelap, bukan?” tanya Gretchen. “Aku tidak tahu. Aku belum pernah melihatnya, dan tidak banyak foto dirinya yang beredar. Bahkan saat pelantikannya, dia mengenakan bisht upacara di luar jubahnya, juga tutup kepala dan igal untuk menahan tutup kepala itu di tempatnya, dan dia berhasil menyembunyikan sebagian wajahnya dari pers internasional.” Maggie selesai berkemas, pikirannya masih terpusat pada Cord selagi mengurus kertas-kertas dan dompetnya. “Mungkin dia punya bisul,” kata Gretchen jail. Maggie tidak memperhatikan. Ia memandang ke sekeliling ruangan. “Kalau aku melupakan sesuatu, kirimkan saja kepadaku ya? ini.” Ia menyerahkan segepok uang kertas dan uang logam Maroko kepada Gretchen. “Aku tidak bisa membawa uang-uang ini keluar negeri, dan aku tidak akan punya waktu menukarkannya. Kau bisa menghabiskan satu minggu ke depan di sini, lalu terbang ke Qawi. Pada saat sang syekh menyadari kau bukan aku—kalau dia akhirnya sadar—posisimu sudah akan sangat nyaman sampai-sampai dia mungkin akan mempertahankanmu.” “Optimis.” Gretchen memeluk temannya. Sambil tersenyum Maggie mengangkat gagang telepon, lalu berbicara dengan nada singkat dan mendesak kepada pria baik hati di meja resepsionis. “Terima kasih,” kata Maggie setelah sesaat. “Aku akan segera turun.” Ia mengumpulkan barang-barangnya, dan berbicara kepada Gretchen dari balik bahu. “Resepsionis akan mencarikan tiket untukku. Mobil akan menunggu di bawah. Mustapha akan mengantarku ke bandara. Ingat, jangan keluar hotel sendirian. Berjanjilah padaku.” “Aku berjanji. Maggie, kau juga berhati-hati. Kuharap Cord baik-baik saja.” “Tanpa penglihatannya?” tanya Maggie sedih. “Yang bisa kulakukan hanyalah apa yang dia izinkan kulakukan, dan itu tidak akan mudah. Tapi mungkin aku bisa membantunya menyesuaikan diri Setidaknya dia membutuhkan aku. Hal itu tidak pernah terjadi.” “Keajaiban terjadi saat kau tidak mengharapkannya,” kata Gretchen dengan nada menghibur. “Kuharap begitu. Cord membutuhkan keajaiban. Tulis surat kepadaku!” seru Maggie sambil meraih koper yang ia kemas dengan buru-buru dan keluar dari pintu. “Tentu saja.” Keheningan yang amat hampa terasa setelah kepergian Maggie sampai Gretchen hampir tidak bisa menanggungnya. Ada acara televisi, tetapi hanya beberapa saluran, dan kebanyakan di antaranya dalam bahasa Arab atau Prancis. Hanya saluran berita yang berbahasa Inggris. Ruangan itu luas, tetapi situasi ini rasanya menyesakkan. Gretchen harus meluruskan kaki. Ia memutuskan untuk pergi ke kolam renang. Ia mungkin bisa mendapatkan sedikit sinar matahari selagi bisa. Siang itu terasa sepi, walaupun Gretchen bertemu turis-turis lain dan mulai mengenali mereka. Tetapi ia duduk sendirian di meja sepanjang makan siang dan makan malam, dan masuk ke kamarnya lebih awal. Ia memperkirakan sekarang Maggie pasti sedang dalam perjalanan ke Brussels untuk dilanjutkan dengan penerbangan pulang. Maggie juga sendirian. Gretchen memikirkan acara jalan-jalan mereka hari ini yang terlewatkan dan berpikir mungkin besok pagi ia bisa meminta Mustapha mengantarnya melihat-lihat Grotto of hercules yang ia rencanakan untuk kunjungi bersama Maggie hari ini. Lalu, lusa ia akan pergi ke kota pesisir di Asilah. Itu akan menjadi acara yang ditunggu-tunggu. Gretchen tidur dengan resah, tetapi anehnya merasa segar ketika terbangun besok paginya. Ia mengenakan gaun panjang tanpa lengan berwarna kuning dan putih dengan jaket rajutan putih di atasnya dan membiarkan rambut panjangnya tergerai di bahu. Ia pergi menemui concierge untuk melihat apakah pria itu bisa membantunya mencari Mustapha. Karena terburu-buru ia nyanis menabrak seorang pria yang tampak sangat menonjol yang mengenakan setelan sutra kar-ya perancang berwarna abu-abu. Pria itu menahan bahu Gretchen untuk menyeimbangkannya ketika Gretchen terhuyung, dan mata hitam berkilau pria itu menatap wajah Gretchen dengan geli. “Oh, aku minta maaf” kata Gretchen terkesiap. “Maksudku, excusez-moi, Monsieur,” koreksinya, karena pria itu terlihat seperti orang Prancis. Semacam itulah. Pria itu anggun dan mungkin tampan, hanya saja ada bekas luka di salah satu pipinya yang ramping dan bersih. Rambutnya yang lurus sehitam matanya, dan ia memiliki sikap anggun yang langka bagi pria setinggi itu. Kulitnya lebih gelap daripada kebanyakan pria Amerika, tetapi tidak terlalu gelap, dan lebih muda daripada kulit orang-orang Arab dan orang-orang Berber yang dilihat Gretchen di sini. Pria itu sangat tinggi. Gretchen hanya mencapai dagunya. “Il n’y a pas de quois, Mademoiselle,” balas pria itu ramah dengan suara yang dalam dan selembut beledu. “Aku tidak terluka.” Gretchen tersenyum lebar padanya, menyukai cara mata pria itu berkilat-kilat. “Aku akan berhati-hati lain kali.” “Anda tinggal di sini?” tanya pria itu sambil tersenyum sopan. Gretchen mengangguk. “Untuk beberapa hari. Aku Sedang dalam perjalanan ke Qawi untuk pekerjaan baruku, tapi aku ingin berlibur lebih dulu. Di sini sangat indah.” “Pekerjaan baru di Qawi?” tanya pria itu dengan minat yang aneh. “Ya. Aku akan bekerja untuk sang syekh,” kata Gretchen. “Humas. Atau sejenis sekretaris sosial,” tambahnya. “Aku sangat menantikannya.” Pria itu terdiam selama beberapa menit dan matanya yang tajam serta cerdas menyipit. “Apakah Anda mengenal bagian dunia ini dengan baik?” “ini pertama kalinya aku keluar dari Amerika Serikat,” kata Gretchen. Ia tersenyum lagi. “Aku merasa sangat bodoh. Semua orang di sini berbicara sekurang-kurangnya empat bahasa. Aku hanya bisa berbicara dalam bahasaku sendiri dan sedikit bahasa Spanyol.” Ails pria itu terangkat. “Menakjubkan,” gumamnya. “Apanya?” “Orang Amerika sederhana.” “Sebagian besar dari kami memang sederhana,” kata Gretchen kepada pria itu sambil tersenyum lebar. “Well, beberapa di antara kami kasar dan suka menipu, tapi anda tidak boleh menilai suatu negara secara keseluruhan berdasarkan segelintir orang. Dan orang-orang Texas biasanya sangat sederhana, mengingat negara bagian kami lebih baik daripada negara-negara bagian yang lain!” Pria itu terkekeh. “Apakah Anda berasal dari Texas?” “Oh, ya,” kata Gretchen padanya. “Aku koboi wanita berlesensi,” tambahnya datar. “Kalau Anda tidak percaya, Aku bisa melaso sapi untuk Anda kapan pun Anda mau.” Pria itu terkekeh lagi mendengar semangat Gretchen. Ia tidak ingat kapan pernah bertemu wanita seperti itu satu kali, beberapa tahun lalu. Ia mengatupkan bibirnya yang indah dan mengamati Gretchen lagi, dengan saksama. “Kurasa Qawi lebih kecil daripada salah satu negara bagian Anda.” Gretchen memandang berkeliling dengan mata yang sepertinya mendapati semua hal menarik. “Ya, tapi Amerika sama saja ke mana pun Anda pergi,” cetusnya. “Di sini, musiknya berbeda, makanannya berbeda, pakaiannya berbeda, dan ada begitu banyak sejarah sampai aku bisa menghabiskan sisa hidupku mempelajarinya.” “Anda suka sejarah?” “Aku sangat menyukainya,” kata Gretchen. “Kuharap aku bisa kuliah dan mempelajarinya, tapi ibuku mengidap kanker dan aku tidak bisa sering-sering meninggalkannya sendirian. Aku harus meninggalkannya ketika bekerja, tentu saja, tapi aku tidak bisa mengikuti kuliah. Tidak ada waktu. Dan tidak ada uang. Dia meninggal enam bulan lalu dan aku masih merindukannya.” Gretchen tersenyum meminta maaf. “Aku minta maaf Aku tidak bermaksud mengoceh seperti ini” “Aku menikmatinya,” sahut pria itu, dan sepertinya bersungguh-sungguh. “Mademoiselle Barton!” sang concierge memanggil. Butuh beberapa detik bagi Gretchen untuk menyadari bahwa sang concierge salah mengenalinya sebagai Maggie Tapi tidak apa-apa, pikir Gretchen. Ia meminta diri, berjalan melewati pria jangkung yang membawa koper dengan satu tangan itu, dan pergi ke meja resepsionis. “Mustapha sudah pergi untuk membawa serombongan tamu kami ke Grotto of Hercules,” kata si concierge dengan nada meminta maaf “Tapi kalau Anda masih ingin pergi Anda bisa menggunakan mobil kami, dan kami bisa minta salah satu pemandu lain menemani Anda.” “Saya tidak tahu. . .“ kata Gretchen ragu. Ia merasa tidak akan menikmati perjalanan itu sendirian. “Maaf,” sela pria jangkung itu, bergabung dengan Gretchen di konter. “Aku sendiri juga berencana pergi melihat-lihat Grotto itu. Mungkin aku bisa ikut dengan wanita muda ini...?” Gretchen mendongak menatap pria itu dengan lega. “Oh, itu akan sangat menyenangkan... Maksudku, kalau Anda memang ingin pergi?” “Aku mau.” Pria itu menatap si concierge dan berbicara dengan cepat menggunakan bahasa yang tidak Gretchen pahami. Kata-kata saling dilontarkan dan si concierge terkekeh sendiri. Gretchen bertanya-tanya apakah persetujuanya yang langsung ini akan membuatnya mendapatkan masalah. Ia tidak tahu apa-apa tentang orang asing ini… “Pria ini sangat bisa dipercaya, mademoiselle,” kata si concierge kepada Gretchen ketika melihat ekspresi Getchen yang cemas. “Saya bisa memastikan Anda akan kembali tanpa terluka bersamanya. Apakah saya boleh menyuruh, eh, Bojo—pemandu yang lain—untuk membawa mobilnya ke pintu depan sekarang?” Gretchen melirik teman seperjalanannya, yang mengangguk. “Baiklah kalau begitu.” Gretchen ragu sejenak. “Tapi Anda...” Pria itu menyerahkan kopernya kepada si concierge komentar pendek lain dalam bahasa merdu namun membingungkan dan menoleh kepada Gretchen sambil tersenyum. “Kita pergi sekarang?” Mobil Mercedes hotel yang mewah, dengan pria Berber jangkung dan cerdas di balik kemudi, dengan mudah dikenali karena kumis dan jenggotnya, meluncur santai di jalan raya. Pemandu mereka, seperti sopir taksi ketika Gretchen dan Maggie tiba di Tangier, menurunkan jendela mobil dan berbicara dengan lancar kepada sopir-sopir lain dan pejalan kaki sambil melambaikan tangan ketika melewati mereka. Si orang asing berkata kepada Gretchen bahwa ia menyuruh Bojo membawa mereka ke Caves of Hercules terlebih dahulu, yang memang ingin Gretchen lihat, lalu pergi ke Asilah. “Bojo lahir di Tangier. Dia mengenal setengah populasi di sini dan berkerabat dengan setengah yang lain,” kata pria jangkung itu, bersandar di kursi dengan lengan disilangkan dan mengamati Gretchen. “Seperti di Jacobsville,” kata Gretchen mengerti. “Kota kota kecil sangat menyenangkan. Semua orang salin mengenal. Kurasa aku tidak akan bahagia di kota besar tempat aku tidak akan mengenal siapa pun.” “Tapi kau meninggalkan kota kecilmu untuk menerima pekerjaan di negara asing—sangat asing,” kata pria itu, dan ada nada bertanya dalam pernyataan itu. Gretchen tersenyum sambil lalu sementara memandang melewati kepala Si sopir ke jalan-jalan kota yang sempit di hadapannya, dengan pinggiran pohon palem dan para pejalan kaki dalam balutan pakaian berwarna-warni. “Karena ibuku sudah meninggal dunia, dan aku tidak memiliki kerabat dekat lain, sepertinya kalau tetap di rumah aku akan menemui jalan buntu menuju masa depan.” “Kalau begitu kau belum menikah?” “Aku? Oh, tidak, aku belum pernah menikah,” kata Gretchen sambil lalu. “Aku dulu punya kekasih.” Ia meringis. “Dia mengira aku akan mewarisi banyak properti dan uang ketika ibuku meninggal, tetapi propertinya sudah digadaikan dan hanya ada sedikit uang asuransi untuk membiayai upacara pemakaman yang sederhana. Dia menghilang setelah pemakaman. Dia sekarang berkencan dengan putri seorang bankir.” Wajah rekan seperjalanannya mengeras. Ia menatap Gretchen dengan saksama, tetapi Gretchen tidak menyadarinya. “Aku mengerti.” Gretchen mengangkat bahu. “Dia sangat baik padaku, dan setidaknya aku memiliki seseorang selama beberapa saat ketika keadaan Mama sedang buruk-buruknya.” Ia mendesah sementara matanya mengikuti garis pantai. “sebelum itu aku jarang berkencan. Mama sakit untuk waktu yang lama, kau lihat, dan hanya ada aku yang bisa menjaganya. Kakakku membantu sebisa mungkin, tentu saja tetapi dia bekerja untuk pemerintah dan sering bepergian “Dan tidak ada orang lain yang bisa membantumu? Teman dekat, mungkin?” Gretchen menggeleng. “Hanya temanku, Maggie, tapi ia dulu tinggal di Houston. Sekarang juga masih tinggal di Houston,” koreksinya. “Aku tinggal bersama Mama di perternakan kecil milik keluarga kami yang berhasil diselamatkan kakakku. Kami memiliki mandor yang tinggal disana sekarang dan bekerja bersama kami.” “Teman ini,” desak pria itu dengan nada malas yang menipu. “Apakah dia datang ke sini bersamamu?” “Ya, tapi mendadak dia harus pulang.” Gretchen memberengut, bertanya-tanya apakah ia harus bersikap jujur dengan orang asing. “Meninggalkanmu sendirian dan di bawah belas kasih orang-orang asing?” pancing pria itu dengan nada lembut menggoda. Gretchen melirik pria itu dengan seulas senyum malu-malu. “Apakah kau akan menawarkan permen dan memintaku pulang bersamamu?” tanyanya. Pria itu terkekeh lirih. “Kebetulan aku tidak suka permen,” katanya sambil menyilangkan kaki yang terbungkus celana panjang. “Dan kau sepertinya agak cerdik untuk ditipu dengan cara seperti itu. “Oh, aku tidak tahu soal itu,” gumam Gretchen. “Aku sangat suka cokelat. Aku akan sangat penurut pada orang yang memiliki sekantong Godiva dengan isi yang lembut.” “Fakta yang akan kuingat, Mademoiselle... Barton,” kata pria itu dengan begitu lembut sampai Gretchen melewatkan keraguan samar dalam suaranya. Gretchen menatap mata gelap pria itu, tidak suka memulai persahabatan mereka dengan kebohongan. “Mademoiselle Brannon,” koreksi Gretchen. “Gretchen Brannon.” Pria itu menerima tangan yang diulurkan Gretchen dan mengangkatnya ke mulut. Gretchen tersenyum lebar. “Mademoiselle Brannon,” pria itu mengoreksi. “Enchantée.” Mata pria itu menyipit. “Kupikir si concierge memanggilmu Mademoiselle Barton.” Gretchen meringis. “Itu Maggie Barton, sahabat dan teman sekamarku. Kakak angkatnya terluka parah dalam kecelakaan dan dia terbang pulang pagi ini.” Gretchen menggigit bibir bawahnya. “Mungkin seharusnya aku tidak mengatakan ini, tapi dia ingin aku melakukan sesuatu yang tidak terlalu etis dan perasaan bersalahku sangat mengganggu.” Pria itu bersandar, matanya tenang dan agak geli. “Silakan,” katanya dengan satu isyarat tangan yang ramping. “Seringkali membantu apabila kita membicarakan masalah-masalah dengan orang asing yang tidak tertarik namun objektif.” Ketika Gretchen ragu, pria itu terkekeh. “Kita memang orang asing, n’est pas.?” “Ya. Dan kurasa kau tidak mengenal siapa pun di Qawi?” Pria itu mengangkat alisnya dengan ekspresif. Gretchen mengangkat bahu. “Well, Maggie mendapatan tawaran untuk bekerja dengan syekh di sana. Dan karena sekarang dia tidak bisa menerimanya, dia ingin aku menggantikan tempatnya tanpa mengatakan jati diri kepada siapa pun.” Mata pria itu berkilat-kilat. “Kau tidak setuju?” “Dia tidak berpikir jernih, kalau tidak dia tidak akan menyarankannya. Aku tidak suka berbohong,” kata Gretchen datar. “Dan aku juga tidak pandai berbohong. Di samping itu, kurasa aku tidak akan berhasil dianggap bagai eksekutif wanita yang juga janda. Aku tidak cangih dan tidak tahu cara merencanakan pesta-pesta atau menyambut tamu-tamu kehormatan yang berkunjung. Yang kutahu adalah masalah hukum. Aku bekerja untuk perusahaan pengacara di Jacobsville.” Pria itu mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya menyipit penuh spekulasi dan seulas senyum samar tersungging di mulutnya yang lebar dan tipis. “Menakjubkan.” gumamnya. Gretchen mendongak menatap pria itu dengan mata hijau yang melebar. “Apanya?” “Tidak apa-apa.” Pria itu menatap mata Gretchen. “Jadi menurutmu pekerjaan itu di luar kemampuanmu?” “Tentu saja,” kata Gretchen. “Aku akan menghabiskan liburanku di sini, lalu terbang ke Amsterdam dan pulang ke rumah,” tambahnya, membuat keputusan sambil berbicara. Sebelah alis yang gelap dan anggun terangkat. “Apakah kau percaya pada takdir, Miss Brannon?” “Aku tidak tahu.” “Aku percaya. Kurasa kau harus pergi ke Qawi.” “Dan hidup dalam kebohongan?” gumam Gretchen tidak senang. “Tidak. Dan mengatakan yang sebenarnya.” Pria itu meluruskan kakinya dan tiba-tiba mencondongkan tubuh ke depan. “Aku mengenal Syekh Qawi. Lebih tepatnya, aku tahu tentang dia,” katanya tanpa terduga. “Dia pria yang adil, dan dia sangat mengagumi kejujuran. Gunakan tiket temanmu. Terimalah pekerjaan itu.” “Sang syekh tidak akan memberikan pekerjaan itu kepadaku,” sela Gretchen. “Dia sangat tegas dengan kualifikasi Maggie, dan salah satunya, entah kenapa, adalah bahwa Maggie sudah pernah menikah...” “Katakan yang sebenarnya kepadanya, dan terimalah pekerjaan itu,” ulang pria itu tegas. “Dia akan membuat pengecualian. Kebetulan aku tahu dia sangat membutuhkan asisten dengan segera. Dia tidak akan mau menghabiskan waktu mencari orang lain yang memiliki kualifikasi Madame Barton.” “Tapi aku tidak sesuai dengan kualifikasinya,” Gretchen menegaskan. Pria itu tersenyum. “Untuk menemui orang-orang?” tanyanya. “Kau dan aku adalah orang asing, tapi di sini kita menikmati liburan bersama.” Gretchen membiarkan seulas senyum tersungging di mulutnya yang lembut. “Itu hanya karena aku hampir menabrakmu,” jelasnya. “Aku tidak bisa menjadikannya sebagai kebiasaan, hanya untuk bertemu dengan orang-orang.” Pria itu mengibaskan tangan. “Kurasa kau akan menjadi asisten yang hebat.” “Seperti yang sudah kukatakan tadi, aku tidak bisa berbahasa lain selain bahasa Spanyol.” “Kau bisa belajar bahasa Arab.” “Dan yang paling buruk, aku bukan Muslim,” kata Gretchen cemas. “Sang syekh juga bukan.” Pria itu mencondongkan tubuh ke depan sambil tersenyum lebar. “Qawi adalah bangsa unik dengan campuran berbagai budaya. Ada banyak orang Yahudi dan Kristen sama seperti Muslim, karena arah kolonial yang tidak biasa. Kau akan merasa nyaman” pria itu menenangkan Gretchen. “Dan selama dua tahun terakhir, Qawi telah menjadi sekutu Amerika Serikat dan Inggris.” Ia tersenyum nakal. “Kontrak-kontrak minyak adalah godaan yang menguntungkan bagi Negara-negara demokrasi. Qawi mendapatkan banyak sekali teman karena kekayaan barunya!” Gretchen tersenyum. “Kau membuatnya terdengar sangat mudah,” katanya pada pria itu. “Memang mudah.” Pria itu mengerutkan kening sementara mengamati wajah oval Gretchen. Wanita itu menarik kendati tidak benar-benar cantik. Tetapi raut wajahnya menyenangkan, dan dia memiliki mata yang hangat. Mulutnya sempurna. Pria itu mengernyit saat menatap mulut itu dan bersedih mengingat apa yang tidak akan pernah dialaminya lagi. Tetapi rambut Gretchen adalah bagian yang membuatnya takjub. Rambut itu pirang, panjang, dan alami. Gretchen mengingatkannya, oh, sangat mengingatkannya pada Brianne Martin... Gretchen juga mengamati pria itu. Ia bertanya-tanya bagaimana pria itu bisa mendapatkan bekas luka di wajahnya. Ada banyak bekas luka lagi di punggung tangan kirinya, sisi yang sama dengan bekas luka di wajahnya. Pria itu melihat rasa penasaran Gretchen dan menyentuh pipinya dengan ringan. “Kecelakaan, ketika aku masih muda,” katanya jujur. “Ada bekas-bekas luka lain yang lebih tersembunyi,” tambahnya dengan suara serak. Gretchen tersenyum malu. “Maaf,” katanya langsung. “Aku tidak bermaksud menatapmu. Bekas-bekas luka itu tidak buruk, kau tahu,” tambahnya ringan. “Kau terlihat seperti bajak laut.” Kelopak mata pria itu bergerak. “Mademoiselle?” “Tapi kau butuh penutup mata, pedang, dan burung kakaktua,” tambah Gretchen. “Dan kemeja putih berenda seksi yang menampilkan sebagian besar dadamu.” Kegembiraan pria itu terlihat dalam ledakan berkilau di matanya yang hitam, dan dalam tawa keras yang terdengar seperti musik di telinga Gretchen. Gretchen merasa pria itu jarang tertawa. “Oh, dan kapal,” lanjut Gretchen. “Dengan layar hitam.” “Salah seorang nenek moyangku adalah Ruffian Berber,” kata pria itu kepada Gretchen. “Bukan benar-benar bajak laut, tapi jelas-jelas revolusioner.” “Oh, aku bisa menebaknya,” kata Gretchen senang. Ia menatap mata gelap pria itu dan merasakan kejutan di perut yang asing baginya. Napasnya tersekat di tenggorokan. Tidak ada pria yang pernah membuatnya merasa sefeminim ini “Apakah kau pernah menunggang unta?” tanya Gretchen. “Apa yang membuatmu bertanya tentang itu?” Tanya pria itu. Gretchen menunjuk seorang pria yang berdiri dengan kelompok kecil unta di depan pintu hotel di pantai, yang pelataran parkirnya baru saja mereka masuki. “Aku sangat ingin menunggang unta sebelum pulang.” “Tidak ada pelana, kau tahu,” kata pria itu sementara sopir memarkir mobil dan keluar untuk membukakan pintu bagi mereka. Gretchen menatap celana panjang abu-abu dan sandalnya. “Juga tidak ada sanggurdi?” “Tidak.” Gretchen menatap unta-unta itu dengan menyesal. “Hewan-hewan itu sangat cantik, seperti kuda-kuda jangkung.” “Pengkhianatan!” bantah pria itu. “Membandingkan makhluk pengangkut beban dengan sesuatu yang seanggun kuda-kuda Arab kami!” Gretchen mengangkat alis dan mendongak menatap pria itu. “Apakah kau bisa menungganginya?” “Tentu saja bisa.” Pria itu menatap unta-unta itu dengan jijik. “Tapi tidak ketika sedang menggunakan jas.” Jas Armani, tetapi ia tidak akan mengatakannya. Gretchen menyentuh lengan baju pria itu dengan ringan. Ia jarang menyentuh orang, tetapi Gretchen merasa aman bersama pria itu. Pria itu bukan orang asing, walaupun memang seharusnya menjadi orang asing. “Please.” pinta Gretchen. “Aku bahkan tidak bermaksud pergi jauh-jauh. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya.” Rasanya seperti untaian sutra yang menyapu saraf-saraf terbuka pria itu ketika mata hijau lembut Gretchen menatapnya seperti itu. Jemari Gretchen bahkan tidak menyentuh kulitnya, tetapi ia merasakan kehangatan wanita itu dari balik pakaianya, dan napasnya tersekat. Sesuatu yang tidak asing membuat tubuhnya yang jangkung dan tegap itu tegang. “Baiklah,” kata pria itu tiba-tiba, bergerak menjauh dari sentuhan ringan itu. Gretchen menjatuhkan tangannya seolah-olah pria itu membakarnya. Gretchen sadar pria itu tidak suka disentuh. Ia tidak akan lupa lagi. Ia tersenyum pada pria itu ketika mereka menghampiri penjaga unta. “Terima kasih!” “Kemungkinan besar kau akan jatuh dan mematahkan lehermu,” gerutu pria itu dengan nada gelap. Ia berbicara kepada penjaga unta dengan dialek aneh yang sama yang tidak Gretchen pahami, tersenyum dan memberi isyarat dengan tangan seperti yang dilakukan pria satu lagi. Mereka berdua menatap Gretchen, tersenyum lebar. “Ayo,” kata pria jangkung itu kepada Gretchen, mengangguk ke arah platform kayu kecil yang terletak di samping salah seekor unta berbulu gelap yang sudah didandani. Punuk tunggalnya berlapis selimut dan ada tali kecil sebagai pegangan. “Aku tidak yakin... ooh!” Pria jangkung itu langsung menggendong Gretchen. Ia tersenyum melihat kekagetan Gretchen ketika mendudukan wanita itu di punggung unta dan menyerahkan tali kekang kecil itu kepadanya. “Lingkarkan kakimu di sekepunuknya,” pria itu memerintahkan, “dan berpeganganlah kuat-kuat. Aku sudah menyuruh teman kita di sini untuk menuntun unta ini berjalan pelan menaiki bukit kembali lagi. Tidak boleh berlari,” pria itu menegaskan. Gretchen mengeluarkan kamera kecilnya dari tas pingang dan menyerahkannya kepada pria itu. “Apakah kau keberatan?” Pria itu tersenyum lebar. “Tentu saja tidak.” Gretchen menunggangi unta itu, tertawa karena gerakan makhluk itu yang berayun dari satu sisi ke sisi lain. Ia melambaikan tangan kepada para pengendara motor yang melaju melewatinya sementara pemilik unta menuntun unta itu menyusuri jalan kecil beraspal. Sepanjang perjalanan, pria jangkung itu mengamati mereka dan mengambil foto. Ia tidak terlihat seperti pria yang menggunakan fisiknya untuk bekerja, dan Gretchen tidak bisa membayangkan pria itu menunggangi unta. Pria itu terlihat seperti pengusaha, dan mungkin juga cerewet tentang kotoran dan bulu unta sama seperti cerewet terhadap lumpur. Gretchen memimpikan pria tangguh yang berderap melintasi padang pasir di atas punggung kuda. Teman seperjalanannya, yang memesona dan juga baik, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan syekh pemberani yang dibaca Gretchen dalam novel tahun 1920-an yang menjadi dasar pembuatan film-film yang dibintangi Valentino. ini agak mengecewakan. ia harus berhenti hidup dalam fantasi, Gretchen mengingatkan diri sendiri dan mencengkeram tali kekang kecil sementara terus melambung-lambung pelan di atas punggung unta. Ketika mereka kembali, dan pria Maroko itu berhasil membujuk si unta berlutut, pria jangkung itu menyerahkan kamera kepada si pria Maroko dan mengatakan sesuatu dengan pelan. Ia mengulurkan tangan dan menggendong Gretchen turun dengan tangannya yang kuat. berhenti sejenak untuk menoleh ke arah kamera. “Senyum,” katanya, dan menunduk menatap mata Gretchen yang lebar dan penasaran. Gretchen balas tersenyum, jantungnya mengentak-entak dada, bibirnya terbuka karena kesenangan yang tersisa dan awal rasa mendamba yang aneh. “Apakah kau menikmatinya?” tanya pria itu, ragu. “Luar biasa,” kata Gretchen terengah. Ia menatap mata pria itu perlahan, mata hitam yang sempit dan tidak mengedip itu, dan menyadari kehalusan jas pria itu, tempat tangannya yang gugup bersandar. Gretchen tidak bisa bernapas sementara pria itu mendekapnya. Pria itu merasakan napas Gretchen di dagunya dan sekali lagi desakan tidak asing itu membuatnya mengerutkan kening. Ia menurunkan Gretchen dengan begitu tiba-tiba dan pergi mengambil kamera. Gretchen berdiri dan menatap pria itu dengan perasan gugup yang meresahkan. Ia merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu yang sangat salah. Ia tidak tahu apa. Pria itu segera kembali. Ia menyerahkan kamera kepada Grechen dan tersenyum sopan, seolah-olah tidak ada yang terjadi dan menghancurkan kesenangan Gretchen karena menunggangi unta untuk pertama kalinya. “Grotto-nya ada di ujung jalan setapak itu. Ayo.” Gretchen berjalan lebih dulu, membiarkan pria itu menyusulnya. Ada kedai suvenir di pintu masuk Caves of hercules dan ia ragu selagi menatap batu bulat kecil datar dengan tutup lengkung tinggi dan sesuatu yang terlihat seperti fosil di permukaan batu itu. Takjub, ia memungutnya, merasakan permukaannya yang halus. “Suvenir pertamamu? Izinkan aku,” gumam pria itu dan membayarnya. “Tapi…” Pria itu mengangkat sebelah tangan untuk menghentikan protes Gretchen. “Murah,” ia merujuk harganya. Ia mengangguk ke arah pintu masuk gua. “Berjalanlah pelan-pelan. ini gua yang dijadikan tempat tinggal. Kau akan menemukan dinding batu kapur yang digunakan penduduk untuk membuat gerinda selama berabad-abad.” Gretchen masuk ke gua, merasakan kelembapan sejuk gua itu sementara berjalan di tanah kosong dan bergabung dengan turis-turis lain. Ada celah mengarah ke laut yang terlihat sangat mirip peta Afrika. Dinding-dindingnya memiliki lubang-lubang berbentuk lingkaran—gerindanya, pikir Gretchen. Ia menggenggam suvenir itu dengan tangannya yang kecil dan mengeluarkan kameranya lagi, memotret dinding-dinding gua dan, ketika pria iu tidak melihat, memotret rekan seperjalanannya yang sangat menarik. Gretchen menikmati kebersamaan dengan pria itu padahal ia jarang menikmati banyak hal dalam hidup. Padahal ia bahkan tidak tahu nama pria itu. Ia kembali kepada pria itu. Pria itu mengamati ombak dari celah di dalam gua, tangannya dimasukkan ke saku, ekspresinya diam dan muram. Ia menoleh ketika Gretchen menghampirinya dan seulas senyum sopan kembali terlihat di wajahnya. “Aku tidak tahu namamu,” kata Gretchen lembut. Mata pria itu berkilat-kilat. “Panggil aku... Monsiem Souverain,” katanya dengan nada rendah dan lembut. “Apakah kau punya nama depan, ataukah itu sesuatu yang sangat dirahasiakan?” goda Gretchen. Pria itu terkekeh. “Philippe,” katanya halus. “Philippe.” Gretchen tersenyum. Kilatan di mata pria itu semakin jelas. Philippe mengatupkan bibir. “Ayo,” katanya sambil berbalik. “Kita bisa pergi ke Asilah, kalau kau mau?” “Dengan senang hati,” kata Gretchen jujur, lalu “Aku tidak mengganggu bisnis pentingmu, kan?” tanyanya cemas. Pria itu tertawa. “Untuk hari ini sampai besok aku tidak ada bisnis penting,” ia menenangkan Gretchen. “Mungkin, seperti dirimu, aku sedang berlibur.” “Aku berani bertaruh kau tidak sering berlibur,” kata Gretchen, berhati-hati sementara mereka mendaki jalan setapak sempit berbatu ke arah pelataran parkir. “Kenapa kau berkata begitu?” “Kau bersikap seperti pengusaha sempurna,” kata Gretchen tanpa mendongak. “Kurasa kau sedang di sini karena proyek besar yang melibatkan berbagai orang penting.” “Memang,” kata pria itu. “Tapi kesepakatannya sudah gagal sebelum aku turun dari pesawat. Aku sedang mengurus proyek lain yang kuharap lebih berhasil.” Gretchen tidak menyadari Philippe mengamatinya dengan saksama saat berbicara, dan mata pria itu berkilat-kilat penuh humor. Gretchen memandang berkeliling ketika mereka berjalan kembali ke mobil hotel, dan napasnya tersekat. “Ini tidak seperti yang kubayangkan ketika meninggalkan Texas,” akunya. “ini sangat menyenangkan, dan orang-orangnya ramah serta sopan—rasanya hampir seperti di rumah, kecuali cara orang-orang berpakaian dan bahasa Arab serta Berber yang digunakan.” Ia menoleh ke arah pria itu, yang berdiri di samping pintu mobil yang terbuka. “Apakah kau tidak tahu apa-apa tentang Maroko?” tanya pria itu lembut. Gretchen tertawa. “Semua reporter televisi kami memicarakan skandal dan isu politik serta tragedi terbaru. Mereka tidak memberitahu kami tentang negara-negara lain kecuali ada orang yang benar-benar penting terbunuh di sana.” “Begitu ya,” pria itu merenung. Gretchen tersenyum lebar. “Itulah sebabnya aku dan Maggie datang ke Maroko, untuk melihat bagaimana negara ini sebenarnya. Dan sekarang setelah kita sudah berkenalan,” ia menambahkan sambil mengulurkan tangan, “aku sangat senang bertemu denganmu, Monsieur Souverain.” “Aku bisa membalas pujian itu dengan pujian yang sama, Gretchen.” Pria itu mengangkat tangan Gretchen, dengan telapak tangan terbuka, ke mulutnya yang keras dan menatap langsung ke mata Gretchen sementara bibirnya membelai tangan Gretchen dengan gerakan yang sensual. Ia membuat nama Gretchen terdengar asing, misterius, menegangkan. Rasa bibir pria itu di kulitnya membuat Gretchen resah, walaupun bukan dalam arti yang buruk. Agak gelisah akibat sensasi yang ditimbulkan belaian itu di tubuhnya, Gretchen menarik tangannya agak terlalu cepat, tertawa gugup untuk menutupi tindakan tersebut. Pria itu tidak berkata apa-apa lagi sampai mereka duduk dengan nyaman dan mobil itu kembali melaju, tetapi mata pria itu bahkan lebih penasaran lagi. Gretchen terlihat awas sejenak, dan itu tidak boleh terjadi. Pria itu tersenyum sambil lalu. “Apakah kau ingin mendengar sejarah Tangier?” tanyanya. “Dengan senang hati,” balas Gretchen. Pria itu menyilangkan kakinya yang panjang. “Orang-orang Berber adalah orang pertama yang tiba di sini,” Philippe memulai, membuka topik yang ía ajukan. *** Mereka melewati pabrik gabus dan perkebunan zaitun di sepanjang jalan bebas hambatan yang mengarah ke pesisir Asilah, dan Gretchen tertawa ketika melihat unta-unta bermain dengan ombak di pinggir laut. “Mereka suka berenang dan berjemur,” kata Philippe dengan ramah, “sama seperti turis yang sedang berlibur.” “Mereka sangat lembut, tapi tidak sebesar yang kuduga. Kurasa mereka terlihat berbeda di film.” “Kau menonton The Wind and the Lion yang dibintangi Sean Connery?” tanya Philippe langsung. “Astaga, ya, berkali-kali,” aku Gretchen. “Istana Raissouli berada di Asilah.” Gretchen terkesiap. “Dia nyata?” “Pejuang revolusioner,” Philippe membenarkan, “yang mencoba menjatuhkan kerajaan. Dia gagal,” tambahnya datar. “Astaga, kukira semua itu fiksi.” “Sebagian besar isi film itu memang fiksi,” kata Philippe. “Tapi aku juga menikmatinya. Di negaraku, film-film asing adalah hiburan kami yang utama.” Negaranya, Prancis, Gretchen yakin. Ia tersenyum. “Aku belum pernah pergi ke Prancis,” renungnya. “Aku yakin tempat itu indah.” “Indah,” Philippe membenarkan, dengan sengaja mendukung gagasan salah Gretchen tentang latar belakangnya. “Dan tua. Seperti sebagian besar Eropa. Kasbah Tangier berasal dari zaman penjajahan Romawi dan bahkan sebelum itu.” “Aku menyukai semua ini,” kata Gretchen penuh semangat. “Setiap batu di jalan dan vila, setiap toko kecil, orang-orang yang berjalan di antara jalan sempit berdinding. ini seperti negeri dongeng.” Mata Philippe menyipit. “Kau menyukai negeri-negeri asing.” Gretchen menoleh ke arah Philippe. “Aku tidak pernah keluar dari Texas,” akunya. “Bahkan tidak pernah sampai ke perbatasan Meksiko. Aku tidak pernah... well, ke mana pun. Dan bisa melihat Afrika, di antara semua tempat.” Matanya berseri-seri. “Aku merasa seolah-olah Sedang hidup dalam mimpi.” “Apakah kau tahu,” gumam Philippe sambil lalu, “tepat seperti itulah perasaanku.” Lalu ia tersenyum, dan tatapannya yang tajam beralih ke garis pantai yang melesat lewat. 3 ASILLAH sangat ramai. Sebelum tahun 1972, cerita Bojo si pemandu, seluruh kota berada di balik dinding-dinding kuno.Kini ada toko-toko di luar dinding, dan pembangunan baru sedang berjalan. Sementara mencari tempat parkir di kota yang ramai itu, mereka melihat kereta-kereta kecil yang ditarik keledai membawa orang-orang dari sisi kota yang satu ke sisi lain, dan tepat di luar kasbah di jalan berpinggiran pohon di dekat reluk, ada kafe-kafe pinggir jalan. Tetapi pertama-tama, si pemandu berkata, mereka harus menjauh dari kota tua yang dikelilingi dinding itu dan berjalan ke jalan bebas hambatan, karena di sanalah pasar terbuka mingguan diadakan. “Hari pasar,” kata Philippe pada Gretchen, dengan lembut memegang lengan Gretchen untuk menuntunnya menyeberangi jalan ramai yang dipenuhi mobil dan kereta keledai. “ini akan menjadi petualangan baru.” Memang benar. Gretchen melihat buah-buahan dan sayuran yang bagus, tanaman obat dan bumbu, semuanya dijajakan dengan rapi dan tidak ada noda sedikit pun. Ada bumbu eksotis, ramuan, pakaian, dan topi. Ada barang-barang dari kulit dan bahkan ayam serta kelinci hidup untuk dijual. Di luar sana ada sederet tenda yang dipenuhi orang, keledai dan unta berbaring di bawah naungan tenda menunggu perjalanan kembali ke desa-desa kecil mereka. “Hasil panennya bagus,” seru Gretchen. “Astaga, ini bahkan lebih bagus daripada yang ada di supermarket kami. Tidak dimasukkan ke kulkas, lagi.” Philippe terkekeh. “Ya, dan pada hari pasar ini, sebagian besar dagangan dijual kepada penduduk kota.” Philippe menunjukkan berbagai bumbu dan buah-buah zaitun kepada Gretchen sebelum si pemandu menuntun mereka kembali ke kota. “Apakah kau haus?” tanya Philippe pada Gretchen. “Aku bisa menghabiskan satu galon air sendirian,” kata Gretchen terengah sambil menghapus keringat di kening dengan tisu dan sakunya. Philippe tersenyum lebar. “Aku juga.” Ia dan si pemandu mengarahkan Gretchen ke kafe- kecil, tempat Philippe memesan sebotol air untuk Gretchen dan teh mint untuk diri sendiri. Ia menawarkan teh kepada Gretchen, tetapi Gretchen menolak, ragu mencoba apa pun yang tidak berada di dalam botol. “Kau harus mencoba teh mint-nya sebelum meninggalkan Maroko,” kata Philippe. “Teh ini terkenal di sini.” “Aku akan melakukannya. Sekarang ini air dingin kedengarannya lebih enak. “Aku tidak meragukannya.” Phillipe menyerahkan sebotol air dingin kepada Gretchen dan membawa teh mint-nya ke sekumpulan meja kecil di bawah pohon rimbun di dekat dinding kota tua. Pemandu mereka tetap di dalam toko, mengobrol dengan si pemilik toko yang dikenalnya. “Kafe ini memiliki ruang kecil,” kata Philippe pada Gretchen, “para tamu membayar di konter dan makan di sini.” “ini sangat menyenangkan,” kata Gretchen, memandang ke sekeliling ke arah orang-orang berpakaian nyaman yang berlalu lalang. “Ada banyak turis di sini.” “Ya. Kota ini tempat diselenggarakannya festival Seni yang sekarang sedang berlangsung. Toko-toko di kota tua sangat banyak, dan Asilah telah menampilkan isi terbaiknva untuk festival itu. Acara itu menarik orang-orang dari seluruh penjuru Eropa dan Afrika, dan dari seluruh dunia.” “Kau bilang istana para revolusioner ada di sini?” tanya Gretchen. Philippe mengangguk. Ia menyesap teh mint-nya, menghabiskannya, dan pamit sebentar untuk mengembalikan cangkir keramik dan piring ke konter. Gretchen penasaran, karena kebanyakan turis mendapatkan wadah yang bisa dibuang Seperti miliknya. Mengamati Philippe, ia melihat sikap sopan berlebihan yang ditunjukkan si pemilik toko kepada Philippe. Ketika Gretchen mengamati hal itu. ia menyadari hal lain—pria-pria asing dalam kacamata gelab dan setelan gelap yang berdiri di dekat sana. Orang-orang itu memarkir mobil di belakang mereka ketika mereka tiba. Gretchen bertanya-tanya kenapa pria-pria itu ada di sini. Dengan imajinasi menggila, Gretchen bertanya-tanya apakah orang-orang itu sedang membayangi orang terhormat penting yang sedang menyamar. Kalau pulang nanti, ia harus bertanya pada kakaknya tentang keamanan di. luar negeri. Lalu ia ingat akan pergi ke Qawi, bukan pulang ke rumah. Hal itu membuatnya gugup dan agak sedih. Philippe kembali dan mengamati Gretchen dan posisinya yang menjulang tinggi. “Kau cemas,” katanya tiba-tiba. “Maaf.” Gretchen memaksakan seulas senyum di wajahnya sementara berdiri dan mencengkeram botol airnya yang masih berisi setengah. “Aku sedang memikirkan pekerjaan baruku, kalau aku mendapatkannya.” “Dan cemas,” desak Philippe. Gretchen meringis. “Aku tidak suka menggunakan tiket pesawat atas nama orang lain dan berpura-pura aku adalah orang itu, walaupun sang syekh akhirnya mempekerjakanku.” Philippe tersenyum. “Kurasa tidak ada yang perlu kaucemaskan dalam masalah itu. Soal tiket pesawatnya, concierge akan menggantinya untukmu, menjadi nama yang benar, dan Mustapha atau Bojo di sana—” ia menunjuk sopir mereka yang bertubuh jangkung dan pemandu mereka yang masih berdiri di konter toko “—bahkan akan mengantarmu ke bandara dan menemanimu.” “Mereka akan melakukannya?” Philippe tersenyum lebar melihat ekspresi kaget Gretchen. “Bukankah hal seperti itu dilakukan di negaramu?” “Tidak,” kata Gretchen datar. “Masing-masing negara memiliki kebiasaan sendiri,” kata Philippe ringan. “Kau akan mendapati hidup di sini sedikit berbeda.” “Aku sudah menyadarinya,” kata Gretchen. Ia tertawa lembut. “Aku tidak tahu apakah bagus bagiku dimanja begitu, Aku hanya paralegal biasa.” Sebelah mata Philippe menyipit. “Kurasa, Gretchen Brannon, kau sama sekali tidak biasa.” “Kau tidak tahu banyak tentang wanita-wanita Texas.” “Kekurangan dalam pendidikanku yang kuharap bisa diperbaiki dalam beberapa hari ke depan,” kata Philippe sopan. Dengan kilatan di matanya yang hitam, ia menambahkan dialog kiasik dari film tua Charles Boyer, “Maukah kau ikut denganku ke kasbah?” Gretchen tertawa. “Aku benar-benar terlalu banyak menonton film. Kukira hanya ada satu kasbah sampai sopir taksi di bandara membenitahuku apa sebenarnya kasbah itu.” Film-film Charles Boyer dan Humphrey Bogart,” renung Philippe. “Film-film itu menampilkan Maroko yang berrbeda.” “Ya. Hari-hari itu sudah lama tiada.” “Mungkin gaya lamanya yang sudah tiada. Tapi intriknya masih tetap ada,” kata Philippe. Pria itu menempatkan tangannya di bawah siku Gretchen untuk menuntun wanita itu memasuki gerbang kota tua dan melangkah ke arah rangkaian jalan-jalan sempit dan toko-toko kecil. Ia menunduk ke telinga Gretchen. “Kau lihat pria dalam setelan krem yang mengenakan kacamata hitam? Tidak, jangan menoleh!” Getchen melihat sekelebat bayangan dari sudut matanya. “ya.” “Sekarang, apakah kau melihat pria-pria bersetelan gelap berkacamata hitam di sekitar sini?” “Aku melihat mereka tadi...!” “Pengawal” “Benarkah?” Gretchen terdengar sesak napas karena tegang. “Siapa mereka? Apakah mereka pengawal pria bersetelan krem itu?” Philippe merapatkan bibir dengan geli. “Siapa yang tahu? Mungkin dia bekerja untuk salah seorang pangeran Saudi yang memiliki estat di luar Tangier.” “Yang ditunjukkan pemandu itu, dengan helipad dan pengawal bersenjata di gerbang?” “Yang itu. Kadang-kadang mereka suka berjalan-jalan. Kemarin aku melihat mantan presiden Spanyol di kota.” “Aku dan Maggie juga melihatnya! Aku tidak pernah bertemu dengan kepala negara, mantan atau bukan.” Philippe tetap menatap lurus ke depan dan tidak menjawab. “Para pengawal itu, apakah mereka punya pistol?” “Uzi sembilan milimeter dan mereka tahu bagaimana, menggunakannya.” Gretchen terkesiap. “Ya Tuhan. Kuharap tidak ada orang yang menyerangnya.” “Tidak ada yang mengenalnya,” kata Philippe malas-malasan. “Para kepala negara dari negara-negara di Timur Tengah berjalan-jalan di sini sepanjang waktu dan mereka tidak pernah dikenali. Mereka berbaur dengan baik.” “Kalau kau melihat Syekh Qawi, maukah kau menunjukkannya kepadaku?” tanya Gretchen bergurau. “Mungkin aku bisa meminta ampun padanya sebelum tiba di ibu kotanya seperti bungkusan yang tidak diinginkan.” Philippe mengenakan kacamata hitamnya dan tersenyum lebar. “Aku jamin, kalau menggunakan setelan Eropa, orang-orangnya sendiri tidak akan mengenalinya.” “Apakah dia... jahat?” tanya Gretchen blak-blakan, cemas walaupun Maggie sudah menenangkannya. Philippe berhenti melangkah dan menunduk menatap Gretchen. Matanya, di balik lensa hitam itu, tersembunyi. “Apa?” tanyanya dingin. Gretchen menggigit bibir bawahnya. “Temanku, Maggie, berkata ada gosip tentang syekh itu dan para Wanita muda. Katanya gosip-gosip itu tidak benar dan syekh itu sendiri yang memulainya” “Memang benar,” kata Philippe pelan. “Aku jamin kau tidak akan berada dalam bahaya bersamanya. Malah kurasa” tambahnya sambil berpikir-pikir, “di luar dugaanmu, kau akan mendapati dirimu dimanja, di bawah perlindungannya.” Gretchen menarik napas. “Kuharap kau benar!” katanya berapi-api. “Oh, lihat selendang-selendang itu!” Gretchen berjalan cepat ke arah pajangan di ambang pintu toko. Ada selendang hitam dengan renda-renda berbentuk pir yang membuatnya kagum. “Selendang Maroko, seperti yang dikenakan para Wanita di kepala mereka ketika pergi ke tempat umum,” kata Philippe. “Di Qawi, kami menyebut penutup kepala sebagai hijab. Apakah kau suka?” “Kurasa ini sangat mahal,” kata Gretchen sambil membelalak menatap Philippe. “Tapi kau tidak boleh membeikannya untukku. Kalau sanggup membelinya, aku akan membelinya sendiri.” Philippe tersenyum lebar. “Ah, kemandirian Amerika mulai menampakkan diri! Baiklah.” Ia berbicara kepada pria itu dalam bahasa aneh yang masih tidak Gretcheh kenali dan tertawa ketika menunduk menatap Gretchen. “Harganya 56 dirham,” katanya pada Gretchen. “Lima puluh enam...!” “Tujuh dolar Amerika,” Philippe menerjemahkan. Gretchen mengembuskan napas dan tersenyum. “Aku akan membelinya!” Philippe membantunya mencari koin untuk membayar dan membiarkan si penjual membungkusnya untuk Gretchen. Philippe mengepit bungkusan itu dan menuntun Gretchen melewati rangkaian toko lain tempat Gretchen dengan gembira menawar sepasang anting-anting perak, dan gelang perak bermatakan turkuois. “Itu,” kata Philippe ketika mereka melangkah menyusun jalan berbatu, “istana Raissouli.” Napas Gretchen tersekat. Ubin-ubinnya, dalam warna putih dan berbagai warna biru, digabungkan dalam mozaik paling indah yang dapat ia bayangkan bisa ditampilkan di dinding luar yang sangat putih. Tidak ada yang bisa dilihat di dalam sana, tetapi Gretchen menyentuh ubin-ubin keramiknya dengan perasaan takjub. “Semua ubinnya berbentuk geometris,” gumamnya. “Para penganut agama Islam dilarang menampilkan apa pun yang berbentuk manusia atau hewan dalam polanya” Philippe menjelaskan. “Karena itulah rancangannya geometris.” “ini sangat indah.” Gretchen mendesah senang. “Kalau aku memikirkan bangunan-bangunan beton, besi, dan batu bata di rumah...” “Tapi kau juga punya bangunan kayu,” Philippe mengingatkan. “Ya, rumah-rumah tua bergaya Victoria memiliki kerajinan kayu yang indah. Aku pernah melihatnya. Malah, rumah peternakan kami dibangun seperti itu. Tidak mewah atau semacamnya, tetapi cukup indah kalau dicat.” Philippe mengamati kilau rambut pirang Gretchen ketika mereka kembali ke bawah sinar matahari dan keluar dari gerbang kota tua kembali ke jalan. “Apakah kau pernah menggerai rambutmu, Gretchen?” tanya Philippe lembut. “Rambutku sangat halus dan ringan,” kata Gretchen sambil tersenyum. “Di samping itu, rambutku suka menutupi wajah kalau tertiup angin, terutama angin di Maroko. Angin selalu berembus.” “Seberapa panjang rambutmu?” Gretchen menatap mata penasaran Philippe. “Sampai sedikit melewati pinggang. Kenapa?” “Aku mengenal wanita lain, juga orang Amerika, dengan rambut yang sangat mirip rambutmu.” Philippe meringis. “Dia memotong rambutnya. Kurasa suaminya menyuruhnya begitu,” tambahnya muram. “Suaminya tahu betapa aku mengagumi rambutnya yang panjang.” Alis Gretchen terangkat. “Suaminya?” Philippe membelalak. “Mereka memiliki putra, umurnya hampir dua tahun.” “Kurasa dia menolakmu?” Dagu Philippe terangkat. “Aku tidak menawarkan pernikahan,” katanya mengelak. “Pria itu yang melakukannya” “Astaga, kau jahat,” goda Gretchen. Philippe tidak tersenyum. Malah ia terlihat muram dan penuh pertimbangan. “Maaf,” kata Gretchen langsung. “Kurasa wanita itu sangat berarti bagimu?” “Dulu dia adalah duniaku,” kata Philippe tiba-tiba. “Tapi takdir merampasnya dariku.” Ia memandang ke belakang Gretchen dan memberengut. Gretchen menoleh, tepat waktu untuk melihat pria bersetelan krem kini berdiri bersama para pengawal. Salah seorang pria dalam setelan hitam di samping jalan membuat isyarat mendesak dengan tangannya. Pria bersetelan krem memberi isyarat ke arah Philippe. “Kita harus segera pergi,” kata Philippe, menuntun Gretchen ke jalan setapak tempat pemandu mereka sedang menunggu bersama pria-pria bersetelan hitam. Tiba-tiba Philippe berubah menjadi orang lain, orang yang’ terlihat berkuasa dan mengharapkan kepatuhan langsung. Ketika Philippe dan Gretchen menghampiri pria-pria bersetelan hitam, pria-pria itu berdiri di sebelah pria bersetelan krem—pria yang digambarkan Philippe sebagai pegawal seorang pangeran Saudi. Tetapi pria itu sama sekali tidak bersikap seperti anggota kerajaan. Malah, dia bersikap penurut, nada suaranya nyaris memohon. Philippe melontarkan pertanyaan, lalu perintah dalam bahasa yang terdengar berbeda dengan bahasa yang digunakannya di toko-toko tadi. Ia menunduk menatap Gretchen dengan cemas dan menuntunnya kembali ke mobil, dengan pemandu mereka di depan dan tiga pria di belakang serta di samping mereka. Gretchen tidak berbicara. Ia merasakan kesan mendesak dan bahaya yang membuatnya bergerak cepat dan tetap diam. Ia merasakan tatapan Philippe yang cepat dan keketika mereka berjalan kembali ke mobil dan masuk ke mobil tersebut. Para pria bersetelan masuk ke mobil di belakang mereka, mobil Mercedes lain, pikir Gretchen, kemudian mereka melaju ke jalan dan dengan cepat kembali ke jalan bebas hambatan yang menuju Tangier. Dalam beberapa menit, Gretchen menyadari mereka semakin cepat melaju dan ada mobil ketiga yang sepertinya sedang mengejar mereka. Gretchen melirik Philippe dengan ketakutan yang jelas terlihat. Philippe mengeluarkan ponsel dari saku dan berbicara cepat di ponsel dalam bahasa asing. Mobil di belakang mereka, ternyata menuruti perintah, tiba-tiba berputar dan menghalangi jalan sempit itu sehingga mobil yang mengejar harus mengelak atau menabrak mereka. Sementara mereka melesat pergi, suara tembakan beruntun bergema di belakang mereka. Tangan Gretchen mencengkerarn botol minum plastiknya begitu erat sampai nyaris meremukannya. “Tidak apa-apa,” kata Philippe dengan nada lembut dan menghibur, wajahnya keras dan serius. “Kita sangat aman. Kau bereaksi dengan baik pada saat krisis,” tambahnya dengan nada memuji. “Barusan itu tembakan!” kata Gretchen terengah. “Tidak dimaksudkan untuk kita,” kata Philippe santai. “kita hanya membantu pria muda dalam setelan krem tadi menghindari usaha penculikan. Aku jamin, pihak berwenang di Maroko sekarang sedang dalam perjalanan menahan penjahatnya.” “Tapi mereka bersenjata,” Gretchen mendesak. Philippe mengibaskan sebelah tangan. “Bersenjata, tapi sama sekali tidak sekelas Ahmed dan Bruno.” “Siapa mereka?” Philippe terkekeh. “Pengawal.” “Oh, ya. Pengawal pangeran.” Philippe mengangkat alis dan tersenyum mendengar lelucon pribadi itu. Ia menarik lengan bajunya dan melirik jam tangan. Jam itu tipis dan terbuat dari emas, terlihat mahal. “Aku menyesal kita harus mempersingkat tur kita, tapi bagaimanapun juga kita memang harus segera pergi. Aku punya rapat bisnis yang cukup penting sore ini.” Ia mengangkat kepalanya yang gelap dan menatap mata Gretchen. “Apakah kau mau makan malam denganku nanti?” Jantung Gretchen berhenti sejenak dan ia tersenyum kikuk. “Kalau kau... Maksudku, dengan senang hati” “Bien. Aku akan menjemputmu jam 19.45.” “Baiklah.” Gretchen tidak terbiasa makan selarut itu, tetapi hotel tidak menyajikan makanan sampai waktu itu. Ia sudah lapar. Mungkin ia bisa mencari sesuatu untuk dimakan di kulkas kecil di kamarnya. “Apakah kau sudah sarapan?” Gretchen ragu sejenak. “Well, ya.” Philippe tersenyum hangat. “Tapi belum makan siang. kau tahu hotel menyajikan bufet kecil yang enak di samping kolam renang sekitar jam tiga sore?” Gretchen mendesah lega dan balas tersenyum. “Sekarang aku tahu. Kau lihat, menu-menunya semua berbahasa Prancis dan aku harus menunggu pelayan menerjemahkannya untukku.” “Aku akan melakukannya untukmu malam ini.” Philippe kembali mengeluarkan ponsel, menekan beberapa nomor dan berbicara dengan cepat. Orang di seberang sana langsung memberikan jawaban. Philippe mendengarkan, mengatakan sesuatu lagi, dan mematikan ponselnya sambil mendesah. “Para calon penculik itu sudah ditahan.” “Aku belum pernah melihat sesuatu seperti itu dalam hidupku,” kata Gretchen sambil mendesah berat. “Sayangnya, aku sering sekali melihatnya,” kata Philippe sambil lalu. Ia mengatakan sesuatu kepada sopirnya. yang kemudian mengangguk. Ia bersandar lagi dan menyilangkan kaki. “Aku harus meminta Bojo menurunkanku di kedutaan,” katanya pada Gretchen. “Tapi dia akan mengantarmu kembali ke hotel dan menemanimu ke dalam. Aku sudah memerintahkannya untuk memberitahu concierge tentang... petualangan... kita pagi ini, dan untuk menjagamu.” Gretchen merasa seolah-olah Philippe menyelimutinya dengan kain lembut, seperti harta berharga. Gretchen hampir tidak mengenalnya, tetapi Philippe serasa bukan orang asing. “Terima kasih,” kata Gretchen, merasa Seolah-olah kata-kata itu tidak cukup menyatakan apa yang benar-benar ia rasakan. “Seluruh kejadian ini salahku,” gerutu Philippe. “Aku ceroboh.” “Aku tidak mengerti. Kita hanya turis.” Miereka menghampiri serangkaian gedung megah di tengah kota dan sopir melambatkan mobil di pinggir jalan lalu berhenti. “Aku harus pergi.” Philippe mengangkat tangan Grechen ke bibirnya dan menciumnya ringan tepat di atas buku jari, dengan mata hitamnya menatap mata Grechen. “Jangan sedih,” tambahnya lembut. “Saat ini kau lebih aman daripada yang pernah kaurasakan seumur hidupmu.” Ia menoleh dan mengatakan sesuatu yang tajam dalam bahasa aneh. Si sopir terkekeh dan menyahut dengan lambaian tangan. Philippe meninggalkan mobil tanpa menoleh lagi, tetapi ketika sopir melajukan mobil dari pinggir jalan, Gretchen menyadari mobil hitam dengan dua pengawal itu langsung berhenti di pinggir jalan dan dua pria bersetelan gelap keluar, lalu menyusul Philippe. Gretchen mengerutkan kening, bertanya-tanya kenapa mereka mengikuti Philippe dan bukan pangeran Saudi itu. “Para pengawal itu…” katanya. “Mademoiselle tidak perlu cemas,” kata Si Sopir ringan. “Monsieur berada di tangan yang ahli.” “Tetapi bukankah pria-pria itu seharusnya pengawal pangeran Saudi?” Sopir itu ragu sejenak. “Mereka tidak dipekerjakan oleh pangeran,” katanya pada akhirnya. “Mereka sering dipanggil untuk mengawal tamu kehormatan yang sedang berkunjung. Dan pengusaha penting,” tambahnya cepat-cepat dan tersenyum. “Aku mengerti. Terima kasih.” Gretchen tersenyum menyandarkan kepala ke kursi, lega dan masih agak bingung. Sekarang, karena sudah mendapatkan teman Maroko, ia tidak ingin terlalu cepat kehilangan pria itu. Bojo keluar dari Mercedes hotel yang dikemudikannya dan mengawal Gretchen ke meja concierge. Bojo terlihat berbeda sekarang, sangat awas dan tegang sementara mejaskan pada concierge, dalam bahasa yang tidak Gretchei pahami, tentang apa yang telah terjadi. Gretchen menyadari walaupun mengenakan jubah panjang bergaris-garis yang banyak dikenakan pria-pria Maroko, di baliknya Bojo mengenakan setelan. Gretchen mengamatinya tanpa menarik perhatian, mengamati jam tangan mahal di jari pergelangan tangan dan cincin bertatah berlian di jari tengah kirinya. Pria itu sama sekali tidak terlihat seperti pemandu hotel. Tetapi kemudian Bojo berbalik ke arah Grechen, memberi isyarat kepada salah seorang bellboy menyuruhnya menemani Gretchen ke kamar, semuanya dilakukan dengan senyum menenangkan dan sikap penuh pengertian. Gretchen bertanya-tanya apakah ia akan terbiasa dengan semua kenyamanan ini. Gretchen memandang dirinya sendiri di cermin dan menyadari lapisan tipis pasir kuning. Angin sepertinya bertiup sepanjang waktu, dan ia menyadari sepertinya tidak ada mobil yang menggunakan AC, karena jendela-jendela selalu terbuka. Pasir masuk ke taksi dan, ternyata, ke semua tempat. Ia mandi dengan cepat, berhati-hati untuk tidak menggunakan lebih banyak air daripada yang diperlukan. Air di negara padang pasir pastilah sangat berharga. Pakaiannya sangat terbatas karena Maggie mendesak untuk membawa satu koper. Ia mengenakan sepasang celana panjang putih dengan blus sutra berpola putih-ungu dan sandal, kemudian meringis menatap gaun Meksiko berkerut yang tergantung di kamar mandi, yang merupakan satu-satunya pakaian yang bisa ia kenakan untuk makan malam. Mungkin ia bisa menggerai rambut dan mengenakan kalung mutiara serta anting-anting senada agar terlihat bagus. Ia merasa tidak nyaman berpikir dirinya mempermalukan Philippe yang mungkin akan muncul dengan jaket resmi untuk makan malam. Gretchen turun ke bufet makan siang dengan perasaan cemas, yang mereda ketika melihat turis-turis lain dalam pakaian renang sedang mengisi piring-piring keramik. Pelayan tersenyum dan Gretchen balas tersenyum. Ia sadar banyak pengunjung yang memiliki pakaian terbatas juga dan ia berhenti merasa cemas. Ia makan proscuitto, melon, pastry berisi campuran daging burung dara, dan bertanya-tanya apa pendapat orang-orang di Jacobsville tentang makanan pembuka itu. Ia menyesap air “dengan gas” seperti istilah pelayan saat menyebut minuman berkarbonasi itu, dan merasa seperti hedonis yang sedang berlibur. Matahari terasa hangat, tempat itu sangat indah dan dipenuhi mawar yang mekar dan bunga-bunga lain. Suara para perenang yang gembira terdengar lembut di telinganya, sementara Gretchen meringkuk mengantuk sendirian di salah satu ayunan berkanopi di belakang deretan sofa berbantal, Sebelum menyadarinya, ia sudah tertidur. Ia bermimpi. Ia diayun-ayun di kapal sementara angin meniup rambut yang terurai di lehernya. Pipinya bersandar di bantal lembut yang sepertinya berdebar berirama Ia mendesah dan meregangkan tubuh, dan bantal itu mengeluarkan suara aneh. Gretchen membuka mata dan mendongak menatap wajah gelap dengan bekas luka dan mata hitam yang memiliki ekspresi aneh. Pipi Gretchen ada di bahu pria itu dan ia meringkuk di atas kaki panjang pria itu di ayunan Selama beberapa detik mereka hanya bertatapan di bawah sinar matahari yang memudar. “Beruntung sekali kau tidak tidur tepat di bawah sinar matahari,” kata Philippe dengan suara yang lebih beraksen daripada yang pernah Gretchen dengar. “Sinar matahari bisa berbahaya dalam iklim ini.” “Makan siangnya enak dan aku mengantuk,” kata Gretchen dengan suara lirih. Salah satu tangan Philippe ada di leher Gretchen. Ia menggerakan jemarinya dalam belaian samar, sejenak menunduk menatap mulut Gretchen yang lembut sebelum mengangkat matanya dan menatap laut di belakang Gretchen. “Aku jarang tidur,” katanya lirih. “Aku sering bermimpi buruk. “Tentang apa?” tanya Gretchen, terpesona dengan kenyamanan karena berada dalam dekapan Philippe ketika seharusnya ia merasa gugup dan waswas. Pria itu orang asing. Pria itu seharusnya orang asing... Philippe merentangkan jemari Gretchen di jaketnya yang halus dan membelai kuku-kuku Gretchen yang pendek “Perang,” katanya lirih. “Kematian. Jeritan orang-orang tak bersalah dalam kegelapan yang mengerikan.” Gretchen mendongak menatap pria itu, dengan mata lebar dan penasaran, tidak mengerti. “Bukankah kau berasal dari Prancis?” tanyanya ragu. Mata hitam Philippe tertunduk menatap mata Gretchen. “Bukan.” “Kalau begitu, dari mana?” Tangan di leher Gretchen bergerak, sehingga ibu jari Philippe menekan kata-kata itu di bibir Gretchen. “Terlalu cepat, Gretchen,” katanya lembut. “Terlalu cepat Untuk menceritakan kebenarannya. Mari kita hidup dalam dunia khayalan selama beberapa hari lagi dan biarkan hari esok memberikan jawaban.” Gretchen tersenyum ragu. “khayalan seperti apa yang kau pikirkan?” Philippe menyentuh bibir Gretchen dengan lembut “Yang sangat polos,” katanya dengan tawa yang anehnya terdengar serak. “Satu-satunya yang mampu kulakukan.” “Aku tidak mengerti.” “Aku tahu. Mungkin sebaiknya kau tidak mengerti.” Philippe menunduk dan tersenyum pada Gretchen, yang meringkuk dalam pelukannya seperti anak kucing. Gretchen beraroma anggrek. Philippe membelai pipi Gretchen yang merona samar dan hidungnya yang mancung, lalu alisnya yang tipis seolah-olah Philippe sedang melukisnya. “Berapa umurmu?” “Dua puluh tiga,” kata Gretchen jujur. Telunjuk Philippe bergerak di antara bibir Gretchen yang terbuka, dengan sensual membelai bibir atasnya, lalu bibir bawahnya, menikmati reaksi Gretchen. Napas Gretchen terengah di kulit Philippe. Mata Gretchen melebar. Philippe merasa tubuhnya bergetar tanpa sadar, lalu mengutuk diri dan nasibnya. “Seperti apa dirimu kalau sedang bergairah?” Tanya Philippe serak. “Apakah kau penurut, atau apakah suka menggigit dan mencakar...?” Rona merah padam di wajah Gretchen menghentikan kata-kata pria itu. Ia memberengut menatap ekspresi ngeri di wajah Gretchen sebelum wanita itu melepaskan diri darinya dan bergerak menjauh di ayunan itu, mencoba bernapas. “Aku tidak tahu... wanita macam apa yang biasa kau temui.” kata Gretchen dengan suara tercekik, mengelak dari tatapan Philippe yang tajam, “tapi aku tidak melakukan hal semacam itu!” Lengan Philippe terentang di sandaran ayunan. Matanya yang hitam menyipit menatap Gretchen, tertarik. “Hal-hal macam apa?” “Tidur dengan sembarang orang,” kata Gretchen datar dan melotot ke arah Philippe. “Apalagi pria yang baru saja kutemui. Jadi kalau itu sebabnya kau begitu baik padaku, well, sebaiknya kau mencari wanita yang lebih modern Kalau aku mau tidur dengan seseorang, itu adalah suamiku dan bukan orang lain. Titik.” Kesan kasar langsung menguap dari diri Philippe. Ia menatap Gretchen penasaran, lalu tatapannya berubah gembira. Ia tersenyum, lalu tertawa. “Silakan” kata Gretchen lelah. “Sebut aku kuno. Sebut aku hidup pada abad lalu. Aku tidak peduli. Aku pernah mendengar semuanya.” “Pemikiranmu itu kata hati yang suaranya kecil bahkan nyaris tak terdengar di dunia yang gila ini,” kata Philippe lirih. “Aku tahu kau unik di antara wanita-wanita di negaramu,” tambahnya serak. “Aku Berasal dari zaman Victoria,” Gretchen membenarkan Philippe meraih tangan Gretchen dan menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak ingin menjadikanmu selingan seksualku, Gretchen,” katanya lirih. Gretchen ragu. “Kau tidak mau?” Philippe menatap tangan kecil Gretchen dan membenci dirinya karena kutukan yang menghalang-halanginya dari memperoleh harapan-harapan wajar seorang pria. Ia membelai jemari Gretchen sementara mempertimbangkan pilihan-pilihannya. Ia bisa mengirim Gretchen kembali ke rumahnya. Itulah yang terbaik bagi wanita itu. Tetapi Gretchen telah membuka hati Philippe. Ia membuat Philippe ingin hidup. Ia membuat Philippe tertawa, tersenyum, dan memandang dunia sebagai tempat yang menakjubkan dan menggembirakan. Philippe sudah begitu Iama tidak merasa seperti itu. Selama dua tahun, malah. Ia tidak pernah berharap bisa merasa seperti itu lagi. Dan kalau ia bisa merasakan hal ini dengan begitu cepat, bagaimana rasanya ketika waktu berlalu dan mereka sudah saling mengenal? Raut wajah Philippe berkerut. Ya, apa yang akan terjadi kalau Gretchen mengetahui rahasianya yang mengerikan, ketika kenyataan terkuak. Apakah Gretchen menatapnya dengan kasihan, atau benci dan jijik? Apakah Philippe bisa menanggungnya, melihat perasaan itu dalam mata Gretchen yang hijau dan lembut? Ia menatap Gretchen dengan raut wajah tersiksa. “Oh, jangan seperti itu,” kata Gretchen cemas. “Apapun yang salah, semuanya akan baik-baik saja suatu hari nanti. Sungguh. Kau hanya perlu mencari keajaiban, kalau tidak keajaiban itu tidak akan terjadi, Philippe.” “Bagaimana kau tahu ada sesuatu yang salah?” Tanya Philippe langsung. Gretchen mengerutkan kening. “Aku tidak tahu. Tapi memang ada yang salah” Napas Philippe tersekat di. tenggorokannya. Jemarinya mengencang di tangan Gretchen. Ia memandang ke dalam mata Gretchen dan saat itu juga Philippe tahu ia takkan bisa membiarkan wanita itu pergi. 4 “APAKAH karena sesuatu yang kuucapkan?” tanya Gretchen, membuyarkan pikiran Philippe. “Aku tahu aku sangat keras kepala. Aku tidak bermaksud kasar…” Philippe mengangkat jemari Gretchen ke bibirnya dan melepaskannya. “Bukan karena ucapanmu. Malah, aku mengagumi sikapmu,” tambah Philippe sambil tersenyum. “Wanita Muslim menghargai kehormatan mereka. Tetapi itu sifat yang tidak biasa pada zaman ini.” “Memang itulah yang dikatakan semua orang,” Gretchen langsung membenarkan. Ia mengalihkan tatapan. “Orangtuaku sangat tegas dan religius.” Ia memainkan kancing kemejanya. “Kurasa kau Muslim?” “Bukan,” kata Philippe tak terduga. Hal itu membuat Gretchen mendongak. Ia menatap mata pria itu penasaran. “Aku Kristen,” kata Philippe tak terduga, dan tanpa penjelasan. “Dan begitu juga dengan sebagian besar warga negaraku. Kami terbagi rata antara Muslim, Kristen, dan Yahudi. Membuat politik jadi semakin menarik,” tambahnya sambil tersenyum lebar. “Aku terkejut menyadari betapa banyak yang tidak kuketahui tentang tempat ini,” kata Gretchen. “Kukira semua orang adalah Arab dan Muslim. Tapi aku sadar banyak orang yang terlahir di Maroko adalah orang Berber, bukan Arab.” “Mereka sangat bangga pada warisan kuno mereka,” Philippe membenarkan. “Bahasa Berber juga bukan bahasa tertulis. Bahasa itu diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan, dan sejarahnya ada di dalam karpet-karpet yang mereka jual, kisah demi kisah.” “Aku ingin melihatnya,” kata Gretchen. “Besok,” Philippe berjanji. “Aku akan meminta Bojo membawa kita berjalan-jalan ke kota.” “Aku sudah ke sana, tapi waktu itu aku tidak mau melihat-lihat karpet,” kata Gretchen sedih. “Aku tidak menyadari apa yang sudah kulewatkan.” Philippe terkekeh. “Sesuatu untuk dinantikan,” katanya. “Sekarang, aku harus melakukan panggilan telepon, jadi aku terpaksa meninggálkanmu. Aku akan datang menemuimu sebelum jam delapan malam.” “Aku hanya punya satu gaun,” kata Gretchen. “Gaun itu gaun Meksiko putih berenda...” Philippe menebak pikiran Gretchen dan kekhawatiran di wajah wanita itu. “Dan kaupikir aku akan merasa malu karena kau tidak mengenakan sesuatu yang mahal?” “Ya,” kata Gretchen jujur. Philippe tersenyum. “Aku yakin apa pun yang kaukenakan akan memesona,” katanya lembut. “Aku tidak sabar menunggu malam ini.” Philippe meninggalkan Gretchen di ayunan dan Gretchen memandangi punggung Philippe yang anggun ketika pria itu berjalan pergi. Satu hal di negara ini yang telah membuatnya terkesan adalah gerakan orang-orang sini yang sama seperti orang-orang Arab. Tidak ada orang yang sepertinya terburu-buru. Langkah mereka lambat dan menyenangkan, serta cocok dengan gaya hidup bisnis yang ringan, tidak terburu-buru, tidak gegabah. Gretchen tiba-tiba penasaran apakah ada orang yang megalami radang lambung di sini. Ia benar-benar meragukannya. * * * Ia berpakaian dengan sangat hati-hati malam itu. Sudah berbulan-bulan sejak Daryl mengajaknya keluar dan berpura-pura jatuh cinta padanya. Gretchen memikirkan pria itu dengan perasaan malu bercampur benci pada diri sendiri. Ia mangsa yang mudah bagi Daryl, jatuh cinta untuk pertama kalinya dalam hidup dan tersanjung karena pemuda yang begitu tampan tertarik padanya. Daryl bahkan menemaninya di rumah sakit selama beberapa saat terakhir yang mengerikan ketika ibu Gretchen sekarat. Hanya setelah pemakaman Gretchen menyadari minat Daryl. Pria itu mampir di peternakan setelah pulang dari kantor dan menawarkan diri menikahi Gretchen dan mengurus warisan Gretchen untuknya. Ketika Gretchen menjelaskan bahwa tidak ada warisan, Daryl terlihat kaget,lalu marah. Sambil mengomel tentang membuang-buang waktunya, dia pergi dan tidak pernah menoleh lagi. Kakak Gretchen, Marc, sudah mencoba memperingatkan Gretchen tentang Daryl, tetapi Gretchen hanya marah dan menolak mendengarkan. Itulah pertama kalinya seorang pria membuatnya merasa istimewa dan dicintai. Yang menyakitkan adalah ia cukup naif untuk percaya pada Daryl. Tapi, saat itu ibu Gretchen begitu posesif dan bergantung padanya sampai ia jarang berkencan dengan siapa pun ketika berusia belasan dan dua puluhan. Biasanya ia hanya mengalami kencan buta yang kebanyakan hanya berlangsung satu kali. Marc pernah berkomentar bahwa Gretchen harus lebih tegas menghadapi ibunya walaupun dia sedang sakit, tetapi hati Gretchen yang lembut adalah kelemahannya. Ketika ia meminta lebih banyak kebebasan, ibunya setuju, lalu menangis dan menangis karena ditinggal sendirian. Gretchen tetap menjalani kencan buta sampai Daryl tiba. Gretchen bertemu dengan pria itu di kantor hukum tempatnya bekerja. Daryl meminta Mr. Kemp mengurus masalah hukum untuknya, dan setelah berbicara dengan Gretchen, pria itu tahu ibu Gretchen sedang sakit parah dan Gretchen tinggal di peternakan yang besar. Tiba-tiba saja Daryl muncul ketika Gretchen makan siang di kafe setempat, dan ia sering bertemu dengan pria itu di supermarket. Pria itu mengajak Gretchen pergi bersamanya ke Houston untuk menonton pertunjukan balet, tetapi Gretchen menceritakan keadaan di rumah. Daryl tertawa dan berkata mereka bisa berpiknik di rumah Gretchen dan ibu Gretchen boleh bergabung bersama mereka. Gretchen merasa melayang-layang di angkasa. Daryl tidak hanya membuatnya terpesona, tetapi pria itu juga membuat ibu Gretchen terpesona. Daryl benar-benar membuat ibu Gretchen mengalami sisa minggu yang bahagia dan riang. Gretchen menghargai beberapa menit yang dicurinya bersama Daryl, merasa senang dengan ciuman dan belaian Daryl. Daryl melamarnya pada minggu setelah kematian ibu Gretchen, dan setidaknya Gretchen memiliki antisipasi untuk kebahagiaan pada masa depan sementara berkabung untuk satu-satunya orangtua yang dikenalnya. Lalu, seperti semua impian, mimpi itu berakhir tiba-tiba. Rasa malu dan terhina yang dirasakannya diperbesar oleh Daryl yang jelas-jelas menghindarinya setelah pemakaman. Orang-orang merasa kasihan padanya, tapi Gretchen tidak ingin dikasihani. Ia ingin kabur. Lalu Maggie menelepon dan bertanya apakah ia ingin pergi ke Maroko... Gretchen keluar dari pikiran-pikiran yang membuatnya tertekan dan kembali ke masa sekarang. Ia memandang dirinya sendiri di cermin. Dengan rambut pirang panjang yang tergerai dan agak bergelombang di punggung, gaun putih yang mengapung di sekeliling tubuhnya yang ramping, serta mutiara di telinga dan lehernya, ia terlihat berbeda. Ia tidak cantik, tapi juga tidak jelek. Ia juga merasa rapuh. Ia berharap teman barunya bersungguh-sungguh ketika berkata bahwa dia tidak menginginkan afair penuh gairah, karena untuk pertama kalinya, Gretchen mungkin akan menyerah pada kebutuhannya yang tersembunyi. Pria itu jauh lebih menarik daripada Daryl, dan pria itu membangkitkan rasa lapar yang lebih liar dalam dirinya daripada yang pernah Daryl bangkitkan. Greichen tahu Philippe sangat canggih. Mungkin pria itu meninggalkan banyak hati yang terluka dan afair pada masa lalunya. Gretchen harus memastikan ia tidak berakhir sebagai salah seorang dari wanita itu. Ia sudah cukup bersedih akhir-akhir ini. Pada pukul 19.45 tepat, terdengar ketukan di pintu. Gretchen membuka pintu dan mendapati Philippe dalam setelan gelap berpotongan indah dan kemeja putih serta dasi sutra biru berpola. Ia terlihat elegan dan nakal, seperti foto dalam majalah fashion, dan Gretchen merasa kusam dan lusuh dalam gaun serta sepatu yang dibelinya di department store. Mata hitam Philippe terpaku pada rambut Gretchen yang panjang dan ia kelihatan terkesima. Perlahan-lahan, tangannya terangkat ke rambut Gretchen, membelainya, menikmati rasa dan aromanya. Tarikan napasnya terdengar jelas. “Dan kau menyembunyikan rambutmu dalam kepangan,” gumamnya dengan nada rendah. “Sangat disayangkan.” Gretchen tersenyum malu. “Aku cemas setengah mati ketika menggerainya seperti ini .“ “Tapi kau melakukannya untukku, bukan?” Gretchen bergerak-gerak gelisah. “Ya.” Philippe mengangkat dagu Gretchen dan menatap mata wanita itu. Ibu jarinya membelai dagu Gretchen “Kita adalah orang asing, tapi kita sudah saling mengenal selama ribuan tahun,” katanya lirih. Jantung Gretchen mengentak dada. “Aneh sekali,” sahutnya dengan nada lirih. “Siang ini aku juga berpikir begitu.” Philippe mengangguk. “Mungkin itu potongan yang paling kejam,” katanya misterius sambil melepaskan tangan. “Ayo. Kurasa mereka mendatangkan penari peut dari Argentina malam ini,” tambahnya sambil tersenyum naka1. Gretchen menghampiri Philippe. “Dasar genit.” “Aku tidak genit. Aku menghargai kecantikan.” Philippe memegang lengan Gretchen tepat di bawah selendang hitam yang dibelinya. “Percayalah, aku merasa kau lebih menarik daripada seorang penari, tidak peduli betapa ahli penari itu.” “Terima kasih.” “Itu bukan pujian,” kata Philippe ketika mereka berjalan menyusuri lorong berkarpet melewati jendela-jendela bertirai yang menghadap ke teras terbuka di bawah. “Aku cukup mengenalmu untuk tahu bahwa kau membenci kebohongan seperti halnya aku.” Gretchen tersenyum. Kata-kata itu menenangkannya. Mereka turun dengan lift dan berjalan menuruni anak tangga yang mengarah ke pekarangan, tempat air mancur dikelilingi ubin mozaik yang indah. Meja-meja dengan taplak, serbet putih, dan peralatan makan merah muda perlengkapan makan dari perak dan gelas-gelas Kristal. Beberapa pasang pria dan wanita sudah duduk, dan seorang wanita cantik berambut gelap dalam gaun dengan hiasan indah berwarna—warni sedang duduk di atas panggung bersama rekannya, dua-duanya memegang gitar. Hiburan malam ini,” kata Philippe pada Gretchen. “Wanita itu berasal dari Yucatan Peninsula di Meksiko, dan menyanyi seperti malaikat.” “Kau mengenalnya?” Philippe menggeleng. “Tidak, tapi aku datang ke sini dari Madrid. Dia juga tampil di hotel di sana.” “Madrid?” Mereka berhenti sejenak sementara seorang pelayan berjas putih dengan. kopiah merah gelap mengantar mereka ke meja. Philippe membantu Gretchen duduk, lalu ia sendiri duduk. Si pelayan meninggalkan menu dan pergi. “Aku berbisnis di seluruh dunia,” kata Philippe pada Gretchen sambil tersenyum lembut. “Kau bisa menganggapku duta besar, atau semacamnya.” “Itu menjelaskan kehadiran para pengawal, kurasa.” Philippe terlihat bingung dan Gretchen mengangkat bahu. “Aku melihat mereka mengikutimu ke dalam gedung siang ini dan bertanya pada Bojo tentang mereka. Katanya mereka sering mengawal pengusaha dan juga tamu kehormatan yang sedang berkunjung. Philippe mendesah lega. “Ya, memang begitu.” “Aku sangat menikmati siang ini,” kata Gretchen tiba-tiba. “Kau baik sekali karena menawarkan dan ikut denganku. Rasanya sepi setelah Maggie pergi. Kurasa sekarang dia ada di Brussels, menunggu penerbangannya kembali ke Amerika Serikat. “Apakah kau pernah pergi ke Brussels?” tanya Philippe penasaran. “Ya. Aku dan Maggie terbang dari Brussels ke Casablanca, lalu ke sini. Aku akan terbang melewati Amsterdam dalam perjalanan pulang... “ Ia ragu sejenak. Matanya terangkat ke mata Philippe. Tiba-tiba saja pikiran tentang rumah terasa tidak menyenangkan. “Well, bukan sekarang, tentu saja,” tambahnya pelan. “Aku akan. pergi ke Qawi.” Ia menunduk menatap serbet merah mudanya yang terlipat rapi. “Phillipe, kurasa kau belum pernah pergi ke Qawi?” “Sebenarnya,” kata Philippe pelan, “aku menghabiskan waktu di Qawi. Aku berbisnis dengan syekh yang berkuasa di sana. Bisnis yang besar.” Mata Gretchen terangkat dan impian menari-nari di sana. Rasanya seperti khayalan, seolah-olah ia telah melepas keadaan sekelilingnya dan terjebak dalam misteri dan kegembiraan. Semua ada di sana, di wajahnya, kegembiraan yang dirasakan Gretchen. Philippe tersenyum padanya, mata hitam pria itu mengamati ekspresi Gretchen yang gembira. “Dan sekarang Qawi tidak terlalu menakutkan bagimu, bukan?” tanyanya lembut. “Seperti yang kaulihat, kita tidak akan berkata —se1amat tinggal—ketika kau meninggalkan Tangier. Kita akan berkata au revoir—sampai jumpa.” “Aku senang.” Jemari Philippe yang panjang menyentuh punggung tangan Gretchen yang terletak di meja di samping gelasnya. “Aku juga. Walaupun,” tambahnya muram, “aku tidak membantumu dengan membiarkanmu pergi ke sana.” “Kenapa tidak?” “Kau mungkin akan menyadari bahwa penampilan bias sangat menipu.” Mata Gretchen berkilat-kilat. “Jangan katakan padaku. Kau sebenarnya pencuri perhiasan internasional atau mata-mata yang sedang berlibur.” Philippe tertawa meledak. “Tidak,” katanya. “Aku jamin bukan begitu keadaannya.” Gretchen mengamati tangan Philippe. Tangan yang menyentuh tangan Gretchen adalah tangan kiri pria itu, ada bekas luka di punggung tangannya, garis-garis putih di kulitnya yang kecokelatan. Gretchen menyentuh tangan itu dengan ringan. “Karena kecelakaan itu?” Sekujur tubuh Philippe menegang mengingat luka itu. “Ya,” katanya enggan sambil menarik kembali tangannya. “Bodoh sekali aku,” kata Gretchen sambil meringis. “Maaf. Aku tidak bermaksud ikut campur.” Philippe menatap Gretchen dengan emosi yang bertentangan. “Kau harus mengetahuinya sebelum kau meninggalkan Tangier,” katanya tenang. “Tapi aku lebih suka menundanya selama beberapa hari lagi. Kejujuran bisa menimbulkan kerusakan parah.” “Kalau begitu kau pembunuh,” kata Gretchen sambil merenung dan mengangguk. “Aku mengerti. Kau tidak ingin menghancurkan ilusiku rentaug dirimu sebagai perayu wanita yang anggun.” Philippe tertawa lagi, terkejut. “Kau benar-benar mengingatkanku padanya,” kata pria itu tanpa berpikir. “Hal pertama yang menarikku padanya adalab selera humornya yang membuatku menertawai diri sendiri, sesuatu tidak pernah bisa kulakukan sebelumnya.” “Dia?” Philippe beringsut, seolah-olah tadi tidak bermaksud mengatakannya. “Seorang wanita yang kukenal,” katanya enggan. “Berambut pirang, sepertimu, dengan kepribadian yang terbuka. Kurasa dia unik. Aku senang mendapati dunia ini berisi wanita lain yang mirip dengannya.” “Maggie menganggapku gila.” “Ucapan-ucapanmu menyegarkan,” kata Philippe sambil bersandar kembali ke kursi dan mengamati Gretchen. “Kau mungkin kaget mendengar berapa banyak orang hanya mengatakan hal-hal yang harus mereka katakana, karena takut menyinggung. Aku tidak suka dijilat,” tambahnya agak galak, dan matanya berapi-api sejenak. Gretchen berpikir Philippe pastilah orang yang sangat penting. Ia ingin bertanya pada Philippe tentang hidup, latar belakang, pekerjaannya. Gretchen penasaran tentang pria itu. Tetapi sepertinya Philippe tidak suka mencenitakan masa lalunya. Gretchen melirik menu dan meringis. “Bahasa Prancis. kemana pun kita pergi, semuanya ditulis dalam bahasa prancis,” erangnya. Philippe tertawa lirih. “Aku harus mengajarimu membaca menu. ini.” Ia berbagi menu dengan Gretchen, mengucapkan setiap tulisan, dan menyuruh Gretchen mengulangi, lalu menjelaskan artinya. Gretchen memulai dengan makanan pembuka berupa proscuitto dan melon, diikuti dengan makanan utama daging domba disiram saus Maroko. Philippe memesan ikan dan sebotol anggur purih. “Aku tidak pernah minum anggur sebelumnya,” kata Gretchen dan melihat alis Philippe terangkat. “Apakah kau ingin minum yang lain?” Gretchen mengangkat bahu. “Kurasa aku harus tahu sedikit tentang anggur. Kalau sang syekh bukan Muslim, dia mungkin memiliki ruang anggur dan pasti berharap aku tahu semua hal tentang anggur.” Philippe mengerucutkan bibir. “Mungkin,” gumamnya. “Tapi kita tidak mungkin salah tentang anggur putih yang bagus, seperti Riesling atau Chardonnay. Walaupun aku lebih suka anggur Alsace, seperti Gewurtztraminer. Itu jenis selera yang harus dimiliki.” Gretchen menggeleng. “Aku tidak akan pernah bisa mempelajarinya.” “Tentu saja kau bisa. Setiap malam kita akan minum anggur yang berbeda yang ada di daftar menu. Saat meninggalkan Maroko, kau pasti sudah memiliki perngetahuan yang cukup.” Gretchen tersenyum. “Kau sangat canggih.” “Aku dididik di Eropa,” kata Philippe. “Seseorang akan tumbuh dewasa dengan cepat dalam lingkungan yang canggih.” Mata hitamnya menyipit. “Tapi aku tidak terlahir kaya, dan aku tidak pernah melupakan masa laluku, Kemiskinan adalah wabah nyata abad ke-21, Gretchen. Dan ketamakan adalah saudaranya.” “Apakah kau juga merasa seperti itu?” tanya Gretchen lirih. Philippe terkekeh ketika pelayan kembali dan mencatat pesanan mereka. Ketika anggurnya datang, Philippe mengajari Gretchen cara mencicipi dan menikmatinya. “anggur Riesling,” katanya. “Tidak terlalu berat, tidak terlalu ringan.” “Tepat,” kata Gretchen sambil merenung, dan menyukai rasanya. “Kami memiliki kebun anggur kecil, tapi mandor kami menghancurkan kebun itu dengan traktornya.” “Barbar,” kata Philippe. Gretchen terkekeh. “Itulah sebutanku padanya dulu, gumana Gretchen. “Connor si orang barbar. Tidak ada satu pun bunga di pekarangan yang selamat kalau sudah naik ke traktor. Dia penunggang kuda yang hebat, tapi suka mengarahkan mesin pemotong rumput ke arah bedeng bunga dan pohon.” Philippe juga terkekeh membayangkannya. “Dan itu pria yang kaupercayai untuk menjaga peternakanmu?” “Oh, tapi dia hebat dengan kuda dan ternak,” kata Gretchen membela diri. “Dan kurasa kau memujanya?” “Aku sangat menyukainya ketika masih remaja,” Gretchen membenarkan. “Tapi itu dulu.” Mata Philippe menyipit. Ia tidak berbicara lagi sampai salad mereka diantarkan, bersama kopi dan air bersoda untuk Gretchen. “Kalau begitu kau menyukai bunga,” lanjut Philippe. “Aku sangat menyukai bunga,” kata Gretchen sambil melamun. “Aku menanam mawar teh yang memenangkan penghargaan, dan berbagai semak berbunga.” Philippe memainkan salad-nya. “Ayahku sangat suka anggrek,” katanya pada Gretchen. “Dia menyebut bunga-bunga itu ‘cucunya’ dan menamai mereka semua.” Ia terseyum penuh sayang, tenggelam dalam pikirannya. “Ketika masih kecil, aku cemburu pada bunga-bunga itu. ayahku benar-benar memenjarakan seorang pelayan karena lupa menyirami bunga yang sakit, yang akhirnya layu. ayahku benar-benar pendendam.” Gretchen terkekeh. “Bisa kubayangkan bagaimana perasaannya. Aku juga sangat menyayangi mawar-mawar yang sakit. Sepertinya aku memiliki sentuhan yang bisa membuat mereka mekar lagi.” Philippe mengamati Gretchen dengan tajam. “Tetapi ada beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan bahkan oleh tangan paling penuh kasih sekali pun,” katanya sambil lalu, dan kepahitan memberikan garis-garis keras di wajahnya. Ia pria yang memiliki banyak pertentangan. Gretchen mengamati gerakan jemari Philippe yang panjang dan takjub melihat ketangkasan serta keanggunannya. Philippe menyadari tatapan Gretchen dan menegang “Kau merasa bekas lukanya menjijikkan.” Gretchen langsung mendongak. “Demi Tuhan, tidak.” katanya langsung, dengan ketulusan yang nyata. “Aku sedang mengamati cara tanganmu bergerak. Semua orang di bagian dunia ini sepertinya bergerak dengan anggun terutama para pria. Tidak seperti di daerah asalku.” Philippe berubah santai dan menghabiskan salad-nya. Perasaan bersalah karena membohongi Gretchen-lah yang membuat suasana hatiku buruk, pikir Philippe..Ia harus ber-henti berbohong. Apa yang sudah terjadi, terjadilah Tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa mengubahnya. “Kami bergerak seperti kami hidup, tidak terburu-buru,” kata Philippe sederhana. “Aku berani bertaruh kalian tidak memiliki masalah dengan berbagai penyakit akibat penyumbatan pembulul darah seperti yang kami alami di Amerika Serikat,” komentar Gretchen. “Itu mungkin benar.” Philippe menghabiskan salad dan mendorong mangkuk kosongnya. Matanya yang gelap menatap mata Gretchen. “Kau akan mengunjungi negara yang sangat berbeda dengan negaramu sendiri, jauh lebih kuno daripada Maroko. Banyak kenyamanan modern yang tidak ada di sana, bahkan listrik adalah tambahan terbaru. Sampai awal abad ini, sebagian besar masyarat Qawi adalah nomad. Ketika bangsa Eropa datang menjajah, para warga bertahan dan banyak keluarga yang terbunuh. Akan butuh banyak toleransi dari pihakmu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan primitif itu.” Gretchen menurunkan garpunya. “Apakah menurutmu aku sebaiknya pulang?” tanya wanita itu blakblakan. Piilippe ingin berkata ya. Ia ingin menyuruh Gretchen berlari pulang, sekarang, sementara masih bisa. Tetapi ia menatap mata Gretchen dan merasa seolah-olah sebagian dirinya sedang duduk di seberang meja. Ia tidak bisa memaksa kata-katanya keluar. “Aku tahu ini berisiko,” kata Gretchen, senang karena Philippe tidak langsung mengatakan apa-apa. “Tapi aku terlanjur menyukai Maroko. Kurasa aku akan sangat nyaman di Qawi kalau syekh itu bisa bersabar denganku yang tidak mengenal kebiasaan setempat.” Mata Philippe yang gelap menyipit. “Kurasa kau akan menyadari bahwa dia sabar, dalam semua hal.” “Kuharap begitu,” tambah Gretchen penuh semangat. “Ini seperti lompatan besar,” tambahnya pelan. “Lompatan ke sesuatu yang tidak diketahui. Kata Maggie aku menyi-nyiakan hidupku di Texas, dan kurasa dia benar. Aku tidak pernah pergi ke mana pun atau melakukan apa pun yang menegangkan dalam hidupku. Aku tidak pernah menyadari dunia begitu besar dan orang-orangnya beranekaragam. Aku tidak akan pernah melupakan ini apa pun yang terjadi.” “Aku juga,” kata Philippe lirih, dan kedengarannya kata-kata itu seolah-olah ditarik keluar darinya. Ia mencengkeram gelas anggur begitu kuat sampai Gretchen mengira tangkai gelasnya akan patah. Ia bertanya-tanya apa yang membuat Philippe begitu muram, kalau itu memang sikap yang biasa ditunjukkan pria itu. Si penghibur duduk di panggung kecil bersama pen-dampingnya dan mulai menyanyikan lagu cinta yang tajam dalam bahasa Spanyol. Gretchen mendesah dan memejamkan mata, untuk lebih menikmati pertunjukan itu. “Kau mengerti syairnya?” tanya Philippe. “Ya.” Mata Gretchen terbuka dan menatap ke dalam mata Philippe. “Itu lagu tentang pria dan wanita yang saling jatuh cinta namun tidak bisa menikah karena pria itu akan pergi berperang. Mereka mengucapkan selamat tinggal. Sangat menyedihkan.” Philippe tersenyum. “Kau mengerti bahasa Spanyol” “Ya. Lafalku sangat buruk, tapi aku bisa membacanya dan mengerti kalau tidak diucapkan dengan cepat.” “Bahasa SpanIyol juga salah satu bahasa kesukaanku.” Tangan Philippe terulur ke seberang meja dan jemarinya melilit jemari Gretchen sementara ia mengalihkan perhatiannya kembali ke si penyanyi. Gretchen berhenti mendengarkan lagu indah itu. Jemari ramping dan hangat Philippe yang menggenggam jemari Gretchen menyingkirkan akal sehat wanita itu. Ia kembali memejamkan mata dan menyerah pada kegembiraan sensual karena sentuhan Philippe. Acara itu pendek dan berakhir dengan cepat, si penyanyi membungkuk dan meninggalkan mikrofon. Ketika Gretchen kembali ke alam sadar, Philippe sudah melepaskan tangannya dan bersiap-siap membayar tagihan dengan kartu kredit—kartu kredit gold, Gretchen mengamati, menegaskan pendapatnya tentang kedudukan sosial pria itu. Philippe jelas pria yang sangat kaya, terbukti dari pakaiannya. Gretchen bertanya-tanya apakah pria itu mungkin mengira Gretchen bergaul dengannya karena Philippe punya uang. Gretchen yakin Philippe pernah bertemu wanita seperti itu. Philippe menyerahkan kartu itu kepada pelayan dan menyelipkan tip besar di bawah piringnya untuk pria itu. Gretchen tidak memikirkan ini, tetapi sekarang ia yakin Philippe akan mengantarnya kembali ke kamar dan meninggalkannya. Philippe tidak berkata apa-apa tentang rencananya esok hari, tetapi rencana itu mungkin tidak akan melibatkan Gretchen. Gretchen tidak bisa menghadapi pria. Ia tidak tahu cara merayu, ia bukan teman mengobrol yang hebat, dan penampilannya tidak terlalu istimewa. Ia tertekan telah berpikiran terlalu jauh setelah Philippe menemukannya di ayunan. Perhatian pria itu membuatnya pusing karena berharap, tetapi Philippe terlihat seolah-olah sedang menanggung beban berat, dan pria itu tidak menatap mata Gretchen setelah si pelayan mengembalikan kartunya. Philippe menarik kursi Gretchen dengan kesopanan kuno yang sepertinya merupakan bagian dari dirinya dan memegang siku Gretchen sementara ia menuntun Getchen menaiki anak-anak tangga yang mengarah ke lobi “Aku harus pergi,” kata Philippe tanpa menatap Gretchen. “Aku punya janji bisnis malam ini.” “Aku mengerti. ini hari yang luar biasa. Terima kasih. mungkin aku akan melihatmu di sekitar hotel...” Philippe langsung berhenti, menarik Gretchen keluar dari jalan, dan menunduk menatap Gretchen sambil memberengut. “Apakah kau sudah bosan padaku secepat ini?” Wajah Gretchen menunjukkan kekagetan. “Ku... kupikir mungkin kau yang sudah bosan padaku,” katanya lemah. Philippe berubah santai. “Kalau memang aku bosan,” katanya lirih, “itu artinya aku sudah membantumu.” “Tidak bisakah kau menceritakan apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya Gretchen berani. “Tidak.” Philippe melirik jam tangannya. “Besok kita akan mengajak Bojo pergi ke toko karpet. Tapi agak siang. Aku ada pertemuan saat sarapan. Bagaimana kalau jam sepuluh di lobi?” “Jam sepuluh,” kata Gretchen penuh semangat. “Aku akan menantikannya.” Philippe tersenyum lembut. “Apakah kau selalu begitu. bersemangat tentang segala hal?” “Kurasa begitu,” kata Gretchen malu-malu. “Itu karena aku tidak memiliki banyak hal. Keluargaku sangat miskin ketika aku dan Marc tumbuh besar, jadi kami belajar untuk tidak banyak berharap. Kami cenderung menghargai lebih banyak hal daripada orang-orang kebanyakan, kurasa. Kami hidup pada masa sulit.” Mata Philippe yang hitam menyipit. “Aku juga tumbuh besar dalam kemiskinan. Itu sebabnya aku harus melakukan apa pun yang bisa kulakukan untuk membantu wargaku keluar dari keadaan itu. Pendidikan adalah kuncinya, Gretchen. Harus ada sekolah-sekolah yang bagus, guru-guru yang bagus, dan teknologi terbaru di dalamnya, terutama komputer.” Gretchen tersenyum. “Jadi kau bisa bersaing dalam pasar dunia,” tebaknya. Philippe mengangguk. “Tepat sekali. Aku tidak ingin melihat ada anak kecil lain yang mati kelaparan selama aku hidup.” Napas Gretchen tersekat. Ia bisa membayangkan masa kecil Philippe yang menyakitkan. “Perasaan belas kasih yang sangat besar di mata lembut itu.” gumam Philippe lirih. “Qawi beruntung sekali, menarik jiwa yang lembut seperti ini.” “Itulah masalahnya,” cetus Gretchen. “Mereka mengharapkan Maggie, yang canggih, sering bepergian, dan ahli mengurus segala hal.” “Semua itu bisa dipelajari. Kurasa sang syekh akan merasa senang.... mengajarimu.” “Apakah dia punya harem?” tanya Gretchen cemas. Philippe meledak tertawa. “Tidak. Dia pemimpin yang modern.” “Oh, syukurlah!” “Jadi kau tidak ingin menemaninya di ranjang, kalau begitu?” goda Philippe. Wajah Gretchen memerah. “Hentikan itu. Aku akan menjadi sekretaris sosial, bukan skandal dengan sepatu berhak tinggi.” Philippe mengangguk. “Benar.” Ia mendongak dan menatap concierge, yang balas menatapnya dan memberi isyarat, seolah-olah diam-diam sedang terjadi obrolan “jangan meninggalkan hotel sendirian,” Philippe mengingatkan Gretchen. “Tidak pada malam hari,” Gretchen berjanji. “Tidak juga pada siang hari,” Philippe menegaskan. “Aku Harus meninggalkanmu di lift. Bojo sudah menungguku dengan limusin hotel.” Ia mengangkat tangan Gretchen yang lembut ke bibirnya dan dengan ringan menyapu buku jari Gretchen dengan bibirnya. Gretcher merasakan gelitik menyenangkan di sekujur tubuhnya ketika bertemu pandang dengan Philippe. “Sampai besok.” “Ya,” kata Gretchen terengah. “Besok.” Philippe melemparkan senyum hangat kepada Gretchen dan berjalan pergi, seanggun biasa. Gretchen mengamatinya pergi sambil mendesah panjang. Dalam waktu singkat, hidupnya berubah. Gretchen berharap ia tidak akan menyesal menghabiskan liburannya dengan pria yang lebih mengenal wanita daripada Gretchen mengenal Texas. Tetapi kegembiraan-nya bersama pria itu tidak mungkin disangkal, apa pun yang terjadi. Gretchen naik lift ke kamarnya, lalu melepaskan pakaian. Saat itu masih sore, tetapi ia tetap tidur. Besok akan tiba lebih cepat kalau ia tidur sekarang, dan ia menginginkan itu dengan segenap hatinya. Ia memikirkan Maggie yang malang, yang saat ini pasti sedang dalam perjalanan pulang. Ia memadamkan lampu dan memejamkan mata, menyandarkan pipi di tangan yang dengan lembutnya dicium bibir Philippe yang tegas. 5 AKU salah karena tidur lebih awal, pikir Gretchen. Karena keesokan paginya ia terbangun pada pukul lima dan tidak bisa tidur lagi. Ia bangun, mengenakan celana panjang putih rapi dan blus rajut merah muda dengan jaket katun putih, mengenakan kaus kaki dan sepatu olahraga, memasang tas pinggangnya, lalu mondar-mandir di dalam kamar dan menonton televisi sampai bisa turun untuk sarapan. Gretchen tahu Philippe tidak akan ada di tempat sarapan karena pria itu sudah memberitahu bahwa dia ada pertemuan saat sarapan, tetapi ini adalah meja tempatnya duduk bersama Philippe kemarin malam sewaktu mengarkan penyanyi berbakat itu. Itu hal terbaik kedua selain bisa duduk bersama pria itu. Gretchen menyukai air mancur kecil dan ubin indah yang menandai arsitektur di sana. Ia teringat pada istana di Asilah dan berbagai warna biru yang menghiasi ubin keramiknya. Ia tidak akan pernah bisa melupakannya, atau ketika menunggang unta dengan Philippe yang terus memotret dan menertawakan kegembiraannya. Ia heran bagaimana bisa pria yang baru dikenalnya dalam waktu singkat telah menjadi bagian yang begitu penting dalam hidupnya. Ia harus mencoba menahan diri agar tidak tergila-gila pada Philippe. Ada pekerjaan yang harus ia lakukan di Qawi, dan ia pasti harus meninggalkan tempat itu dan menginggalkan Philippe. Kata Philippe dia bukan berasal dari Prancis. Gretchen bertanya-tanya dari mana asal pria itu. Rasanya menghibur karena pria itu memiliki pekerjaan di Qawi dan paling tidak Gretchen bisa bertemu lagi dengannya kadan-kadang. Dan kalau foto-fotonya sudah dicetak, ia memiliki kenangan saat mereka bersama. Ia meraih melon kuningnya dengan lesu. Ia tidak ingin memikirkan saat ketika Philippe keluar dari hidupnya. Sementara memandang bunga-bunga di atas meja sekelilingnya, ia ingat betapa ibunya menyukai bunga. Gretchen masih merasa kehilangan, dan ia yakin Marc juga merasakan hal yang sama. Ia belum bertemu Marc lagi sejak pemakaman, ketika Gretchen mencegah Marc mengejar Daryl dengan tinju terkepal saat dia mendengar apa yang sudah dilakukan pria itu. Untuk tipe penegak hukum konservatif, kakak Gretchen itu sama sekali tidak segan-segan menyuarakan pendapatnya. Dia menggunaka kata-kata yang belum pernah Gretchen dengar untuk menggambarkan mantan tunangan Gretchen yang kabur itu. Ia memainkan pisau rotinya, bertanya-tanya apa pendapat kakaknya tentang pria anggun dan canggih yang di pikatnya di sini. Marc pasti curiga, putus Gretchen,dan Gretchen sendiri seharusnya melakukan hal yang sama. Rasanya aneh ada pria yang tertarik pada wanita lugu serti Gretchen. Sebaiknya ía mengingat hal itu dan berhati-hati dalam melangkah. Philippe mungkin memang benar penjahat internasional yang mencari “samaran” yang nyaman, kalau memang itu istilahnya. Gretchen sama sekali tidak terlihat mencurigakan, dan ia tidak bisa melupakan kemungkinan Philippe mungkin hanya memanfaat-kan dirinya untuk alasan-alasan tertentu. Gretchen tidak bisa mencegah dirinya menemui Philippe, apa pun motif pria itu. Gretchen sudah terlalu lama sendirian. Terlalu lama. Pikiran bahwa Philippe mungkin menyukainya apa adanya langsung ia singkirkan. Gretchen sangat menderita ketika memikirkan penampilannya yang biasa-biasa saja dan sikapnya yang tidak canggih. Maggie mungkin jenis wanita yang Philippe sukai. Gretchen berharap temannya yang malang itu sanggup menghadapi Cord Romero yang buta. Dari apa yang Gretchen ingat tentang pria itu, Cord adalah neraka berjalan dengan dua mata yang berfungsi baik. Dalam keadaan buta, dia akan sangat menyulitkan bahkan bagi perawat veteran sekalipun. Pelayan menuangkan kopi ke dalam cangkir Gretchen dan bertanya apakah ía lapar. Sambil tensenyum malu, Gretchen pergi ke meja dan mengisi piring dengan buah-buahan dan roti. Ia tidak pernah menyukai sarapan tradisional. Jam sepuluh tidak akan tiba, putus Gretchen. Ia telah menghabiskan dua jam terakhir mondar-mandir di kamarnya, memperbaiki tatanan rambut, membaca menu hotel, menonton siaran berita di satu-satunya saluran berbahasa Inggris di televisi, dan memandang ke luar jendela ke arah pelabuhan di kejauhan. Tidak ada tabir di jendela, jadi ketika membuka jendela kayu itu, ia bisa mencium aroma eksotis Tangier dalam tiupan angin yang datang dari laut. Nun jauh di sana adalah Rock of Gilbraltar dan, lebih jauh lagi, Spanyol. Tetapi ada kabut tipis, dan Gretchen tidak bisa melihat daratan. Ketukan mendadak di pintu mengejutkannya. Ia tidak perlu melihat jam tangan untuk mengetahui waktu, karena sepertinya Philippe selalu tepat waktu. Gretchen membuka pintu, dan di sanalah Philippe berada. Pria itu mengenakan celana panjang putih dengan kaus rajut merah dan jaket putih di atasnya. Ia terlihat santai dan anggun, dan Gretchen memutuskan pria itu mungkin tidak memiliki pakaian yang benar-benar santai seperti celana jins dan kemeja chambray. Ia jenis pria kota. Ia sangat berbeda dengan pria-pria kenalan Gretchen di rumah, yang berkeliaran dalam denim dan sepatu bot serta menghabiskan waktu mereka mengeruk jerami dan mengurus ternak. Gretchen ingat, setelah kematian ayah mereka yang mendadak, kakaknya melatih kuda-kuda di padang rumput dan menempel pada kuda-kuda liar itu seperti lem. “Kau terlihat sangat cantik, Mademoiselle,” goda Philippe sambil tersenyum lembut, menyela pikiran-pikiran Gretchen yang kacau. “Aku sedang memikirkan hal yang sama tentang dirimu,” kata Gretchen, bergegas menutup dan mengunci pintu. “Kurasa kau tidak pernah menunggang kuda liar seumur hidupmu,” tambahnya muram dan melirik Philippe sedih. Ekspresi Philippe sulit dibaca. “Kenapa kau berkata begitu?” tanyanya dengan sikap ringan yang terlatih. “Karena kau berpakaian begitu rapi,” kata Gretchen dan tersenyum meminta maaf “Satu-satunya pria yang kukenal berpakaian rapi adalah atasanku, dan dia seorang pengacara. Semua pria di Jacobsville memakai denim—kau tahu,” tambahnya ketika Philippe mengerutkan kening penasaran, “jins, kemeja kerja, dan sepatu bot kotor.” “Ah,” kata Philippe setelah sesaat. “Koboi.” “Benar.” Gretchen melangkah di samping Philippe Sementara mereka menyusuri lorong panjang dengan dinding bermotif khas Maroko. “Kurasa aku bahkan tidak pernah melihat mandor kami mengenakan setelan.” Entah kenapa, kata-kata itu membuat Philippe kesal. Seolah-olah Gretchen menganggapnya boneka pajangan, pria tanpa keahlian fisik. “Apakah kau bisa menunggang kuda?” tanya Philippe. Gretchen tersenyum. “Dulu. Seperti monyet,” kata Gretchen sambil terkekeh. “Kakakku, Marc, menggendongku ke atas kuda poni pertamaku ketika aku berumur tiga tahun dan membuat ibuku terkejut. Aku langsung menyukainya. Aku punya kuda betina Belgia yang cantik, dulu, dan aku sangat suka menunggang kuda,” tambahny. Philippe mengatupkan bibir dan menatap lift. “Aku yakin sang syekh memiliki kandang kuda bagus yang dipenuhi kuda-kuda Arab keturunan murni,” gumamnya. “Kurasa dia tidak akan mengizinkanku menunggang salah satunya, bukan?” tanya Gretchen muram. “Kebanyakan kuda Arab-nya adalah kuda jantan, hanya digunakan untuk berkembang biak, dan berbahaya untuk ditunggangi,” kata Philippe mengelak. “Di samping kuda-kuda jantan itu, dia punya kuda betina dan kuda jantan yang sudah dikebiri untuk ditunggangi, tentu saja.” “Tentu saja.” Gretchen terlihat sedih, mengingat kuda-kuda yang terpaksa keluarganya jual karena tidak bisa lagi mengurus mereka—termasuk kuda betina Belgia Gretchen yang cantik. Philippe menyadari hal itu dan menatap Gretchen penasaran. “Kau menyukai kuda, tetapi membicarakan kuda membuatmu sedih. Kenapa?” Pria itu peka sekali. Gretchen tersenyum. “Oh, aku sedang memikirkan peternakan,” kata Gretchen sambil lalu. “Kuda-kuda kami digunakan sebagai pekerja. sebagian besar di antaranya adalah kuda-kuda quarter.” “Aku pernah mendengar tentang kuda-kuda quarter Texas yang terkenal,” komentar Philippe. “Kau tidak pernah memberitahuku dari mana asalmu” cetus Gretchen. “Satu demi satu.” Philippe mempersilakan Gretchen masuk ke lift dan menekan tombol ke lantai dasar. “hari ini kita akan berjalan-jalan dan melihat-lihat.” Rasanya menyenangkan mengikuti Bojo dan Philippe berkeliling Socco. Bojo mengenal semua pedagang dan di toko mana pembeli bisa mendapatkan harga terbaik. Gretchen duduk di dalam toko karpet dengan takjub sementara si penjual menjelaskan berbagai rancangan dan pola Berber kepadanya. Rancangan itu mirip tulisan hieroglif, pikir Gretchen sementara mengamati dengan saksama. Ada banyak pilihan, dan bukan hanya karpet wol. Ada karpet sutra dan katun juga. Ia jatuh hati pada permadani katun Berber berwarna hijau limau dengan gambar di permukaannya. walaupun Gretchen memprotes, Philippe membelikan permadani itu untuknya dan, setelah menyuruh Gretchen menuliskan alamat peternakannya, ia menyerahkan permadani tersebut kepada si penjual dan menyuruh pria itu mengirimkan permadani ke rumah. Gretchen berkata bahwa pengurus rumahnya, Katie, dan Suaminya akan menerima paket itu kalau ia tidak ada di sana. Bersama sang mandor, Katie mengurus peternakan dengan baik untuk Marc karena Marc Sering bepergian. “Dan sekarang kau sudah memiliki suvenir asli Maroko,” goda Philippe ketika mereka berjalan menyusuri lorong-lorong sempit berdinding tinggi. “Lihat ini,” katanya tiba-tiba dan menarik Gretchen ke lorong kecil yang berakhir di pagar besi. Di belakangnya terdapat kebun indah penuh bunga. “ini salah satu dari sekian banyak rumah peristirahatan di Tangier untuk orang asing yang datang berlibur.” Ia menyebutkan nama bintang opera terkenal dan mendengar tarikan napas Gretchen. “Kau menyukai dia?” tanya Philippe, kaget. “Oh, aku suka opera,” kata Gretchen tulus. Philippe tersenyum. “Aku juga suka. Musik adalah salah satu dari sedikit kesenangan yang kumiliki,” tambahnya dengan begitu serius sampai Gretchen mendongak “Apa yang terjadi sampai membuatmu begitu pahit?” tanya Gretchen lembut. Wajah Philippe mengeras. “Kau tidak perlu khawatir Mademoiselle,” katanya dengan nada tajam dan resmi. “Aku tidak mencoba ikut campur,” kata Gretchen lembut. “Aku minta maaf,” tambahnya sambil berbalik dan berjalan ke arah mereka datang. Sudah jelas ia menyingung sesuatu barusan. Philippe orang yang sangat pendiam. Ia harus mengingat itu, dan tidak boleh banyak bertanya. Apa pun masalah pria itu, pastilah menyakitkan. Philippe membenci apa yang pada akhirnya harus ia katakan kepada Gretchen. Ia benci diingatkan pada kekurangannya, terutama oleh wanita ini. Dalam waktu yang sangat singkat, ia sudah terbiasa dengan Gretchen. Ia dak tahu bagaimana Gretchen akan beraksi terhadap rahasia masa lalunya, dan ia tidak ingin memikirkan hal itu sekarang. Ia membiarkan Gretchen berjalan ke arah Bojo, yang menatap wajah serius Philippe lama-lama dan menyarankan makan siang. Mereka. meninggalkan Socco dan pergi ke restoran di dekat sana, tempat Gretchen merasa terlalu resah untuk makan makanan lain selain salad. Philippe hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun sementara menusuk-nusuk makanannya. Ketika mereka makan, ponsel Bojo berdering. Ia menjawab telepon itu, mengerutkan kening, dan berbicara dengan cepat sebelum tiba-tiba menutup ponsel. Ia dan Philippe berbicara serius dalam bahasa yang tidak Gretchen kenali. Sekarang mereka berdua terlihat muram. Gretchen yakin Philippe akan mengantarnya kembali ke hotel setelah makan siang, dan Philippe memang melakukannya “Jangan meninggalkan hotel, dalam keadaan apa pun,” kata Philippe ketika mereka berdiri di lobi. “Dan jangan percaya pada siapa pun yang berkata aku ingin bertemu denganmu. Kalau ada pesan seperti itu, itu bukan dariku. Kau harus berjanji.” Menilai ekspresi Philippe yang muram, pasti ada sesuatu yang salah. Gretchen. teringat pada para pria bersedan hitam dan tembakan itu, dan ia mengkhawatirkan Philippe. “Kurasa kau takkan menceritakan apa yang terjadi sehingga membuatmu secemas ini, ya?” Tanya Gretchen. Philippe mengabaikan pertanyaan itu. “Seharusnya dari awal aku memaksamu naik pesawat pulang ke Amerika Serikat,” katanya ketus. “Sekarang, kemungkinan itu sudah tidak ada. Keselamatanmu berkaitan dengan keselamatanku, dan aku berada dalam bahaya besar. Aku sangat menyesali hal ini, lebih dari yang bisa kukatakan.” Mata Gretchen melebar. Philippe terlihat sangat tegang. Gretchen bersedia melakukan apa saja untuk menghapus keresahan itu. “Maksudmu kau benar-benar pencuri perhiasan Internasional?” tanya Gretchen dengan kilatan dalam matanya. “Menegangkan sekali! Siapa yang mengejar kita interpol?” Philippe tertawa walaupun merasa takut. “Tidak. Bukan interpol.” Senyumnya memudar. “Gretchen, aku ingin kau merasa takut. Itu mungkin akan menyelamatkan hidupmu yang masih muda.” “Maaf, tapi aku tidak sering merasa takut. Aku tumbuh besar di peternakan dan bekerja untuk pengacara kriminal. Apakah aku boleh memakai jaket panjang dan pistol?” desaknya. Lalu ia mengerutkan kening. “Kalau dipikir-pikir lagi, kita mungkin harus melupakan pistolnya, kata Marc dia hampir tidak pernah melihat tembakan yang lebih buruk... Philippe!” Philippe mencengkeram kedua bahu Gretchen dan meng-guncangnya dengan lembut. “Aku tahu kau bermaksud baik, tapi ini bukan saatnya bercanda. Bersikaplah serius!” katanya dengan nada berkuasa yang mengintimidasi. Sentuhan tangan Philippe yang keras dan kuat terasa menyengat. Gretchen mendongak menatap pria itu dengan bibir terbuka dan mata hijau berkilat-kilat. Rasanya seolah-olah tubuhnya disambar petir. Ia bisa merasakan panas tubuh Philippe, hampir bisa merasakan mint yang menempel di bibir keras itu. Ia belum pernah merasakan reaksi seintens itu pada pria, dan itu membuatnya gegabah. Tangannya bergerak ke dada Philippe dan menekankannya di sana sementara mendongak menatap mata muram, liar, dan hitam yang menghipnotis itu. “Ya Tuhan, kau kuat!” gumam Gretchen sambil lalu. Tangannya kini berada di lengan Philippe, dan jemarinya meremas otot keras di sana, seolah-olah menegaskan setiap ucapannya. Pria itu luar biasa tampan. Gretchen melangkah maju tanpa sadar. Philippe merasakan belaian samar payudara Gretchen di bagian depan kemejanya dan Ia menahan napas. Matanya tertunduk ke arah payudara Gretchen, dan tatapan di matanya membuat Gretchen tidak malu-malu. Ia melangkah maju lagi dan merasakan kaki Philippe menyapu kakinya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia dikuasai kebutuhan fisik yang sangat besar. Ketika wanita itu bergerak, sesuatu terjadi pada Philippe sesuatu... yang luar biasa! Suara yang mirip erangan kasar meluncur dari bibir Philippe. Ia gemetar. Matanya melebar seolah-olah terkejut ketika terangkat ke mata Gretchen yang terdongak dan bingung. Philippe menyumpah lirih dan mendorong Gretchen begitu cepat sampai Gretchen terhuyung sebelum akhirnya bisa menjaga keseimbangan. “Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?” Tanya Gretchen, jelas-jelas cemas dan agak malu. Philippe menarik napas dengan kasar. Salah satu tangannya terkepal di sisi tubuh. Ia tidak bisa bernapas. Ia bahkan tidak bisa berkata-kata. Ada panas menyengat di perut bagian bawahnya, di pahanya yang keras. ini... tidak mungkin! “Aku harus... pergi! Segera!” Wajah Philippe sekeras batu dan matanya berkilat-kilat menatap Gretchen. “Ingat apa yang kukatakan padamu. Jangan keluar!” Kedengarannya lebih mirip perintah daripada permintaan, dan dengan nada yang membuat Gretchen meninding. Philippe tiba-tiba pergi dan tidak menoleh lagi, memberi isyarat memerintah kepada Bojo, yang dengan cepat mengikutinya keluar hotel. “Gretchen berhasil masuk ke lift dan langsung menuju kamarnya, bersyukur adegan kecil itu tidak disaksikan siapa pun. Concierge sedang menelepon dan lobi itu kosong. Philippe mendorongnya, dalam arti sebenarnya, seolah-olah Gretchen membuatnya jijik. Gretchen mengerang keras dan menyandar-kan kening di dinding besi dingin lift itu. Ia sudah menyinggung Philippe karena bersikap begitu berani, dan pria itu takkan mau menemuinya lagi. Ia harus kembali ke kamarnya dan berkemas pergi ke Qawi, melupakan bahwa ia pernah berada di Tangier! Philippe masuk ke limusin yang menunggu dan menyuruh Bojo mengantarnya ke hotelnya sendiri, lebih jauh di jalan itu. Ia langsung masuk ke kamarnya, ke kamar mandi, menutup pintu, menyalakan pancuran, dan membuka pakaian. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahu ia memaksa dirinya menatap bayangan tubuhnya yang telanjang di cermin. Ia mengertakkan gigi ketika menatap kerusakan yang diakibatkan ranjau darat pada dirinya. Bekas-bekas lukanya tidak lebih dari garis-garis putih di kulit kecokelatan. Di sana, di perut bagian bawahnya, adalah yang paling parah. Ia tidak boleh menunjukkan ini kepada siapa pun, wanita mana pun, tidak akan pernah. Para dokter memberitahu bahwa ia takkan pernah bisa berfungsi sebagai pria lagi, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia meragukan apa yang ia anggap selama ini ssebagi kebenaran. Ia memejamkan mata dan membayangkan tubuh Gretchen, tubuh halus dan polos wanita itu, menempel di tubuhnya tanpa selembar benang pun di antara mereka. Sekali lagi, ia merasakan desakan aneh dan baru di tubuhnya. Ia membuka mata dan menatap cermin. Sementara menatap cermin, apa yang ia bayangkan... membuatnya bergairah. “Mon Dieu—Ya Tuhan!” Ia terkesiap, takjub melihat betapa besar gairahnya. Sembilan tahun. Sembilan tahun yang panjang, tak berujung, dan menyakitkan karena impotensi yang menurut semua orang permaneh. Dan ia bergairah karena seorang perawan. Bukan hanya itu, tetapi satu-satunya wanita di planet ini yang tidak boleh ia rayu. Ironi di antara semua ironi, pikir Philippe. Sekarang ada sedikit peluang ia masih bisa berfungsi sebagai pria, tapi itu sia-sia saja, sama sekali tidak berguna. Ia tidak akan pernah bisa menodai kehormatan seorang perawan, bahkan untuk motif ini. Dan walaupun bisa menunjukkan gairahnya, tidak ada jaminan ia bisa mempertahankan ini cukup lama untuk penyatuan seksual yang sempurna dengan seorang wanita. Selama bertahun-tahun ia memang mendapatkan sedikit kesenangan, tetapi tidak pernah mendapatkan reaksi semacam ini akibat berdekatan dengan wanita mana pun. Matanya menyipit. Tetapi, tentu saja ia tidak mencoba mengusahakannya. Ia percaya pada para dokter, dan tidak pernah menyentuh seorang wanita pun selama sembilan tahun yang panjang. Ia tidak pernah menguji kebenaran vonis dokter. Sekarang setelah ia mengujinya, lalu apa? Walaupun ia menyerah pada rasa laparnya akan Gretchen dan mempertahankan wanita itu, Gretchen akan berada dalam bahaya di Maroko karena musuh-musuh Philippe. Apa yang baru saja Bojo ketahui membuat Philippe marah. Musuh terbesarnya baru saja dilepaskan dari penjara di Moskow. Beberapa teman tentara bayaran pria itu juga menghilang. Tidak diragukan lagi, pembalasan dendam sedang direncanakan. Ia harus segera keluar dari Maroko, Gretchen juga. Dalam situasi ini, Gretchen merupakan kelemahan Philippe, karena wanita itu membuat Philippe tertarik. Orang yang berhasil mendapatkan Gretchen bisa menyebutkan harga yang dia minta, berapa pun dan apa pun itu. Philippe akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan Gretchen. Dan itu bukan hanya karena Gretchen mengingatkannya pada Brianne... Philippe hanya memiliki dua pilihan. Ia bisa mengatakan yang sebenarnya kepada Gretchen dan membiarkan wanita itu memutuskan. Atau ia bisa membuat keputusan itu untuk Gretchen dan memulangkan wanita itu sebelum dia terlibat bahaya yang lebih besar, atau membangkitkan harapan yang tidak akan pernah terpenuhi. Gretchen sudah terluka parah secara emosi. Philippe tidak ingin jadi penyebab penderitaan yang lebih besar lagi untuknya. Di lain pihak, Philippe ingin tahu apakah Gretchen memiliki kekuatan untuk membuat dirinya utuh kembali. Tentunya itu bukan permintaan yang berlebihan. Yang Phillippe inginkan adalah merasakan hidup lagi. Ia harus tahu. Apa pun risikonya bagi mereka berdua. Ia bisa lindungi Gretchen. Bagaimanapun juga, membiarkan Gretchen pulang akan membuat wanita itu berada dalam bahaya yang lebih besar. Di samping itu, Philippe tidak ingin Gretchen berada di dekat pria yang pernah wanita itu sukai. Tidak sekarang. Dengan tekad itu, ia melangkah ke bawah pancuran dan mandi. Gretchen berkemas begitu tiba di kamar hotelnya, karena rasa malu dan benci pada diri sendiri. Tetapi ia tersadar ketika kopernya terbuka di atas ranjang. Bagaimana ia akan meninggalkan Philippe sekarang, ketika mereka sudah semakin akrab? Ia tidak benar-benar ingin pergi, walau Philippe bersikap sangat aneh. Gretchen tidak mengerti kenapa Philippe begitu protektif terhadapnya, lalu mendorongnya dengan sikap jijik ketika Gretchen bersikap sedikit lebih berani. Tentunya tidak ada pria waras yang akan menolak pendekatan wanita muda yang lumayan menarik. Tentunya Philippe tidak akan melakukan itu. Philippe canggih dan jelas-jelas berpengalaman. Gretchen berharap ía tahu kesalahan apa yang sudah ia lakukan. Ia tidak pernah bertindak seberani itu. Tetapi Philippe orang asing, dan mungkin terbiasa dengan jenis wanita yang lebih pemalu. Gretchen mencari alasan untuk tidak pergi, dan memutuskan bahwa ia tidak bisa pergi tanpa melihat Philippe lagi, setidaknya ia ingin memahami apa yang sudah ia lakukan sehingga membuat Philippe tersingung. Ia menyimpan kembali kopernya dan menghabiskan sisa hari itu di kolam renang. Keesokan paginya, ia memaksa diri turun ke lantai bawah untuk sarapan beberapa menit lebih lambat daripada biasanya, berharap tidak ada orang yang menyadari lingkaran hitam di bawah matanya karena kurang tidur. Ia terjaga hampir sepanjang malam, memikirkan cara-cara untuk bertanya pada Philippe. Kalau pria itu kembali, tentu saja. Kalau tidak... well, Gretchen hanya perlu melanjutkan hidup. Ia akan pergi ke Qawi, putusnya, dan memulai hal baru. Tetapi ia berdoa agar bisa bertemu Philippe lagi. Ia memaksa dirinya berpikir untuk mengisi piringnya dan bukannya memikirkan Philippe. Seperti orang-orang menakjubkan yang ia ketahui, ia harus belajar bahwa hidup terus berjalan dan tidak bisa dikendalikan siapa pun. Banyak hati yang patah. Ia tahu itu. Lagi pula, ia tidak berharap banyak dari pertemuan tak disengaja semacam ini. Ia memaksa dirinya tersenyum kepada para pelayan dan memasang wajah gembira untuk mereka. Tidak masuk akal membiarkan orang-orang lain menderita gara-gara dirinya. Ketika duduk sendirian di meja, menusuk-nusuk makanan-nya, ia mendongak dan di sana ada Philippe dengan sebuket bunga mawar putih. Philippe menatap mata Gretchen lama-lama sebelum membungkuk dan meletakkan buket itu di hadapan Gretchen, di atas taplak meja putih. “Maafkan aku,” kata Philippe lirih. Gretchen mendongak menatap mata Philippe yang gelap dan Philippe langsung tahu bahwa Gretchen tidak tidur. Ia juga tidak. Perasaan bersalah menyiksa dirinya. Ia duduk di depan Gretchen dan menggenggam erat jemari Gretchen yang dingin dengan tangannya yang hangat dan kuat. “Aku tidak pernah bermaksud bersikap sekasar itu padamu,” katanya lirih. “Atau menyakitimu.” Mata hijau Gretchen seperti warna daun muda. “Kau tidak marah padaku?” Mata Philippe terpejam. “Aku tidak pernah marah” bisiknya, dan mengangkat telapak tangan Gretchen ke bibirnya dan menciumnya dengan lapar. “Itu bukan amarah, Gretchen!” Jantung Gretchen melompat karena rasa bibir Philippe di kulitnya. Jantungnya mulai berpacu liar. Itu bukan perasaan sepihak. Philippe tertarik padanya! Gretchen mengamati wajah Philippe yang kecokelatan dengan saksama, wajahnya memerah gembira ketika menatap pria itu. “Aku senang sekali! Kukira aku sudah membuatmu tersinggung. Karena bersikap terlalu berani,” tambahnya cepat. Alis Philippe terangkat. “Berani?” Gretchen menundukkan mata ke arah jemari mereka yang bertautan. “Aku praktis melemparkan diriku padamu. Lagi pula, kau tidak suka aku menyentuhmu. Aku sudah tahu itu dan seharusnya aku... kenapa kau tertawa?” Philippe nyaris membungkuk karena tertawa terbahakak. Ia mencium telapak tangan Gretchen dengan lapar dan melepaskan tangan wanita itu, memberi isyarat kepada pelayan untuk membawakannya kopi. Hidup itu indah. Ia merasa bertahun-tahun lebih muda dan hidup, sangat jantan. Ia menatap wanita ini, sama sekali tidak menyadari pesonanya sendiri, lalu tersenyum dengan segenap hati. Pria itu terlihat sangat tampan di mata Gretchen, bahkan dengan bekas luka memutih di pipinya. Bekas luka itu hampir tidak tampak kecuali ketika pria itu tersenyum atau memberengut. “Aku suka kau menyentuhku,” kata Philippe serak ketika pelayan telah menuangkan kopi dan menghangatkan kopi Gretchen. “Malah, aku tidak pernah menikmati hal lain lebih dari pada itu.” Gretchen menatap Philippe dengan gembira. “Sungguh.” “Sungguh.” Philippe bersandar di kursi, memainkan pegangan cangkir sementara mengamati Gretchen. “Aku akan menceritakan semuanya suatu hari nanti. ini masih terlalu dini. Apa yang ingin kaulakukan hari ini?” Wajah Gretchen berubah cerah. “Apa pun yang kau inginkan.” Philippe terkekeh lirih mendengar semangat Gretchen “Apa pun?” godanya lembut. Gretchen mencondongkan tubuh ke depan, memandang ke sekeliling mereka dengan sikap waswas yang berlebihan. “Kita bisa menculik dua unta dan memulai usaha agen perjalanan.” Philippe meledak tertawa. “Gagasan yang hebat! Dan kaupikir aku bisa menunggang unta?” Gretchen ragu. “Well….” Ia tidak ingin jujur dan berkata bahwa menurutnya Philippe terlalu rapi untuk kegiatan sekasar itu. Philippe mengangkat sebelah alis dan tersenyum pada Gretchen. “Suatu hari nanti,” katanya sambil merenung, “kau akan menyadari bahwa aku memiliki keahlian rahasia. Tapi sekarang, kurasa kita bisa pergi dan melihat Museum Forbes? Rumahnya, sebenarnya adalah istana, kini akan dijual, tapi kurasa kita bisa melihat-lihat Malcolm Forbes mengadakan pesta besar di sana beberapa tahun lalu, yang disiarkan besar-besaran di televisi.” “Aku tahu, aku menonton liputannya! Rumah itu” seru Gretchen. “Oh, aku ingin melihatnya!” Sebenarnya ia senang jika ditemani Philippe sepanjang hari, tetapi takkan mengambil risiko mempermalukan diri lagi. Philippe rersenyum lebar. “Kalau begitu habiskan sarapan-mu dan kita pergi.” Gretchen menusukkan garpu ke buah di mangkuknya dengan gembira. Rasanya impian benar-benar bisa terwujud. Matanya jatuh pada bunga mawarnya dan ia membelai kelopak halus itu dengan tangannya yang bebas. “Terima kasih untuk ini,” katanya lembut. “Aku suka bunga.” “Begitulah yang kutahu.” Philippe memberi isyarat ke-pelayan, mengatakan sesuatu kepadanya dengan tegas dan memerintah, lalu menyuruhnya pergi dengan mawar itu. “Dia membawa mawarku ke mana?” tanya Gretchen, mendengar nada memerintah Philippe dan kepatuhan pelayan itu. Dia akan memasukkannya ke vas, yang akan diantarkan salah seorang pelayan ke kamarmu,” kata Philippe lirih “Aku suka memikirkan bungaku memandangmu saat kau tidur.” Pipi Gretchen merona samar ketika menatap ke dalam mata Philippe, dan napasnya tersekat. Gretchen mudah disanjung, pikir Philippe, dan itu menganggunya. Mungkin wanita itu sedang melampiaskan perasaannya karena dikhianati tunangannya, atau Sedang menikmati ketertarikan nyata pertamanya. Apa pun yang memotivasi dirinya, wanita itu membangkitkan nyala api dalam diri Philippe yang tidak pernah pria itu rasakan selama sembilan tahun. Philippe menginginkan Gretchen. Tidak ada yang lebih penting daripada itu, untuk saat ini. Mereka melihat-lihat museum di mansion Forbes di laut, dan berjalan-jalan di darat. Philippe menggandeng tangan Gretchen dan membuat wanita itu merasa seperti harta yang dijaga ketat. Tetapi ke mana pun mereka pergi, Bojo mengikuti, begitu juga dua pengawal yang pernah Gretchen lihat di Asilah. Kali ini juga tidak ada pangeran Saudi di dekat sana. Teman seperjalanannya berubah menjadi misteri yang semakin besar, tetapi Gretchen tidak bisa menyangkal dirinya merasa gembira bersama Philippe. Ia sedang jatuh cinta, untuk pertama kali dalam hidupnya. 6 SEPERTINYA Philippe suka berada bersama Gretchen sebesar rasa suka Gretchen bersamanya, karena pria itu mencari berabagai jenis kegiatan yang bisa mereka lakukan bersama. Selama empat hari berikutnya, tanpa melakukannya terang-teragan, Philippe memastikan setiap langkah Gretchen diawasi. bahkan ketika Philippe tidak bersamanya. Gretchen banyak menghabiskan waktu di kebun dan kolam renang ketika Philippe tidak menemaninya berkeliling kota. Philippe ada rapat-rapat dengan pihak asing tentang bisnis di tempat asalnya, dan itu menghabiskan sebagian besar waktunya. Tetapi ia mengusaha-kan setidaknya satu acara makan sehari, kadang-kadang dua, bersama Gretchen. Semakin mengenal Gretchen, Philippe semakin menyukai wanita itu. Gretchen selalu jujur padanya, dan kenyataan bahwa Gretchen tidak tahu siapa Philippe sebenarnya membuat Philippe yakin Gretchen tidak mem-permainkannya. Rasanya menyenangkan dinilai karena diri sendiri. Lalu ia teringat pada Brianne yang merasa kasihan padanya, padahal ia tak mengharapkan itu, dan kenyataan menghancurkannya. Rasanya tidak jujur membiarkan Gretchen mengharapkan hubungan yang normal dengannya, sementara Philippe tahu ia tidak bisa memberikan itu. Tetapi Philippe sendiri mulai ragu akan ketidakmampuannya. Seiring berlalunya hari, Philippe menyadari reaksi fisik awalnya pada Gretchen bukanlah kebetulan. Setiap kali Philippe menyentuh Gretchen, Philippe heran dan senang karena mendapati dirinya bergairah. Gretchen terlalu polos untuk menyadari. Dan, tentu saja, Philippe tidak membiarkan Gretchen terlalu dekat dengannya untuk mempertaruhkan hal itu. Philippe bergandengan tangan dengan Gretchen, tetapi ia tidak berani melangkah lebih dekat, dan itu membuat Gretchen kecewa. Phlippe menyukai godaan Gretchen yang malu-malu, kebersamaannya yang riang, minat Gretchen yang jelas padanya. Philippe tidak bisa mengambil risiko membuat Gretchen kabur darinya sekarang. Tidak sampai ia yakin Gretchen tidal ingin pergi. Gretchen semakin penting baginya. Beberapa hari kemudian, Gretchen sedang duduk di samping kolam renang dalam pakaian renang merah dan kacamata hitam ketika sebuah bayangan menjulang di atasnya. Ia membuka mata, dan Philippe berdiri di sana anggun dalam setelan resmi dan terlihat lebih serius dari pada sebelumnya. Gretchen melepas kacamata hitamnya dan wajahnya memerah karena tatapan yang dilemparkan Philippe ke arah tubuhnya yang tidak terlalu tertutup. Mata Philippe menyipit ke arah payudara Gretchen yang kencang dan penuh sebelum menyusuri perut Gretchen yang datar dan pinggulnya yang sempit, menelusuri kakinya yang panjang dan anggun ke telapak kakinya yang indah. Philippe menahan napas merasakan desakan kenikmatan yang menjalari dirinya. Sensasi-sensasi yang Gretchen bangkitkan terasa baru dan menyenangkan bagi pria yang sudah lumpuh di area pinggang selama bertahun-tahun. Philippe semakin ketagihan dengan desakan-desakan kecil yang nikmat ini ketika sedang bersama Gretchen. Ia juga semakin penasaran apakah bisa merasakan ini sampai lama dan mempertahankan gairahnya di tempat tidur, rasa penasar yang tidak berani ia puaskan. Belum. “Ikutlah denganku, Gretchen,” kata Philippe setelah beberapa saat, dan dengan senyum lembut. “Aku sudah menundanya selama mungkin. Kita harus bicara.” Ia membungkuk dan meraih sebelah tangan Gretchen, menarik wanita itu berdiri. Philippe meraih jubah Gretchen dari kaki kursi dan menyerahkannya kepada Gretchen. Gretchen mengenakan jubah itu dan membiarkan Philippe menuntunnya ke anak tangga marmer ke arah patio, yang dinaungi pepohonan tinggi, di atas kolam renang. Mereka duduk di salah satu meja bepermukaan marmer dan kursi besi putih. Ketika bartender datang menanyakan pesanan, Philippe memesan minuman bercampur rum untuk mereka berdua. Gretchen tahu bahwa waktunya di Maroko sudah hampir habis, dan ia harus pergi ke Qawi sementara Philippe pulang ke rumah—di mana pun rumahnya itu. Pikiran meninggalkan Philippe membuatnya merasa hampa. Dalam waktu yang begitu singkat, Philippe telah berperan penting dalam kebahagiaan Gretchen. Ekspresi Philippe yang serius membuat Gretchen resah. “Aku tidak minum-minuman keras,” katanya. “Kau akan minum ketika mendengar apa yang akan kukatakan padamu,” kata Philippe dengan humor gelap. Ia mengeluarkan rokok Turki tipis dari sakunya dan bertanya, “Tidak apa-apa kalau aku merokok?” Melihat anggukan Gretchen, Philippe menyalakan rokok itu, dan mengembuskan asap. Itu pertama kalinya Gretchen melihat Philippe merokok. Philippe jelas-jelas gelisah. Philippe tidak bicara sampai pelayan mengantarkan minuman mereka, menerima bayaran dan pergi. “pina colada,” katanya pada Gretchen. “Hanya dengan sedikit rum. Cobalah.” Gretchen mencobanya, mengerutkan hidung karena rasa alkohol yang pahit. Philippe tersenyum. “Rasanya akan semakin enak kalau kau terus meminumnya,” katanya datar, dan meneguk minumannya lama-lama. “Apa yang ingin kaubicarakan?” tanya Gretchen. “Tentang diriku,” kata Philippe sambil bersandar di kursi. “Sudah waktunya aku jujur padamu.” Wajahnya mengeras. “Walaupun tidak ingin mengatakannya, aku tidak ingin memberimu harapan palsu mengenai menjalin hubungan denganku.” Wajah Gretchen memerah. “Philippe.. .!” Philippe mengangkat sebelah tangan. “Kau tidak bisa membayangkan betapa sulitnya ini bagiku,” cetusnya. “Please, biarkan aku menyelesaikannya sebelum kau bicara. Sembilan tahun lalu, ketika sedang berada di Palestina untuk urusan bisnis, aku menginjak ranjau darat yang tersisa dari salah satu konflik setempat,” katanya, menghindari mata Gretchen yang terkejut. “Sejak saat itu. aku bukan lagi…seorang pria.” Itu tidak benar, tetapi ia tidak berani menceritakan prasangkanya kepada Gretchen saat ini. Gretchen hampir tidak mengenalnya. Ia harus mendapatkan kepercayaan Gretchen sebelum melangkah ke hubungan yang lebih bersifat fisik bersama wanita itu. Di samping itu, aku Philippe dalam hati, ia ingin melihat bagaimana Gretchen bereaksi pada pria yang dikiranya benar-benar impoten. Gretchen merasa impiannya runtuh. Ia mulai menghubung-hubungkan hal-hal yang ia ketahui. Bekas luka di tangan kiri Philippe. Mata Gretchen langsung mengarah ke sana, lalu ke bekas luka yang lain di sisi kiri wajah Pilippe. Kecelakaan. Ya. Kecelakaan yang menghancurkan Piilippe sebagai pria. Gretchen meneguk minumannya, tersedak dan nyaris tercekik. Hatinya hancur... Mata Philippe terpaku pada gelasnya, bukan pada Gretchen. Well, apa yang aku harapkan? tanya Philippe pada diri sendiri dengan pahit. Ia ingat reaksi Brianne yang ramah namun mengasihani, lalu Philippe memejamkan mata, bergidik karena benci pada diri sendiri. Lalu, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang dingin dan lembut di tangannya, di atas bekas lukanya. Ia membuka mata, dan melihat jemari Gretchen membelai tangannya, mata Gretchen yang hijau besar dipenuhi belas kasihan ketika menatap mata Philippe yang terkejut. “Aku sempat bertanya-tanya kenapa kau belum menikah,” kata Gretchen pelan, “Maksudku, kau pasti tahu kau sangat tampan, dan sangat canggih, dan memesona. Aku bertanya-tanya kenapa kau bisa tertarik pada orang yang biasa dan membosankan sepertiku.” “Membosankan? Biasa?” tanya Philippe, benar-benar kaget. Gretchen mengangkat bahu. “Aku tidak benar-benar menarik. Jadi kukira mungkin kau mengajakku berjalan-jalan karena kau kesepian dan aku kebetulan ada.” Gretchen meringis. “Bagiku hanya itu satu-satunya penjelasan kenapa kau terus bersamaku.” Philippe mengembuskan napas panjang. Ia benar tentang Gretchen. Gretchen tidak lari terbirit-birit. wanita itu berani. Jemari Philippe yang ramping berbalik dan menggenggam jemari Gretchen erat-erat. “Kau memiliki kepercayaan diri yang rendah.” “Kau juga,” kata Gretchen blak-blakan, membuat Philippe kaget. “Dan kau tidak seharusnya begitu. Aku tahu pria dihormati karena kekuatan fisiknya, tapi kau harus ingat kau sedang berbicara dengan seseorang yang tidak tahu apa-apa tentang kenikmatan sensual. Daryl membelaiku satu atau dua kali dan aku membiarkannya, tapi aku tidak benar-benar menyukainya. Hanya itu satu-satunya pengalaman nyataku dengan pria. Jadi mungkin aku juga frigid. Walaupun bukan frigid, bagaimana aku bisa menginginkan apa yang tidak pernah kumiliki?” Ia menatap mata Philippe yang bingung. “Aku menyukaimu, sangat menyukaimu,” kata Gretchen malu-malu, namun tetap memaksakan tersenyum. “Jadi... jadi apakah itu penting? Tentang... lukamu, maksudku?” Philippe bersandar ke kursi sambil mengembuskan napas keras dan melepaskan tangan Gretchen. Ia menghabiskan minumannya sekali teguk, dan duduk melongo menatap Gretchen. Ia benar-benar tidak bisa berkata-kata. Gretchen mengernyit melihat reaksi Philippe. “Kau tidak perlu mengatakan apa-apa,” ia mendesah. “Lagi-lagi aku bicara sembarangan, ya? Aku memperburuk keadaan setiap kali berbicara kepadamu.” “Aku tidak pernah mengenal orang sepertimu, Gretchen,” kata Philippe sambil mendesah berat. Matanya menyipit menatap Grethen dan ia tiba-tiba terlihat bertahun-tahun lebih tua dan lebih berpengalaman daripada Gretchen. Ada keangkuhan aneh di wajah Philippe yang ramping sementara mengamati Gretchen dengan berani. “Jadi kau tidak merasa kondisiku... menakutkan?” Gretchen tersenyum lembut. “Kau masih tetap kau, walaupun kehilangan tangan atau kaki,” jelasnya. “Aku suka bersamamu. Aku merasa... aman.” Philippe tertawa sumbang. “Kau memang aman,” katanya pahit. “Bukan! Bukan rasa aman seperti itu,” koreksi Gretchen, mengerutkan kening sambil mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak takut pada apa pun ketika sedang bersamamu.” Ia mengalihkan tatapan. “Walaupun harus kuakui aku sangat takut kau akan mencoba merayuku.” “Benarkah? Kenapa?” Gretchen menunduk menatap pola rumit ubin di bawah kakinya. “Karena kau bisa melakukannya.” Tidak ada suara dari sisi lain meja untuk waktu yang sangat lama sampai mata Gretchen terangkat. Philippe duduk seperti patung, menatap Gretchen. “Aku mulai bertanya-tanya tentang itu,” kata Philippe, nyaris pada diri sendiri. Matanya menyipit. “Aku tidak mengharapkan reaksi semacam ini darimu. Harus kuakui, kukira reaksi pertamamu adalah naik pesawat pertama kembali ke Amerika Serikat dan melupakanku.” “Kembali pada pekerjaan dan kehidupanku yang membosankan?” Gretchen tertawa lirih sambil mendorong minumannya di permukaan meja. “Aku tidak punya apa-apa di Texas. Kesendirian bisa dibawa-bawa.” Ia menyusuri pola uap di gelasnya yang dingin. “Kaubilang kadang-kadang kau akan pergi ke Qawi,” tambahnya dan melirik sekilas ke arah Philippe. Philippe bersandar dan menyilangkan kakinya yang panjang. Sekarang waktunya bersikap jujur sepenuhnya. Gretchen berhak mendapatkan itu. “Ya. aku tinggal di sana,” kata Philippe ringan. Gretchen mengerjap. “Kau tidak pernah mengatakan itu!” “Aku tidak mengenalmu sebelumnya,” lanjut Philippe lirih. “Aku ingin melihat apakah kau bersedia memberitahuku siapa dirimu. Kaulihat, aku tahu kau bukan Maggie Barton,” tambahnya sambil tersenyum pelan. “Tapi bagaimana caranya?” Philippe mengangkat bahu. “Aku punya foto wanita itu di meja kerjaku,” kata Philippe. “Juga surat lamarannya.” Ia menatap mata Gretchen yang bingung dan duduk bersandar di kursi, mata hitamnya berkilat samar, sementara menunggu dengan sabar sampai Gretchen menghubungkan potongan teka-teki terakhir itu. Mata Gretchen melebar. Ia mengingat semua hal yang pernah didengarnya tentang pemimpin Qawi—usianya, statusnya yang belum menikah, reputasinya yang aneh... Napasnya keluar dalam bentuk desahan takut ketika menyadari siapa Philippe sebenarnya. Para pengawal itu pengawalnya. Bojo sama sekali bukan pemandu, dia sebenarnya salah seorang pengawal. Philippe bukan pengusaha atau duta besar. Ia syekh Qawi. Pria itu atasan baru Gretchen! Philippe terkekeh melihat tatapan Gretchen yang terbelalak. “Jadi akhirnya kau berhasil menyatukan semua kepingannya, Gretchen?” goda pria itu lembut. “Kau jujur padaku sejak awal. Sebelum hari pertama kita bersama berakhir pun aku tahu aku bisa memercayakan hidupku padamu.” “Tapi, aku tidak luwes dan tidak profesional!” kata Greetchen. “Kau membuatku gembira,” sahut Philippe lembut. “Kau memiliki keberanian seperti elang yang sedang berburu, dan kau tidak pernah berbohong. Kalau aku pria seperti sembilan tahun lalu, kau pasti sudah menjadi milikku dalam setiap artinya.” “Aku.” “Kau.” Philippe mendorong gelasnya dan mencondongkan tubuh ke depan. Matanya menyipit. “Gretchen, aku mendesak mempekerjakan wanita Amerika berpengalaman bukan hanya untuk menjadi sekretaris sosial. Sekarang, karena kau sudah mengetahui kebenaran tentang diriku, mungkin kau bisa memahami ketakutanku akan gosip. Seorang pemimpin dalam posisiku tidak bisa mempertontonkan kelemahan, terutama kelemahan sebesar ini. Aku punya motif tersembunyi untuk pekerjaan ini, dan aku masih memilikinya,” tambahnya muram. “Kau mungkin dak bisa menerima persyaratannya. Tetapi aku harus jujur kepadamu.” “Apa yang harus kulakukan?” tanya Gretchen langsung, masih kebingungan karena pengakuan itu, yang berarti akhir dari semua harapannya. Philippe tidak hanya tidak sanggup berhubungan intim, tetapi pria itu juga memiliki status sama seperti raja. Gretchen gadis pekerja yang miskin dari Texas. Tidak ada kemungkinan selain persahabatan dalam hubungan mereka yang rapuh. Gretchen menyadari betapa kecewa dirinya. Tetapi walaupun begitu ia tidak tahan memikirkan tidak bisa bertemu Philippe lagi, walaupun peran Gretchen dalam hidup pria itu sangat kecil. “Kau harus ditemukan dalam situasi yang mencurigakan bersamaku. Tetapi hanya di depan pelayan wanitamu,” Philippe menegaskan dengan tajam. “Aku tidak pernah berpikir mem-biarkanmu terlihat oleh pria dalam kumplan pengawal pribadi atau teman-temanku. Kau akan jadi satu-satunya penghuni haremku, memainkan sandiwara.” Sekujur tubuh Gretchen gemetar. “Berpura-pura menjadi kekasihmu,” kata Gretchen sambil mendesah, mata hijaunya berkilat-kilat dan wajahnya agak memerah. “Ya.” Gretchen merasa sekujur tubuhnya panas. Memikirkan bibir Philippe di bibirnya membuat lututnya lemah. Philippe menginginkan sandiwara. Gretchen menginginkan pria itu, dan baru saja menyadarinya. Kendati mereka mustahil memiliki hubungan lebih, Philippe telah membuatnya sangat tertarik. Berbagai bayangan mengejutkan dan menyenangkan terbentuk dalam benak Gretchen. “Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap dalam harem.” katanya pelan. “Aku juga tidak tahu, selain gambaran yang mengrikan di film-film,” kata Philippe, dengan seberkas nada geli yang baru muncul sejak percakapan itu dimulai. “Kita akan mempelajarinya bersama.” Sebagian keraguan menguap dari ekspresi Gretchen. Ia tersenyum pada Philippe dengan kegembiraan jelas. “Aku mengerti. Kita berdua sama-sama pemula?” “Cara yang bagus untuk mengatakannya,” Philippe membenarkan. Mata hitamnya melembut. “Setidaknya kehormatanmu akan aman bersamaku.” Ia berharap begitu. Ia tidak berani memberitahu Gretchen apa pengaruh sentuhan wanita itu padanya, atau apa arti sesungguhnya sentuhan itu baginya. Philippe tidak ingin membuat Gretchen ketakutan. “Seberapa jauh kita akan melakukan sandiwara ini?” Tanya Gretchen. Harus meyakinkan,” kata Philippe. “Hanya itu.” Gretchen menunduk dengan malu. “Kau akan menciumku dan... semacamnya?” Philippe mengangkat sebelah alis. “Ya. Terutama itu, dan…semacamnya,” godanya. Gretchen tersenyum malu. “Dan kurasa aku harus makan bersamamu?” Philippe mengangguk. “Dan kita akan berjalan-jalan bersama... oh, tidak, kita tidak bisa,” tambah Gretchen, mengingat novel fiksi yang dibacanya tentang dunia tempat Philippe tinggal. “Wanita tidak keluar di tempat umum bersama pria.” “Aku pemimpin Qawi,” cetus Philippe. “Para wanita memiliki hak pilih dan mereka bebas dari pria secara finansial. Para wanita Muslim yang mengenakan aba dan hijab membuat keputusan sendiri tanpa desakan pemerintah. Aku punya menteri-menteri wanita dalam kabinetku dan banyak perusahaan baru membuka cabang-cabang di Qawi yang mempekerjakan eksekutif wanita. Soal kehidupan pribadiku—aku seorang syekh. Aku membuat peraturanku sendiri. Kita bisa pergi ke mana pun yang kauinginkan. Kita bahkan bisa pergi berlayar,” tambahnnya. “Aku punya yacht.” Gretchen lebih bersemangat daripada yang pernah Philippe lihat. “Aku suka kapal.” “Apakah kau pernah naik kapal?” tanya Philippe. Gretchen tertawa. “Well, belum. Tapi kelihatannya menyenangkan.” “Kalau begitu kita akan berpesiar.” Philippe mengerutkan kening melihat raut wajah Gretchen yang gembira. “Kau tidak... merasa terganggu, memikirkan diperlakukn dengan intim oleh pria dengan... kondisi sepertiku?” “Oh, tidak,” kata Gretchen perlahan, berpikir betapa lembut dan kuat tangan Philippe. Ia ingat didekap oleh Philippe di ayunan di pekarangan hotel dan Gretchen menggelenyar senang. “Kurasa akan sangat menyenangkan. Dan menjadi satu-satunya wanita di harem...!” Matanya menari-nari ketika melirik Philippe. “Pikirkan reputasi yang akan kudapatkan di rumah tanggamu! Mereka akan berpikir aku bernilai sebanyak sepuluh wanita!” Tubuh Philippe menegang dengan cara yang menyenangkan dan ia terkekeh. “Kau menganggapku menarik?” tanyanya pelan. Gretchen menelan ludah dan mengangkat minumannya ke bibir. “Sangat,” katanya serak. Philippe merasa dunia berhenti dan mulai berputar lagi dalam beberapa detik yang dihabiskannya memandang ke dalam mata hijau Gretchen yang hangat. Ia tidak bisa membayangkan reaksi Gretchen ketika mendengar tawarannya. Ia nyaris merasa utuh kembali. Ia mengulurkan tangan ke seberang meja dan mengenggam tangan Gretchen yang bebas, menautkan jemarinya dengan jemari Gretchen. “Satu-satunya hal yang bias kujanjikan padamu adalah kepuasan,” katanya lirih, matanya menyala-nyala lembut. “Walaupun tidak dalam cara yang konvensional.” Gretchen tersenyum, terlihat agak bingung. “Ya, kurasa itu akan menjadi pekerjaan yang memuaskan.” Gretchen sama sekali tidak mengerti maksud Philippe. Itu juga menarik. Bibir Philippe terbuka. Ia menunduk dan melihat rokoknya yang sudah lama terlupakan tergeletak di atas ubin, sudah padam. Ia melepaskan tangan Gretchen dan membungkuk untuk memungut rokok itu, meletakkannya dengan lembut di asbak di atas meja. “Kuharap kau tidak keberatan meninggalkan Tangier besok pagi,” kata Philippe tiba-tiba. Jantung Gretchen melompat. “Secepat itu? Tapi kenapa?” “Kau ingat telepon yang diterima Bojo tepat sebelum aku tiba-tiba meninggalkanmu beberapa hari lalu?” Tanya Philippe, kini sangat serius. Gretchen mengangguk, menunggu. “Itu telepon dari salah seorang informan Bojo. Musuh besarku sudah dibebaskan dari penjara Rusia dan mungkin sedang merencanakan serangan balasan atas diriku. Malah, kemungkinan besar orang-orangnyalah yang mencoba menculikku di Asilah waktu itu, walaupun aku tidak bisa membuktikannya.” “Kenapa?” tanya Gretchen. “Menurutmu siapa yang memberikan bukti yang membuatnya dipenjara?” tanya Philippe. “Aku membuktikan keterlibatan dirinya dalam serangan terhadap anjungan minyak dan bencana ekologi di salah satu negara bagian Soviet. Dia kehilangan semua yang dia miliki. Sekarang dia menginginkan balas dendam, dan tidak hanya melwanku. Aku sudah melipat gandakan keamanan di sekitir kita selama empat hari terakhir, tetapi hanya masalah waktu sampai Kurt Brauer melacak kita sampai ke sini. Kita harus meninggalkan Maroko dan terbang ke Qawi, tempat aku punya cukup banyak orang untuk melindungi-mu.” “Kau benar-benar berpikir pria bernama Brauer akan menyakitiku?” tanya Gretchen terkejut. “Tentu saja,” kata Philippe langsung. “Dia akan menyakiti semua orang yang berhubungan denganku—bahkan jika hubungan itu hanya pertemanan biasa—kalau dia bisa. Itulah cara kerjanya.” “Apakah kau punya banyak musub seperti itu?” Philippe tersenyum, dan matanya terlihat penuh kasih. “Tidak,” katanya sambil terkekeh. “Untung bagi kita.” Ia ragu sejenak, mengamati Gretchen. “Kau mungkin menyesal menyetujui untuk menerima pekerjaan ini, Gretchen. Kalau keadaan ini membuatmu tidak nyaman, kau boleh mundur, tapi lakukan dengan segera. Begitu kau menginjakkan kaki di Qawi,” Philippe menambahkan dengan tegas, dan dengan nada posesif aneh dalam suara dan tatapannya yang tajam, “kau harus tetap di sana.” Gretchen berpikir tentang berbaring dalam pelukan Philippe dan membiarkan pria itu menyentuhnya seperti kekasih. Jantungnya berpacu. “Aku tidak ingin mundur,” Katanya langsung, dan dengan ketulusan nyata. “Dan aku tidak takut pada musuh-musuhmu. Aku akan tetap bersamamu, apa pun yang terjadi.” Jantung Philippe rnembuncah mendengar nada suara Gretchen yang berapi-api. Ia tersenyum pelan. “Aku tahu kau berani,” katanya lembut. “Kalau begitu, baiklah. Kita akan memasrahkan masa depan kita di tangan nasib.” “Di tangan nasib,” Gretchen membenarkan dan balas tersenyum, merasa petualangan terbesar dalam hidupnya sedang berlangsung. Keesokan pagi, Gretchen sedang menunggu di lobi ketika atasan barunya tiba bersama Bojo untuk mengantarnya ke bandara. “Baru terpikirkan olehku,” kata Gretchen ketika mereka keluar hotel dan masuk ke limusin sewaan yang kali ini dikemudikan Mustapha, pria yang senang tersenyum. “Apa?” tanya Philippe sambil masuk ke kursi belakang bersama Gretchen, membiarkan Bojo menempati kursi penumpang di depan. “Namamu memang benar Philippe, kan?” Philippe terkekeh. “Sebenarnya, itu salah satu namaku. Tapi aku dikenal dengan nama itu di luar negeri.” “Philippe,” kata Gretchen, membuatnya terdengar seperti belaian. Ia tersenyum. Bibirnya mengerucut. “Dan Souverain-nya?” Gigi putih sempurna Philippe terlihat lagi di kulit cokelatnya. “Bahasa Prancis untuk penguasa—dan aku kan memang penguasa,” tambahnya dengan nada bercanda. “Dan aku memang memiliki darah Prancis, juga Turki dan Arab. Margaku yang sebenarnya adalah Sabon Kukira akan lebih baik merahasiakan identitasku sampai aku mengenalmu lebih baik.” Gretchen tertawa. “Aku dulu sangat naif.” “Kau dulu memang naif, dan sekarang juga masih begitu,” koreksi Philippe, “sangat menyenangkan. Kau membuatku malu karena sandiwaraku, terutama karena kau sangat jujur tentang dirimu sendiri, sejak awal.” “Aku benci kebohongan,” kata Gretchen ringan. “Aku juga, tapi kita kadang-kadang harus mengatakan kebohongan kecil,” balas Philippe. Ia mengamati wajah Gretchen yang agak terbakar matahari. Wanita itu mengenakan blus sutra lengan panjang di atas gaun hijau bercorak yang menegaskan kilatan hijau di matanya. “Apakah kau tidak kepanasan memakai itu?” tanya Philippe tiba-tiba sambil menunjuk blus lengan panjang Gretchen. “Ya, aku kepanasan, tapi dalam brosur perjalanan dikatakan bahwa orang-orang di sini akan mencubit lengan yang telanjang.” Philippe menggeleng. “Jangan baca brosur perjalanan. Tanyakan pada penduduk setempat.” “Apakah kau penduduk Maroko?” tanya Gretchen, bingung dengan kata-kata Philippe. “Aku tidak pernah yakin tentang tempat kelahiranku.” kata Philippe lirih sambil menatap Gretchen. “Sebagian besar masa kecilku buram.” “Kenapa?” tanya Gretchen bingung. “Aku tumbuh besar sebagai pengemis jalanan di Baghdad,” kata Philippe dengan kepahitan yang tidak bisa disembunyikan dalam matanya yang gelap. “Aku kelaparan ketika ayahku datang ke Irak—untuk kunjungan kenegaraan—dan berhasil melacakku sampai ke pengasuh tua yang merawatku,” ia ragu sejenak, “yang memanfaatkanku,” koreksinya pahit, “untuk meminta makanan. Si pengasuh adalah pelayan ibuku yang kabur membawaku ketika ibuku menghilang. Dia takut ayahku akan membunuhku karena dosa-dosa ibuku.” “Apa yang sudah ibumu lakukan sampai dia kabur?” Tanya Gretchen. Philippe meraih tangan Gretchen yang lembut dan menggenggamnya erat-erat, membuat tubuh Gretchen tergelitik senang. “Dia tidur dengan sekurang-kurangnya dua pengawal istana,” kata Philippe dengan gigi mengertak. “Pada zaman itu, hukuman untuk perzinahan bagi yang sudah menikah adalah kematian. Dia kabur ke luar negeri.” “Kurasa ayahmu punya harem?” tanya Gretchen dengan nada jijik yang samar. “Ayahku Kristen,” kata Philippe, mengejutkan Gretchen. “Dia memiliki seorang istri, dan walaupun mereka berbeda agama, ayahku setia pada ibuku. Wanita Muslim tidak diizinkan menikah dengan orang yang berbeda agama. Tapi ibuku ternyata tidak mempermasalahkan agama atau moral. Lebih dari satu kali, aku dan ayahku berfikir apakah aku benar-benar putranya. Kami tidak berani melakukan tes darah,” tambahnya dengan nada mengejek yang pahit. “Aku ikut prihatin. Aku sembarangan menarik kesimpulan.” Philippe menoleh ke arah Gretchen. “Aku menyadari hal yang sama dalam diri orang-orang Amerika” katanya lembut. “Sebagai bangsa, sepertinya kalian terobsesi dengan seks.” “Jangan melihatku,” gumam Gretchen kering. “Aku belum pernah menikmatinya.” “Aku tahu.” Philippe mengangkat telapak tangan Gretchen yang lembap ke bibirnya dan menatap ke mata Gretchen. “Aku senang mengetahuinya. Kemurnian adalah komoditas yang berharga di bagian dunia ini, bagi pria dan juga wanita. Kami merasa gagasan moral Barat sangat buruk.” Gretchen beringsur mendekati Philippe, menyadari dua pria di kursi depan yang mengobrol dengan penuh semangat tidak memperhatikan penumpang—penumpang mereka. Philippe berputar, sehingga lututnya menyentuh kaki Gretchen yang terbalut rok panjang gaunnya. Matanya menatap mata Gretchen. “Kau memiliki... pengaruh aneh padaku,” bisiknya kaku. Mata Gretchen jatuh ke bibir Philippe yang tegas, indah, dan tipis. “Apakah itu alasan kenapa kau rnendorongku?” tanyanya lirih. Tangan Philippe yang ramping meluncur ke rambut pirang di tengkuk Gretchen dan menariknya, mendekatkan telinga wanita itu ke bibirnya. “Aku mendorongmu karena kau membuatku bergairah, dengan sangat nyata,” bisiknya blak-blakan, suaranya serak karena emosi. “Sudah sembilan tahun sejak aku... merasakan reaksi seintens itu pada wanita.” Bibir Gretchen terbuka. Ia merasa tubuhnya membengkak, jantungnya berdebar kencang. Ia bertanya-tanya apakah Philippe bisa mendengar suara jantungnya karena debarannya sangat keras. Tanpa sadar, sebelah tangannra menempel di kemeja putih di balik jaket Philippe dan kukunya mencengkeram kemeja itu, merasakan kelembutan di baliknya. Philippe menginginkannya__philjppe menginginkannya! Philippe mengeluarkan suara rendah dari dalam tenggorokannya dan tangannya yang ada di leher Gretchen menegang sesaat. Ia mundur sehingga bisa melihat ke dalam mata hijau Gretchen. Ia melihat mata Gretchen membesar, merasakan napas Gretchen yang pendek di bibirnya, mengamati tubuh Gretchen bergetar seiring denyut nadinya. Puncak payudara Gretchen menegang di balik sutranya. Gretchen balas menatap Philippe dengan gairah yang hampir tak tersembunyi dan kebanggaan liar bahwa ia bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan wanita lain. Ia gemetar karena sensasi-sensasi baru yang nikmat itu. Ibu jari Philippe ada di bawah telinga Gretchen, di lehernya, merasakan denyut nadi yang liar di sana. “Kau bilang mantan kekasihmu itu membelaimu,” gumam Philippe. Butuh semenit bagi Gretchen untuk menyadari apa yang Philippe katakan. “Dari luar blusku,” bisiknya gemetar. “Tidak di baliknya. Tidak pernah. Aku tidak suka ketika diá menyentuhku.” Kukunya mencengkeram dada Philippe yang bidang dan berotot. Ia tahu dada Philippe berbulu di balik kemeja itu. Ia bisa merasakan bulu yang tebal dan lembut di balik kain itu. “Aku... ingin... membiarkanmu menyentuhku…!” Piilippe menarik wajah Gretchen ke lehernya dan bergidik, menahan Gretchen di sana sementara ia berjuang mengendali-kan diri. Tubuhnya berdenyut. Berdenyut! Ia tidak bisa bernapas. Tangannya menegang di belakang kepala Gretchen dan menekankan pipi Gretchen ke dadanya, tempat jari Gretchen mencengkeramnya. Gretchen mengeluarkan suara kecil dari tenggorokannya dan Philippe mengerang di telinga Gretchen. Terkutuklah orang-orang di kursi depan, terkutuklah limusin ini, terkutuklah orang-orang yang ada di jalan raya yang mengelilingi mobil ini dengan jendela-jendela terbuka... aku menginginkan Gretchen! batin Philippe. “Duduklah yang tegak. Sekarang!” kata Philippe dengan gigi mengertak dan menjauhkan Gretchen, mendudukkan wanita itu dengan tegas kembali di kursinya sendiri sementara ia dengan sengaja memandang ke luar jendela, tangannya terkepal di sisi tubuh. Gretchen kebingungan. Tetapi kali ini ia tahu Philippe tidak mendorongnya menjauh karena Philippe tidak suka Gretchen menyentuhnya. Gretchen melirik ke bawah pinggang celana Philippe, tempat yang tidak tertutup jasnya. Gretchen mungkin polos, tetapi ia tahu dari buku yang dibacanya, bagaimana penampilan pria yang sedang bergairah. Dan Philippe sangat bergairah. Gretchen senang karena tahu efek yang bisa ia timbulkan dalam pria itu, sementara tidak ada wanita lain yang berhasil melakukannya selama sembilan tahun. Lalu keraguan merangkak masuk dan Gretchen bertanya-tanya apakah Philippe mengarang cerita tentang impotensi itu. Ia memikirkannya dan memutuskan bahwa Philippe tidak mungkin berbohong. Kejutan dan kondisi Philipe yang baru membaik membuat pria itu tak terkendali. Gretchen bisa melihatnya dari tangan Philippe yang terkepal erat, dan Gretchen bangga dengan feminitasnya. sejak putus dari Daryl, ia merasa tidak menarik. Sekarang Gretchen tahu bahwa ia tidak kurang dalam hal daya tarik fisik. Philippe menginginkannya. Pria itu benar-benar menginginkannya! Ia berpikir tentang berbaring dalam pelukan Philippe dengan tubuh telanjangnya terpampang untuk mata Philippe, untuk tangan dan bibir pria itu... Rasanya pasti seperti surga kalau membiarkan Philippe menyentuhnya. Gretchen mengulurkan tangan ke arah tangan Philippe yang terkepal dan menggenggamnya dengan jemari yang ringan, sejuk, dan membelai. Philippe langsung menggengam tangan Gretchen, mengaitkan jemarinya di jemari wanita itu sambil menoleh dan menatap Gretchen dengan ekspresi yang bisa mencairkan besi. Gretchen menarik napas tajam dan genggaman Philippe mengencang. Saat itu Gretchen tahu ia mencintai Philippe... 7 BEGITU Gretchen dan Philippe tiba di bandara bersama Mustapha dan Bojo, suasananya langsung berubah. Mereka disambut di pintu masuk oleh tiga pria yang mengenakan setelan, pria-pria besar dengan jas menggelembung mengelilingi mereka setelah melihat isyarat Bojo dan mengawal mereka melintasi terminal ramai, lalu ke tarmak tempat Learjet sudah menunggu. Salah seorang pria terlihat lebih seperti pegulat profesional daripada pengawal sampai ke rambut hitamnya yang diekor kuda. Pengawal itu sama sekali tidak bicara, tetapi hanya dengan sepatah kata tajam dan isyarat dari Philippe, dia langsung mengikuti Gretchen. Dua pria berseragam menyambut Philippe dengan membungkuk dalam-dalam dan berbicara dengan nada hormat. Philippe balas mengatakan sesuatu, jelas-jelas memberikan perintah. Ia menggandeng lengan Gretchen dan menuntun wanita itu menaiki tangga ke kabin luas pesawat jet kecil tersebut. Mereka diikuti para pengawal dan Bojo, lalu mereka semua menempati kursi-kursi di meja-meja yang agak jauh di belakang kursi Philippe. Pesawat jet pribadi itu menakjubkan bagi Gretchen yang tidak pernah naik pesawat jet pribadi. Pesawat itu memiliki kursi dan meja yang nyaman, pramugari berseragam dan berbagai peralatan eletronik yang hanya bisa dibayangkan Gretchen. “Ini mirip ruang kerja kakakku,” kata Gretchen sambil terseyum sementara duduk di depan Philippe di meja samping jendela. “Apa pekerjaan kakakmu?” tanya Philippe. “Dia bekerja untuk Federal Bureau of Investigation,” kata Gretchen. “Dia agen senior. Dulu dia Texas Ranger, dan kurasa dia merindukan jabatan itu. Sahabat baiknya, Judd Dunn, masih bekerja di Austin. Dia terus-menerus membujuk kakakku untuk kembali. Marc sudah dua tahun bekerja dengan FBI dan menyukai pekerjaan itu, tapi dia bilang pekerjaan itu menuntutnya untuk selalu bepergian, dan itu membuatnya lelah.” Gretchen terkekeh. “Dulu dia benci tinggal di kota kami yang kecil, tapi Sekarang dia berkata dia merindukan Texas.” Mata Philippe menyipit. “Apakah hubungan kalian dekat?” “Ya,” kata Gretchen. “Setelah kematian orangtua kami, hanya kami berdua yang tersisa. Apakah kau punya saudara laki-laki atau perempuan?” Philippe memandang ke luar jendela sambil mengeluakan rokok mahal dari sakunya, memotong ujung rokok itu dan menyalakannya. “Aku punya dua saudara laki-laki, dua-duanya lebih tua dariku. Mereka korban pembunuhan berlatar belakang politik lima belas tahun lalu.” “Aku ikut prihatin.” Gretchen memainkan tali yang mengelilingi gaun sutra hijaunya. “Apakah kau perlu mengkhawatirkan musuh-musuh lain selain pria dengan tentara-tentara bayaran itu?” Philippe menyandarkan tubuh ke kursi, mengamati Gretchen. “Semua kepala negara menghadapi kemungkinan pembunuhan, Gretchen,” katanya lembut. “Itu termasuk risikonya.” “Itulah sebabnya kau punya Bojo dan pengawal-pengawal itu, bukan?” Philippe mengangguk. “Aku tidak akan pergi ke mana pun di dunia ini tanpa mereka.” Ia tersenyum “Sebagai putra tunggal ayahku, aku harus menerima diperlakukan terlalu protektif Itu pun kalau dia bisa mengalihkan perhatiannya dari anggrek-anggreknya yang berharga tentu saja,” tambahnya sambil terkekeh. “Apakah dia setuju kau mempekerjakan wanita Amerika untuk mengurus kebutuhan sosialmu?” Philippe mengerucutkan bibir dan mengembuskan asap. Ia memikirkan jawabannya dengan hati-hati sebelum memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. “Tidak. Dia tidak suka orang-orang Eropa karena imperialisme bertahun—tahun lalu. Dan menurutnya orang-orang Amerika itu bermoral bobrok, jadi dia mungkin akan membuatmu merasa tidak nyaman. Kau tidak boleh membiarkannya mengintimidasimu,” kata Philippe tegas. “Kebanyakan pria akan menindas wanita yang membiakan dirinya ditindas.” “Termasuk kau?” tanya Gretchen polos. Mata hitam Philippe menyipit dan ia tidak tersenyum. “Terutama aku. Kau tidak tahu kehidupan seperti apa yang kujalani. Aku sangat senang memberikan perintah bahkan sebelum berkuasa di Qawi, dan aku akan memperingatkanmu bahwa aku sudah terbiasa dengan kepatuhan total sejak kecil.” “itu tidak membuatku kaget,” aku Gretchen sambil tersenyum kecil. Ia merasa Philippe kini lebih menarik setelah tahu sedikit tentang kehidupan pria itu. “Apakab sernua wanita di negaramu berkerudung dan hidup terpisah dari pria?” Philippe mulai tersenyum. “Ah, pers Amerika,” katanya. Mata hitamnya berkilat-kilat nakal. “Aku mengerti. Kalian orang-orang Amerika mengira para wanita kami dijajah, bahwa mereka hidup dalam ketakutan karena kemungkinan dirusak dan dibunuh para pria.” Gretchen tertawa lirih. “Sejak bertemu denganmu aku tidak berpikir begitu lagi,” kata Gretchen padanya. “Aku tersanjung.” Philippe mengisap rokoknya. “Kebetulan kau benar. Aku berusaha mengubah status para wanita, dan ayahku marah-marah tanpa hasil karena hukum-hukum baru yang kutetapkan. Katanya aku sama bobroknya dengan orang-orang Eropa dan Amerika karena ingin memberikan hak, yang hanya boleh dimiliki pria, kepada wanita!” “Bagus untukmu,” kata Gretchen memuji. Philippe tertawa. “Dia juga beragama Kristen, kau tahu,” komentar Philippe tiba-tiba. “Dia mendapatkan kekuasaan dari pamannya dan mempertahankannya selama empat puluh tahun. Tapi keyakinannya membuat pemerintahannya mengalami kesulitan, sampai kemudian populasi agama di negara kami menjadi beragam. Itulah sebabnya dia mengatakan bahwa aku Muslim, dan aku membiarkan anggapan itu sampai aku menerima takhta. Aku sangat menghormati sang nabi dan ajaran-ajarannya, karena sebagian besar keluargaku Muslim,” tambahnya lirih. “Kami tidak mendiskreditkan agama apa pun di Qawi.” “Kau bilang negaramu masih agak... primitif.” Bahu Philippe terangkat dan jatuh. “Dibandingkan dengan negararnu, tentu saja. Tapi aku punya rencana-rencana hebat untuk wargaku, untuk fasilitas pendidikan yang baru, rumah sakit, dan industri modern. Tapi bukan industri yang menyebabkan polusi,” selanya cepat. “Kami sudah terlalu banyak belajar tentang hujan asam dan sampah kimia, dan kami tidak mengimpornya. Tidak, industri kami hanya akan terbatas pada barang-barang elektronik—komputer dan perangkat keras serta perangkat lunaknya. Perusahaan franchise Amerika yang memasarkan baik perangkat keras maupun lunaknya tertarik untuk berinvestasi di Qawi. Kau mungkin tahu perintisnya,” tambahnya. “Canton Roarke.” Gretchen menarik napas tajam. “Mr. Software! Tapi bukankah dia bangkrut beberapa tahun lalu?” “Memang, dan mendapatkan kembali kekayaannya. Aku mengenalnya dari seorang teman, mantan tentara bayaran yang kini tinggal di Cancün, Meksiko, pria bernama Diego Laremos.” “Kau mengenal tentara bayaran asli?” tanya Gretchen takjub. Philippe tertawa senang. Ia mencondongkan tubuh ke depan, melirik waswas ke balik bahu Gretchen. “Menurutmu Bojo itu siapa?” Mata hijau Gretchen melebar. “Yang benar?” Dia termasuk kelompok mereka, dipimpin oleh mantan dokter bernama Micah Steele.” Gretchen mengeluarkan suara tercekik. “Oh, itu kebetulan yang sangat luar biasa,” katanya langsung. “Demi Tuhan, aku bekerja... dulu bekerja, maksudku... dengan adik tiri Micah, Callie Kirby, di kantor hukum di Jacobsville, Texas!” “Micah sering bercerita tentang adiknya. Well, kalau begitu, kau mungkin mengenal Eb Scott dan Cy Parks, mantan anggota kelompok itu, dan mungkin Cord Romero, yang...” “Cord buta!” seru Gretchen. “Itulah sebabnya sahabatku Maggie, pulang untuk menjaganya. Mereka diangkat anak oleh keluarga yang sama. Aku hanya mendapatkan pekerjaan ini karena Maggie harus melepaskannya! Kami datang ke Maroko bersama.” Tangan Philippe terulur dan membelai jemari Gretchen yang anggun. “Takdir,” gumamnya sambil menatap mata Gretchen yang berkilat-kilat. “Ya,” Gretchen membenarkan dengan napas terengah.. “Takdir.” Telunjuk Philippe membelai punggung tangan Gretchen yang lembut dan bibir Gretchen terbuka sementara ia berjuang meredakan denyut nadinya yang berpacu. Philippe melihatnya dan berterima kasih pada dewa karea mengirimkan wanita ini kepadanya, wanita yang membuatnya hidup kembali, yang membuatnya kembali merasa seperti pria. Tubuh Philippe bahkan merespons sentuhan seringan ini, dan ia menahan napas ketika menatap mata Gretchen yang pucat. Pesawat mulai bergerak sementara mereka berpandangan. Beberapa menit kemudian, pesawat sudah tinggal landas, jauh di atas tarmak, menggapai awan. Mata Philippe yang hitam berkilat-kilat sementara mengamati wajah Gretchen yang merah dan tegang. Gretchen terlihat selapar yang Philippe rasakan. Tiba-tiba Philippe melepaskan sabuk pengamannya dan sabuk pengaman Gretchen, lalu menarik Gretchen sampai berdiri. Ia memberi perintah kepada pria-pria lain ketika berjalan melewati mereka sambil menarik Gretchen yang penasaran ke bagian belakang pesawat. Philippe membuka pintu kecil, memasukkan Gretchen ke ruangan di baliknya, dan menutup pintu lagi. Ruangan itu seperti bilik kecil, dilengkapi ranjang mewah, meja tulis, dan dua jendela bulat. Bilik itu gelap, cahaya hanya masuk dari jendela yang terbuka sedikit di atas dua tempat duduk. Gretchen hendak bicara, tetapi Philippe menempelkan telunjuknya di bibir Gretchen dan membungkuk untuk menggendong wanita itu. Philippe membaringkan Gretchen di ranjang dan ikut berbaring di sampingnya. Gretchen mendongak menatap pria itu dengan bingung sementara Philippe menatap mata Gretchen dalam cahaya remang-remang. “Anggap saja ini,” bisik Philippe geli di bibir Gretchen, “wawancara gila yang sensual untuk pekerjaan barumu...!” Dan bibir tegas dan indah pria itu menunduk untuk menyapu bibir Gretchen dengan sensualitas lembut yang mengencangkan setiap otot dan saraf di tubuh Gretchen. Suara terkesiap Gietchen yang samar membuat Philippe mengangkat kepala. Jemarinya membelai tepat di atas tulang belikat Gretchen, di atas blus ungu lengan panjangnya. Mata Gretchen terbuka lebar, takjub, ketika melihat wajah Philippe mengeras. Keheningan dalam kabin hanya dipecahkan suara tinggi mesin jet dan desahan serak napas Philippe sementara pria itu menatap wajahnya. Philippe bisa mendengar sentakan napas Gretchen di mulutnya, ia bisa merasakan debar jantung Gretchen. “Sudah sangat lama, Gretchen,” katanya kaku. “Aku sudah terintimidasi dengan kondisiku untuk berani mendekati wanita secara intim selama hampir sembilan tahun.” Tangannya agak gemetar ketika membelai tubuh Gretchen. Walaupun di atas dua lapis pakaian lembut, sentuhan Philippe terasa membakar seperti cap panas. Gretchen merasa tubuhnya menegang dan sensitif di tempat-tempat yang paling aneh dan ia bergerak tanpa sadar. “Oh... ya ampun!” kata Gretchen dengan suara tersesat. “Kau menikmati ini? Aku juga.” Jemari Philippe semakin berani, membelai lembut lengkungan payudara Gretchen. Ia menunduk dan, dengan keangkuhan maskulin, melihat puncak payudara Gretchen mengeras. Gretchen menahan napas dan mengulurkan jemarinya yang gugup ke dada Philippe yang lebar, menekannya dengan lembut. Philippe merasa tubuhnya merespons tekanan ringan dan menggoda itu seolah-olah Gretchen sedang menyentuh kulitnya sendiri. Ia mengerang lirih. Jemari Gretchen berhenti bergerak. “Maaf,” kata Gretchen, dan hendak menarik kernbali tangannya. Philippe langsung menangkap tangan Gretchen dan mengembalikannya ke tempat semula. “Aku suka itu,” katanya pada Gretchen. “Jangan berhenti.” Mata Philippe berkilat-kilat. Ia menuntun sebelah tangan yang lembut itu ke kancing rompinya dan mengangguk. “Ini wilayah yang tidak kukenal,” kata Gretchen lembut. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.” “Akan kutunjukkan kepadamu,” kata Philippe pendek. “Tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku, seperti yang yang sudahr kauketahui, tidak cukup jantan untuk membahayakan kehormatanmu...” Tangan Gretchen menutup mulut Philippe dengan tegas. Ia menatap Philippe dengan tatapan liar dan tidak berkedip. “Kau pria yang telah mengalami kecelakaan parah,” katanya tegas. “Itu tidak membuatmu lemah. Akulah yang tidak memiliki keahlian,” tambahnya lembut tersenyum pada Philippe. “Aku bahkan tidak tahu apa yang seharusnya kurasakan, jadi itu berarti aku tidak bisa mengkritik apa pun yang kaulakukan.” Napas Philippe yang pendek terdengar jelas. “Padahal awalnya aku mempekerjakan wanita berpengalaman. . . !” “Kita semua membuat kesalahan kecil,” kata Gretchen nakal. “Kau hanya tidak tahu apa yang kaulewatkan. tidak apa-apa. Aku tidak akan menyalahkanmu.” Philippe terpecah antara tawa geli dan gairah hebat untuk menguasai Gretchen. Ini perasaan baru. Ia merasa dirinya mulai bereaksi pada kehangatan Gretchen yang halus di tubuhnya dan tiba-tiba ia menegang. Gretchen merasakan tekanan yang semakin meningkat di pinggulnya, dan alisnya terangkat. “Kukira kaubilang kau tidak bisa melakukan itu,” bisiknya malu. “Aku belum pernah berhasil melakukannya,” Philippe membenarkan dengan bisikan serak. “Tidak selama sembilan tahun terkutuk yang panjang. Dan aku harus merasakannya,” katanya liar, “untuk pertama kali, dengan wanita yang tidak bisa membedakan orgasme dengan kentang!” Gretchen meledak tertawa mendengar ungkapan Philippe yang sinis. “Oh, kau pria jahat!” bisiknya serak. Rasa gelinya tertutup gairah yang semakin meningkat, dan Philippe bisa melihatnya di mata Gretchen, dalam gerakan kecil sensual tubuh Gretchen di pinggulnya. “Aku nakal?” gumam Philippe, senang karena Gretchen menginginkannya, karena godaan Gretchen yang tak terduga, karena Gretchen menerima semua kekurangan Philippe dengan mudah, dan karena Gretchen menyukai sentuhan Philippe. Philippe mulai tersenyum. Apa yang tadinya terlihat seperti masalah sulit baginya selama bertahun-tahun kini tiba-tiba terasa menyenangkan. Philippe mengulurkan tangan ke bawah dan mencubit bokong Gretchen, dengan keras, dan tertawa ketika Gretchen memekik dan mendorongnya, balas tertawa. Salah satu kaki Philippe yang panjang dan kuat menahan Gretchen dengan semangat satu abad yang membuat darahnya panas. “Siksaan,” bisik Philippe di mulut Gretchen. “Kau menggodaku dengan impian surga. . .!” Ia mulai membelai bibir Gretchen dengan bibir dan lidahnya. Selama itu tangannya menjelajahi tubuh Gretchen yang ramping dan hangat dari rusuk ke pinggul dan kembali ke rusuk lagi. “Philippe?” bisik Gretchen terengah. “Apa?” gumam Philippe sambil lalu. “Aku punya payudara,” cetus Gretchen ketika Philippe menggigit bibir bawahnya yang penuh. Philippe bergeming. Kepalanya terangkat dan mata hitamnya yang terkejut menatap mata Gretchen. “Maksudmu?” “Kukira aku harus mengatakannya,” kata Gretchen dengan napas terengah. “Sepertinya kau menganggap aset yang kumiliki hanya tulang rusuk dan pinggul.” “Kau masih perawan,” kata Philippe. “Ya, tapi aku tidak lumpuh dari leher ke bawah!” bisik Gretchen. Jemari Gretchen beralih ke kancing-kancing rompi Philippe, lalu kemejanya, dan Philippe bergeming dengan debar jantung yang mengguncang sementara mencoba menyesuaikan diri dengan suasana hati Gretchen. “Tidakkah kau merasa tidak nyaman?” tanya Philippe. Gretchen terlalu sibuk dengan kancing-kancing itu Untuk memperhatikan. “Tidak nyaman tentang apa? Astaga, kau berbulu di sini. Rasanya... luar biasa!” Ia memberengut. “Kenapa aku harus merasa tidak nyaman?” “Dasar bodoh,” geram Philippe. “Ini berbahaya. Aku tidak bicara sembarangan ketika mengatakan sudah tidak merasakan wanita selama sembilan tahun!” “Mengeluh, mengeluh,” gerutu Gretchen sambil bergerak mendekat. Philippe merasakan belaian tubuh Gretchen di tubuhnya dan ia semakin bergairah. Ia mengerang kasar dan tangannya mencengkeram bantal di bawah kepala Gretchen seolah-olah ingin membunuh benda itu. Gretchen mengundang Philippe untuk bergerak mendekat, dan tangannya membelai dada Philippe yang berbulu dengan kasar dan tangan gemetar. Ia menghirup aroma sabun dan kolonye mahal serta asap rokok yang menempel di tubuh Philippe, mengisi lubang hidungnya dengan aroma pria itu. Philippe ada di sana... di sana! Tanpa sadar Gretchen melekungkan tubuh dengan provokatif dan merasakan getaran yang begitu nikmat sampai ia mengerang. Tangan Philippe yang berada di pinggul Gretchen menghentikan gerakan wanita itu. Philippe bergetar. “Gretchen,” bisiknya. Gretchen gemetar ketika bibir Philippe yang keras kembali ke bibirnya dan menguasainya dengan penuh semangat. Rasanya seolah-olah pria itu bisa melahap Gretchen. Kepala Gretchen mulai berputar-putar. Lengannya rnenyelinap ke balik kemeja dan memeluk Philippe. Tangannya menemukan bekas luka yang dalam di bawah lengan kiri Philippe dan ia bergeming. Philippe merasa dirinya berhenti bernapas saat itu juga, ketika merasakan tangan lembut Gretchen di bekas luka yang merupakan salah satü dari sekian banyak bekas luka. Kepalanya terangkat. Ia menatap wajah Gretchen, menunggu ekspresi jijik, tidak suka. “Ada banyak yang seperti ini bukan?” tanya Gretchen lembut. Jemarinya mernbelai bekas luka itu sampai ke garis pinggang celana panjang Philippe. Gretchen menatap mata Philippe dan mulai menarik kemeja putih Philippe dari pinggang celananya. Philippe ragu, tangannya menahan tangan Gretchen ketika mencapai kulit telanjangnya. Gretchen ragu sejenak. “Apakah.:. tidak apa-apa... kalau aku menyentuhmu?” Gigi Philippe mengertak. “Tapi jangan di bawah pinggang,” gerarnnya. “Kenapa?” Mata Philippe terpejam. “Gretchen, bekas lukanya, beberapa di antaranya, dalam sampai ke tulang. Bekas luka di selangkangan dan paha kiriku... sangat jelek.” “Aku bukan wanita yang mudah pingsan,” kata Gretchen. “Aku suka menyentuhmu,” bisiknya. “Aku suka membiarkanmu menyentuhku.” “Aku belum melakukannya. Belum.” Tangan Gretchen bergeming ketika menatap wajah Philippe. Debar jantungnya semakin cepat. “Apakah kau... mau menyentuhku?” Wajah Philippe mengeras. “Di antara sernua pertanyaan...!” Gretchen menarik tangannya dan dengan serius mulai melepas kancing blus sutranya yang berhias sulaman. Ia melihat mata hitam Philippe langsung terarah ke bra kecil berenda yang ditampilkannya. “Semoga kau tidak berharap banyak,” gumam Gretchen, takjub dengan keberaniannya sendiri, “karena benda ini berlapis. Aku... aku tidak terlalu besar.” Philippe mengerutkan kening. “Berlapis?” Gretchen meringis ketika menarik pinggiran blus dan melepas kaitan branya. “Berlapis,” katanya malu. “Dasar penipu kecil,” goda Philippe, tetapi dengan nada mengejek lembut ketika Gretchen tidak mendorong branya ke samping. “Kenapa aku harus kecewa?” “Kebanyakan pria menyukai wanita yang berdada penuh bukan?” Telunjuk Philippe yang ramping membelai lembah di antara payudara Gretchen, menimbulkan sensasi di sekujur tubuh Gretchen. Gretchen melengkungkan tubuh dengan pasrah ketika Philippe membelai kedua sisi lembah itu. Philippe tertawa dengan suara serak dan seperti hewan pemangsa. Matanya berkilat-kilat penuh perasaan. “Pendapat pria berbeda-beda tentang wanita sempurna. Secara pribadi,” bisik Philippe ketika mulai mendorong salah satu cup bra ke samping, “aku suka payudara yang cocok di mulutku.” Ekspresi di wajah Gretchen tak ternilai. Philippe tertawa. “Apakah kau tidak menonton film?” “Aku menonton film dan juga membaca buku,” kata Gretchen tersekat, kembali melengkungkan tubuh ketika Philippe menyingkirkan cup branya dan menampilkan puncak payudara keras yang menginginkan sentuhan pria. “Tapi aku tidak pernah menyangka akan terasa seperti ini!” “Kau membuatku ingin kembali utuh,” desah Philippe, mengamati mata Gretchen sembari menyingkirkan bra dari payudara wanita itu dan menunduk lapar melihat apa yang ada di baliknya. Jemari Philippe membelai payudara Gretchen, berlama-lama di puncak payudara gelap yang semakin mengeras ketika ia menjepitnya dengan jemari. Gretchen mengeluarkan pekikan kecil melengking dan Philippe mengamati wajah Gretchen selama beberapa deik yang panas sebelum kepalanya tertunduk ke tubuh Gretchen. “Aku sudah melakukan tindakan yang bijak dengan membuat kabin ini kedap suara.. . !“ Gretchen menggeliat seolah-olah tersiksa ketika Philippe mengulum seluruh payudara Gretchen ke dalam mulutnya yang hangat dan panas, lalu mengisapnya dengan lapar. Kuku Gretchen mencengkeram dada Philippe yang bidang dan hangat. Pinggul Gretchen meliuk-liuk di pinggul Philippe, napasnya seolah-olah tersekat ketika Phillipe menawannya dalam pelukan. Philippe mulai mengangkat kepalanya yang gelap dan Gretchen menahannya, mulutnya di telinga Philippe. “Please, jangan berhenti,” bisik Gretchen liar. “Oh, please!” Philippe memperbarui usahanya, bergerak dari satu payudara ke payudara lain sampai Gretchen gemetar, lalu bergerak untuk melepaskan celana panjang Gretchen. Philippe mengutuk celana itu ketika berjuang melepaskan kaitannya, lalu mulutnya menempel di perut Gretchen yang rata, keras, dan panas, dan Gretchen mulai merintih. “Ini tidak cukup,” gumam Philippe dalam perjalanan kembali ke mulur Gretchen. “Ini sama sekali tidak cukup.” Sementara Gretchen mencoba berpikir, memahami gumaman Philippe, tangan ramping pria itu melepaskan celana panjang dan celana dalam Gretchen, dan ia menyentuh Gretchen dengan cara yang tidak pernah Gretchen bayangkan akan dilakukan seorang pria. “Philippe!” pekik Gretchen tersekat. Bibir Philippe menutupi bibir Gretchen sementara menghibur wanita itu dalam keheningan kabin. Ia menarik bibirnya kembali ke payudara Gretchen yang mungil dan kencang sementara tangannya menjelajahi tubuh Gretchen dengan sangat intim sampai Gretchen bisa menangis karena malu. Tetapi, walaupun Gretchen mencoba memprotes, Philippe melakukan sesuatu yang membuat Gretchen melengkungkan tubuh dari ranjang. Matanya yang kaget dan terguncang menatap mata Philippe yang berkilat-kilat selama beberapa detik sebelum Gretchen terlempar dari tebing panas yang mendesak, dan mulai gemetar karena kenikmatan yang belum pernah dialaminya. Mata Gretchen terpejam sewaktu melengkungkan tubuh ke tangan yang ahli itu, kecemasannya diterjang kenikmatan ketika merasakan klimaks pertamanya... Saat itü Gretchen menangis, bergelantung pada Philippe untuk menenangkan diri sementara Philippe mendekap dan mengayun-ayunkan wanita itu, menekan payudara Gretchen yang telanjang ke bulu yang menutupi dadanya yang bidang. Ia telah memuaskan Gretchen dan masih bergairah. ini lebih daripada yang diharapkannya. Kalau bisa bertahan selama ini, ada peluang ia bisa... memiliki Gretchen! Ia mengangkat kepala dan menunduk menatap wajah Gretchen yang memerah, mata lebar, penuh rahasia, dan malu itu. Gretchen masih gemetar karena apa yang Phiilippe berikan kepadanya. Philippe menyapu rambut pirang Gretchen yang berantakan, tergerai dan berayun di sekeliling wajahnya. “Ketika kukatakan bahwa aku bisa memberimu kepuasan,” gumam Philippe “inilah yang kumaksud.” Gretchen menelan ludah, masih malu, tapi takjub melihat tatapan dalam mata Philippe. “Apakah seks terasa seperti ini?” bisiknya. Philippe tersenyum lembut. “Kurasa begitu. Aku tidak yakin aku mengingatnya,” godanya. Kuku Gretchen mencengkeram dada Philippe. “Philippe?” Philippe menunduk dan menyapukan bibirnya di mata Gretchen. “Ya.” “Kau... kau masih bergairah,” bisik Gretchen. “Sangat bergairah,” aku Philippe. “Aku juga terkejut Sebelumnya aku tidak bisa mempertahankannya selama ini.” Gretchen menyentuh ringan dagu Philippe yang tegas lalu mulutnya yang indah. “Kalau kau ingin mencoba…” Philippe mengamati Gretchen dengan mata gelap dan muram. “Kau akan melakukannya untukku? Menawarkan keperawananmu kepadaku tanpa pernikahan?” Gretchen menggigit bibir bawahnya. “Kau kepala negara,” katanya. “Kalau kau menikah, orang itu pasti orang yang sama pentingnya.” Tangan Philippe membelai rambut Gretchen yang berantakan dan menggerainya di bantal. “Orang itu harus wanita yang bisa hidup dengan kekuranganku, apa pun kekuranganku itu,” katanya lirih. “Hanya karena aku bisa mempertahankan gairah seperti ini, tidak membuktikan kemampuanku di ranjang. Aku benar-benar kehilangan sensasi. Aku mungkin saja tidak akan pernah mencapai klimaks, Gretchen,” kata Philippe blakblakan. “Tidak, jangan palingkan wajahmu. Kita harus membicarakannya. Aku tidak akan pernah bisa memberimu anak, entah aku bisa atau tidak bisa menjadi kekasihmu. Kerusakannya seperti yang kubiarkan kau mengetahuinya, sangat mengerikan. Lebih mengerikan daripada yang bisa kutunjukkan kepadamu.” “Apakah kau menemui dokter selama sembilan tahun terakhir ini, setelah mereka membuat diagnosis awal?” “Aku tidak perlu melakukannya,” kata Philippe berat. Ia berguling menjauh dari Gretchen, berbaring telentang, dan menatap langit-langit. “Cermin memberitahuku Semua yang perlu kuketahui, kalau aku bisa memaksa diri menatap bayanganku sendiri.” Gretchen beringsut ke dada Philipe dan memeluk pria itu, meringkuk di sisi tubuh Philippe sehingga bisa menyandarkan pipinya di bahu Philippe yang telanjang. “Kau harus menunjukkan caranya kepadaku,” kata Gretchen lembut, “tapi aku bersedia memperlakukanmu seperti yang baru saja kaulakukan padaku.” Jantung Philippe berhenti berdetak. Lengannya memeluk Gretchen dan mendekap wanita itu beberapa saat. “Tawaran yang murah hati, dan tawaran yang kusyukuri lebih dari yang bisa kaubayangkan. Tapi aku tidak akan membiarkan wanita merasakan diriku, apalagi perawan yang tidak tahu tentang tubuh pria.” Ia berguling dan menempelkan jarinya di bibir Gretchen yang hendak memprotes. “Aku cacat.” Gretchen menangkap jari Philippe dengan jarinya. “Kalau kau tidak percaya padaku, kau tidak akan membiarkanku masuk ke sini sejak awal.” “Aku bergairah,” Philippe mengoreksi. “Aku ingin tahu apakah aku bisa berfungsi.” Ia mengangkat jemari Gretchen ke bibirnya, lalu berguling lagi dan berbaring menatap langit-langit. “Mungkin hanya ini yang bisa kuperoleh,” kata Philippe, suaranya sangat lirih. Jemari Gretchen melilit di bulu ikal di dada Philippe dan matanya terpejam. “Apakah kau bisa merasakan sensasi di sini?” “Sensasi yang aneh,” sahut Philippe setelah sesaat. “Aku lebih merasakannya ketika menyentuhmu.” Ia membelai rambut Gretchen yang berantakan. “Apakah kau belum pernah mencoba bercinta dengan siapa pun sejak kecelakaan itu?” “Para dokter memberitahuku bahwa itu takkan ada gunanya, aku yakin mereka benar.” Tangannya menegang di rambut Gretchen. “Reaksi yang kualami bersamamu adalah misteri.” “Mungkin sebelum ini kau tidak merasakan apa-apa karena tidak membiarkan dirimu mencobanya.” “Aku pernah mencoba menjalin hubungan, satu kali,” kata Philippe pahit. “Dengan seorang wanita di Eropa,” “Apa yang terjadi?” “Tidak ada, dan dia merasa keadaan itu menggelikan.” Suara Philippe berubah muram mengingat tawa wanita itu. “Saat itulah aku menyerah. Aku memutuskan bahwa sandiwara adalah satu-satunya pilihan yang tersisa untukku, sandiwara tentang hubungan serius untuk meredakan gosip lama.” “Aku tidak akan pernah menertawakanmu,” kata Gretchen dengan amarah yang dirasakannya pada wanita tak bernama itu. Philippe memeluk Gretchen dengan erat dan menarik wanita itu ke arahnya. “Seharusnya aku mengirimmu kembali ke Texas, sekarang juga.” “Dan aku akan kembali pada pekerjaan lamaku membaca ketetapan hukum yang membosankan, sementara orang lain bisa memerankan wanita liar di harem,” kata Gretchen dengan kekesalan yang disengaja. “Bagaimana bisa kau sampai berpikir untuk melakukan itu padaku?” Philippe mengangkat sebelah alis dan mengamati Cretchen, mengalihkan tatapannya dengan malas ke payudara lembut yang menempel di dadanya yang berbulu. Ia masih bergairah. Gretchen membuatnya merasa lebih kuat daripada yang pernah ia rasakan seumur hidup. Sementara rnengamati Gretchen, ia baru terpikir bahwa yang ia tawarkan kepada Gretchen adalah reputasi buruk. Akar Timur Tengah-nya bergidik memikirkan tindakan tidak senonoh seperti itu. Gretchen tidak bersalah. Philippe malu karena berpikir ingin mencemari Gretchen seperti itu. Ia membelai bibir Gretchen yang penuh. “Jadi kau lebih suka tinggal bersamaku dan bermain dokter-dokteran, mmm?” goda Philippe lembut. Gretchen menatap Philippe dengan tatapan mengejek. Hanya kalau kau bermain dengan adil. Aku tidak akan menjadi satu-satunya orang yang melepaskan pakaian.” Mata hitam Philippe menari-nari. Ia merasakan kebahagiaan sebagai sesuatu yang nyata ketika Gretchen. berbaring dalam pelukannya. “Sayang sekali,” katanya sambil menarik Gretchen mendekat dengan lembut. “Kau terlihat menggoda tanpa pakaian.” “Kurasa aku harus belajar mengatur acara makan siang, rapat, dan pertemuan sosial,” Gretchen mendesah. Philippe membelai rambut Gretchen yang pirang halus. “Aku punya banyak orang yang bisa melakukan hal itu. Satu-satunya perhatianmu adalah aku.” Alis Gretchen terangkat. “Aku pasti akan gemuk.” Philippe tersenyum. “Kau tidak akan punya waktu. Aku akan berada di istana untuk beberapa waktu ke depan. Aku punya rencana-rencana yang sebentar lagi akan berjalan, terutama di bidang pendidikan. Kau bisa membantuku meyakinkan suku-suku di daerah pinggiran untuk membiarkan anak-anak mereka dididik.” “Aku akan dengan senang hati melakukannya! Tapi aku tidak bisa berbicara dalam bahasamu,” kata Gretchen. “Kau bisa belajar. Bahasaku adalah dialek Arab, dan aku akan mencarikan tutor untukmu.” “Sesuatu yang lain untuk dinantikan,” kata Gretchen sambil menatap mata Philippe. “Misiku sendiri.” “Sesuatu yang lain, kaubilang?” “Mmm-hmm.” Gretchen menunduk dan menyapukan bibirnya di bibir Philippe dengan lembut, menggigit pelan bibir atas pria itu yang tipis, lalu bibir bawahnya yang lebih penuh. “Seperti ini,” gumam Philippe, menuntun bibir Gretchen di bibirnya sampai Gretchen memahami tekanan dan kontak yang diinginkannya. “Ya, itu dia. Apa lagi?” desaknya. Gretchen menggigit bibir bawah Philippe dengan pelan. “Aku ingin kau mengambil kegadisanku.” Philippe bergeming. Ia mengerutkan kening. “Itu pasti istilah, ya?” Gretchen terkekeh dan menunduk ke telinga Philippe. “Aku ingin kau menjadi kekasihku.” Tangan Philippe yang ramping terentang di punggung telanjang Gretchen yang lembut dan hangat. “Aku sangat menginginkannya,” ia mengerang dan mendekap Gretchen. “Tapi kau harus menyadari bahwa itu tidak mungkin.” “Ya, memang tidak mungkin, mengingat kondisimu sekarang,” bisik Gretchen. “Kakekku dulu mengatakan, kalau ada asap, di situ ada api.” “Pribahasa lagi, dasar anak nakal...!” Gretchen menempelkan bibirnya yang terbuka ke dada Philippe, dan pria itu terkesiap. Gretchen ragu sejenak. Di bawah tangannya Ia merasakan getaran jantung Philippe. Philippe tidak bergerak. Pria itu sepertinya bahkan tidak bernapas. Gretchen beringsut mendekat dan melakukannya lagi, dengan sengaja menggerakkan mulutnya di dada Philippe yang keras dan mengisapnya, seperti yang Philippe lakukan padanya tadi. Tubuh Philippe terlonjak dari ranjang. Ia gemetar. Tangannya menahan bagian belakang kepala Gretchen. Ia menahan bibir Gretchen di tubuhnya. Jemarinya terentang di rambut Gretchen dan mendorong wanita itu untuk mengisap lagi. Gretchen tidak mengangkat bibirnya sementara tanganya meluncur ke pusar Philippe. “Ajari aku caranya,” bisiknya ketika kembali menempelkan bibir ke dada Philippe. Philippe menggumamkan sesuatu, keras dan panas, dan dalam bahasa yang tidak Gretchen pahami. Tetapi Phiippe tidak menyingkirkan tangan Gretchen yang berkeliaran. Ia melepaskan ikat pinggang dan kaitan celananya, menuntun tangan Gretchen ke bahan sutra di sana. Tetapi ketika Gretchen bergerak ke balik celana, Philippe menghentikannya dengan tegas. “Tidak apa-apa,” bisik Gretchen. “Baiklah,” geram Philippe. “Jangan berhenti.” Ia menarik tangan Gretchen mendekat, merasakan tubuhnya tersentak sedikit ketika Gretchen menyentuhnya. Ada kekerasan yang halus di balik sutra itu, dan Philippe mengajari Gretchen bagaimana membelainya, bagaima menjelajahinya, dalam keheningan yang dipenuhi tarikan napas. Philippe gemetar, tetapi walaupun nikmat, tidak ada desakan, tidak ada rasa panas yang meningkat. “Sialan!” ia terkesiap. “Aku... tidak bisa…!” “Aku melakukan kesalahan apa?” tanya Gretchen. Philippe menghentikan tangan Gretchen dan menggengam-nya sambil mengembuskan napas dengan kasar. Matanya terpejam. “Kenikmatannya. Aku tidak bisa mencapainya. Masalahnya ada padaku, bukan padamu. Dan saat ini bukan waktu yang tepat, juga bukan tempat yang tepat.” Ia memindahkan tangan Gretchen dan berguling menjauh dari wanita itu. Cepat-cepat ia berdiri dan mengenakan kembali pakaiannya. Sementara Philippe berpakaian Gretchen juga berpakaian, tetapi ia merasa sangat malu pada Philippe sekarang. Matanya berkata begitu ketika Philippe berbalik menatapnya. “Aku tidak menyesal,” kata Gretchen sebelum Philippe sempat berbicara. “Aku juga tidak.” Philippe menatap mata Gretchen. “Kini kau milikku,” kata pria itu, dan ia tidak tersenyum “Kita harus menikah.” “Kenapa?” tanya Gretchen serak. “Karena kalau ada kemungkinan aku bisa mendapatkanmu, aku akan melakukannya,” kata Philippe blakblakan sambil menatap mata Gretchen. “Dalam duniaku, tidak ada pria yang memiliki perawan selain suami si wanita.” “Tapi secara sosial aku tidak setara denganmu,” protes Gretchen. “Gretchen, apakah kau ingin aku menyuruh pilot memutar pesawat ini dan mengirimmu kembali ke Amerika serikat?” “Setelah barusan itu?” seru Gretchen, ekspresinya mulai dipenuhi perasaan sakit hati. Philippe terkekeh. Philippe memeluk Gretchen dan mengayun-ayunkannya, mendekapnya, mengasihinya. “Itu kenikmatan paling menyenangkan dalam hidupku,” bisik Philippe. “Kalau kau bersedia, kita bisa menikah sesüai adatku, hukumku.” Ia ragu sejenak. “Pernikahan seperti itu hanya mengikat di Qawi,” tambahnya enggan, “jadi kalau aku tidak mampu mengesahkan hubungan itu, kau bisa pulang dalam keadaan masih perawan.” “Dan kalau kau bisa mengesahkannya?” Gretchen balas berbisik. Philippe mendongak dan menatap mata Gretchen. “Butuh sepasukan orang untuk mengeluarkanmu dari negeri itu. Karena kalau aku bisa memilikimu seutuhnya,” tambahnya serak, “kau tidak akan bisa pergi dariku!” 8 MATA Gretchen yang hangat mengamati wajah Philippe dan ia tersenyum lembut. “Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi padaku,” katanya lirih. “Aku akan dengan senang hati menikah denganmu. Tapi kau tidak perlu melakukannya.” “Membuatmu menjadi objek gosip buruk di istana akan merendahkanku dan mencemarkan kehormatanmu. Ayahku pasti akan memotong kedua tanganku,” jelas Philippe. “Dia berpegang teguh pada tradisi. Aku juga.” Ia merapatkan bibir dan tersenyum pada Gretchen. “Malah kau juga.” “Aku tidak ingin menimbulkan masalah bagimu.” “Kau membuatku menjadi pria kembali, dan menurutmu aku menganggapmu sebagai masalah?” tanya Philip tajam. “Kau tidak pernah benar-benar mencoba bercinta dengan orang lain sejak kecelakaan itu, bukan?” Gretchen, melihat kebenaran di wajah Philippe. “Kau mungkin masih bisa melakukannya, dengan orang lain. Dengan wanita berambut pirang yang kaubilang mirip denganku,” tambahnya dengan gelombang kecemburuan yang berusaha disembunyikannya. “Bnianne.” Philippe mengenang kembali hubungannya dengan Brianne, dan ekspresinya mengeras. Philippe memuja Brianne, menginginkannya, dan melepaskannya kepada Pierce Hutton karena mengira dirinya tidak sanggup menghadapi wanita lagi. Gretchen melihat kekecewaan di mata Philippe dan merasa ragu. “Apakah kau masih menyukainya?” desak Gretchen. “Aku akan selalu menyukainya,” kata Philippe blakblak. “Tapi dia sudah menikah, bahagia, dan punya seorang putra berusia dua tahun. Walaupun aku utuh lagi, harapannya sudah tidak ada. Tidak bersamanya.” Philippe menoleh, matanya yang hitam menusuk mata Gretchen yang hijau. “Tapi reaksiku padamu cukup menjanjikan, dan aku benar-benar berniat menikahimu. Itu membuat posisiku sangat jelas. Kalau kau mau lari, lakukan sekarang.” Gretchen mengerucutkan bibir dan mengangkat alis. “Punya parasut?” Philippe terkekeh. “Tidak.” “Kalau begitu kurasa kau terperangkap bersamaku, Monsieur Souverain,” gumam Gretchen bercanda. Philippe meraih tangan Gretchen dan membuka pintu kabin. “Keluar,” katanya sambil tertawa, mendorong Gretchen ke koridor di depannya. Gretchen juga tertawa, dan para pengawal menatap mereka dengan bingung. Mereka mungkin mendengar gosip itu juga, pikir Gretchen, tetapi penampilannya berantakan dan mulutnya bengkak sementara Philippe sendiri terlihat tidak terlalu rapi. Mereka tampak kaget melihat wajah syekh mereka yang ramping terlihat cerah. Bagus. Mereka akan punya sesuatu untuk dipikirkan, kata Gretchen pada diri sendiri dengan bangga. Ia duduk di samping Philippe sampai pesawat mendarat di Qawi. Tempat itu mirip Maroko. Ada pohon kurma di mana-mana, tanah berpasir yang terbentang mengarah ke Teluk Persia, dan laut yang biru berkilau. Di dalam dinding kuno kota tua, bangunan-bangunannya putih menyilaukan. Ada masjid-masjid yang indah dan katedral, dan di kejauhan, Gretchen melihat apa yang tampaknya sebagai awal dari kota yang baru dan modern. Philippe memberi isyarat kepada salah seorang pramugari, dan wanita muda berseragam rapi serta mengenakan kerudung itu tersenyum pada Gretchen ketika menyerahkan apa yang terlihat seperti kain hitam kepada Philippe. “Ini penting,” kata Philippe pada Gretchen dengan serius. “ini sama seperti membuka payung selama musin hujan di negaramu. Aku pemimpin negeriku, dan aku harus menghormati semua tradisi juga melindungimu dari para ekstremis yang tinggal di sini.” “Kau tidak perlu menjelaskannya kepadaku,” Gretchen menenangkan. “Aku sudah berbicara kepada wanita muslim di hotel, dan dia berkata padaku bahwa bagi kebanyakan di antara mereka yang hidup berdasarkan kitab suci, aba dan hijab adalah lambang kebanggaan dan kesucian mereka.” Philippe tersenyum cerah. “Siapa yang mengajarimu kata-kata untuk jubah dan penutup kepala?” “Wanita itu,” kata Gretchen padanya. “Dan pria mengena-kan thobe dengan bisht di atas thobe itu, dan gutra di kepala yang ditahan benda dari tali yang disebut igal.” Philippe mengerucutkan bibir. “Aku terkesan.” “Shukran.” Philippe terkekeh. Gretchen mengucapkan terima kasih padanya dalam bahasa Arab. “Sekarang aku benar-benar terkesan,” tambahnya ketika Gretchen tersenyum lebar. “Ini.” Ia berdiri dan memakaikan hijab gelap itu di atas kepala Gretchen, menutupi sanggul rapi rambut pirang Gretchen. Philippe menambahkan jubah besar berkerudung hitam di atasnya. “Masih banyak di antara wargaku yang mungkin akan melukaimu kalau melihat tubuhmu terpampang dengan jelas. Bagaimanapun juga, aku tidak mau mengambil resiko.” Gretchen mendongak dan tersenyum. “Terima kasih. Aku tidak masalah,” ia menenangkan Philippe. “Kalau kau pulang bersamaku, kau harus mengenakan topi koboi dan seseorang mungkin akan mencoba menipumu dengan menyuruhmu menunggangi kuda yang belum dijinakan. Philippe menahan tawa mendengar asumsi Gretchen bahwa ia tidak bisa menunggangi kuda liar. Gretchen memiliki pendapat yang menarik, walaupun salah, tentang Philippe. Gretchen pasti akan terkejut kalau melihat Philippe yang sebenarnya, di tanahnya sendiri. Philippe berdiri menyamping dan membiarkan para pengawalnya membukakan pintu limusin hitam untuk mereka. “Seharusnya kau memberitahuku siapa dirimu sejak awal,” kata Gretchen ketika mereka melaju di jalan raya ke arah yang pastinya adalah ibu kota Qawi. “Apa, dan merampas semua kesenangan dari hubungan kita?” sahut Philippe sambil tersenyum lebar. “Tentunya pria akan lebih menarik bagi wanita kalau mereka tetap misterius?” “Kau seorang raja.” Gretchen masih membiasakan diri dengan itu, dan bagus juga untuk mengingatkan Philippe sesekali. “Aku seorang syekh,” koreksi Philippe. “Ketua suku yang dulunya memegang kekuasaan di bagian benua ini. Garis keturunan sudah diwariskan tanpa terpatahkan melalui para imam selama enam generasi, walaupun ayahku adalah pemimpin Kristen pertama.” “Aku mengerti. Kau mewarisi takhta, seperti raja.” Philippe mengangkat sebelah alisnya, dan selama sejenak ia terlihat sangat asing. “Di antara orang-orang padang pasir tidak ada istilah mewarisi takhta,” katanya lirih. “Gelar itu dimenangkan, dan dipertahankan, hanya oleh orang yang bisa mendapatkannya.” Gretchen bingung dan ingin bertanya lebih banyak tetapi telepon berbunyi, dan beberapa detik kemudian interkomnya menyala. Philippe mendengarkan, lalu mengangkat gagang telepon di sisinya, berbicara dengan tajam dan cepat. Ia ragu sejenak, lalu berbicara lagi, mengernyit, dan menutup telepon. “Masalah lagi,” katanya singkat. “Ada serangan di perbatasan. Beberapa orang terbunuh.” Ia melirik Gretchen. “Itu berarti akan ada perjalanan ke perbatasan di padang pasir utara kami. Aku harus mengurus masalah ini.” “Apakah kau punya pasukan?” tanya Gretchen. “Tidak dalam arti yang kaumaksud,” sahut Philippe. “Kami adalah negeri yang tua, tetapi tanpa dasar kekuatan modern kecuali kau bisa menganggap senjata-senjata taktis jarak jauh dan unit militer elite namun kecil dengan peralatan terbatas itu modern. Tidak, para pemberontak harus dihadapi dengan cara lama. Dan sementara mengurus masalah itu, kita bisa mengurus masalah kita sendiri,” tambahnya sambil menatap mata Gretchen lama-lama. “Aku akan mengurus pernikahan pada waktu yang sama.” “Kau benar-benar serius?” “Aku memang serius.” “Tapi kaubilang ayahmu tidak suka orang Amerika,” cetus Gretchen. “Gretchen, kau akan membuatnya terpesona,” kata Philippe lirih. “Yang kita butuhkan hanya waktu.” “Apakah kita harus segera pergi?” “Mungkin dalam beberapa hari,” sahut Philippe. “Aku harus menemui para menteri dan ayahku untuk membahas perjanjian-perjanjian yang baru kutandatangani, dan kontrak-kontrak yang sudah kunegosiasikan. Kau pasti bisa mencari kesibukan,” Philippe berjanji dengan lembut. “Menteri pendidikanku akan menjelaskan proyek taman kanak-kanakku padamu.” “Kuharap aku bisa melakukan apa yang kauinginkan,” kata Gretchen cemas. “Aku yakin soal itu. Dan tidak lama lagi kau juga yakin,” kata Philippe. “Kau membuatku merasa seolah-olah aku bisa melakukan segala hal,” aku Gretchen. “Sampai beberapa hari , aku seperti penonton kehidupan. Kau membuatku ingin berpartisipasi.” Mata Philippe menyipit. “Pria yang ingin menikah denganmu,” kata Philippe, matanya menatap wajah Gretchen dengan tajam, “apa yang terjadi padanya?” “Daryl?” Gretchen mendesah. “Dia kabur dengan putri seorang bankir dan meninggalkan jejak ban.. .“ Ia melihat wajah Philippe yang kebingungan dan tertawa. “Maaf, Kurasa orang Amerika terbiasa menggunakan ungkapan. Daryl berkencan dengan putri seorang bankir. Dia meninggalkanku dengan cepat. Dia mengira ibuku meninggalkan banyak uang asuransi. Tapi sebenarnya tidak ada.” “Oportunis,” komentar Philippe. “Ya, dan aku tidak berpengalaman untuk mengenali hal itu ketika melihatnya,” kata Gretchen malu. “Mother selalu sangat posesif padaku, terutama ketika aku sudah cukup dewasa untuk berkencan. Kurasa dia tahu dia sedang sekarat dan takut ditinggal sendirian. Seolah-olah aku akan membiarkannya sendirian!” “Tidak,” kata Philippe sambil mengamati Gretchen “Kau bukan jenis orang yang akan meninggalkan yang kausayang dan memerlukan bantuan.” “Setidaknya Daryl ada di sana ketika Mother meninggal, jadi aku tidak benar-benar sendirian. Marc sedang berada di Florida untuk tugas menyamar. Dia tidak pulang sampai setelah pemakaman.” Philippe menggumamkan sesuatu, matanya berkilat-kilat. “Tidak ada orang yang membantumu mengurus semuanya?” “Ada Daryl, setidaknya sampai dia merasa aman untuk mengungkit-ungkit soal surat wasiat.” Gretchen mennggeleng. “Tapi kurasa tidak banyak pria yang ingin menetap seumur hidup di ranch bobrok di kota kecil di Texas.” “Kau meremehkan diri sendiri,” kata Philippe ketus. Mata Gretchen melebar. “Omong-omong soal meremehkan wanita,” katanya sambil mencondongkan tubuh kearah Philippe, “apakah perbudakan orang-orang berkulit putih benar-benar terjadi di sini?” Philippe meledak tertawa. “Kenapa kau ingin tahu?” godanya. “Apakah kau berpikir aku mungkin akan tergoda menjualmu?” “Kurasa tidak,” kata Gretchen sambil tersenyum. “Kau tidak butuh uang.” “Tidak, aku tidak butuh uang,” Philippe membenarkan. Matanya menyusuri Gretchen dengan hangat. “Emas putih.” gumamnya. “Itulah sebutan mereka untuk wanita sepertimu. Kau pasti akan menghasilkan uang yang bayak.” “Benar kan, kau memikirkannya!” omel Gretchen. Philippe terkekeh pelan. “Walaupun aku perampok, apakah aku akan menjual harta paling berharga di gudangku?" gumamnya. Gretchen balas tersenyum. Rasanya seperti awal yang baru, berada di tempat asing ini bersama pria yang membuatnya terpesona dalam segala cara. Tangannya yang kecil meraih tangan Philippe di balik aba. Tanpa menoleh pada Gretchen, jemari Philippe yang panjang menggengam jemari Gretchen dan meremasnya erat-erat sebelum melepaskannya. Saat itu Gretchen teringat bahwa di sini pertunjukan kasih sayang di depan umum tidak diizinkan, dan ia menarik tangannya dari tangan Philippe dengan patuh. Philippe menyadarinya, dan matanya berkilat-kilat senang. * * * Bagi Philippe, momen ketika Gretchen pertama kali melihat istananya bagaikan seperti membuat pengakuan. Philippe mengamati reaksi Gretchen dengan senang. “Palais Tatluk,” gumam Philippe ketika istananya terlihat, bangunan batu putih yang menjulang dan megah dengan pintu-pintu dan jendela-jendela lengkung berpagar besi hitam di kedua lantai. Tidak ada balkon, Gretchen ingat bahwa di rumah-rumah Arab, balkon selalu menghadap ke dalam, bukan ke luar, sehingga wanita tersembunyi dari mata dunia. “Tampuk kekuasaan keluargaku.” “Luar biasa,” kata Gretchen, tidak bisa berkata-kata. “Ini satu-satunya bangunan yang tidak dihancurkan orang-orang Brauer dua tahun lalu,” kata Philippe dengan gigi mengertak, dan sejenak ia terlihat sangat menakutkan dan galak sampai terlihat seperti orang asing. “Brauer bermaksud menggunakannya sebagai markas besarnya ketika dia dan tentara bayarannya mengambil alih negaraku.” “Bagaimana kau bisa lolos?” tanya Gretchen. “Maksudku, kalau kau tidak keberatan mengatakannya kepadaku.” “Aku menyelinap keluar perbatasan dan menumpang karavan kecil yang mengarah ke Oman,” gumam Philippe “Lalu aku menggunakan uang sakuku ke Martinique, di sana aku... meminjam dana untuk melancarkan serangan balasan yang sukses.” “Melawan tentara bayaran?” Kepala Philippe berputar ke arah Gretchen, dan ekpresi di matanya terlihat aneh. “Kau tidak tahu apa-apa tentang kami. Semua anggapanmu bisa jadi sangat jauh dari kenyataan. Di seluruh penjuru Timur Tengah, tidak ada tentara bayaran, tidak ada prajurit yang bisa disamaan dengan sha-KOOSH-ku.” “Apamu?” Philippe tersenyum. “Pengawal pribadiku. Mereka adalah sha-KOOSH-ku—artinya paluku. Mereka tidak memiliki tandingan dalam perang, kecuali mungkin SAS inggris. Special Air Services,” Philippe menjelaskan. “Unit yang terdiri atas tentara-tentara sangat berbakat yang memiliki metode pelatihan yang, kita sebut saja, luar biasa. “Oh, aku mengerti. Seperti prajurit Green Beret dan Navy SEAL kami,” Gretchen membenarkan. “Kau mengirim mereka untuk melawan teroris.” “Mengirim mereka..” Philippe terlihat bingung. “Aku tidak bisa menghilangkan pengunaan ungkapan,” Gretchen mengerang. Philippe mengangkat sebelah alis dan tersenyum pada Gretchen. “Aku mengerti. Sang jenderal duduk di mejanya dan mengirim orang-orangnya ke medan perang, bukan?” “Well, tidak semuanya,” koreksi Gretchen. “Tapi tidak ada yang mengharapkan kepala negara memimpin perang.” Philippe mengalihkan tatapan sebelum Gretchen bisa melihat kegembiraan di matanya. “Tentu saja tidak.” “Kaubilang keluargamu sudah berkuasa di sini selama beberapa generasi.” “Benar,” sahut Philippe. “Awalnya, negara ini adalah bagian dari Kerajaan Turki Ottoman. Ketika Prancis dan Inggris berperang memperebutkan kami pada abad ke-19 misionaris asing datang dan mulai mengalihkan keyakina kami. Kami mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1930, ketika kakekku mengalahkan detasemen French Foreign Legion dan mengumpulkan suku-suku Badui nomad yang tersisa di bawah satu syekh. Ayahku mengikuti jejaknya tetapi itu sebelum dia beralih ke agama Kristen, yang tidak mengakibatkan gangguan kecil apa pun. Ia dipaksa berperang untuk mempertahankan posisinya. Dua saudara seayahku Muslim, dan aku dibesarkan untuk menghormati kedua tradisi itu. Tetapi beberapa tahun lalu aku juga beralih kepercayaan. ini menimbulkan sedikit pertikaian dan menurut ayahku sebaiknya tidak mempermasalahkan agama. Seperti yang mungkin sudah kaupahami, banyak aliran Muslim, beberapa di antaranya lebih. reaksioner dan militan daripada yang lain. Kami hidup berdampingan, juga bersama orang-orang Yahudi, dengan hukum-hukum yang melindungi hak untuk kebebasan beribadah.” Mata Gretchen mengagumi Philippe. “Kurasa kau pemimpin yang sangat baik.” Philippe tersenyum pada Gretchen. “Jalanku masih panjang untuk menjadi orang seperti itu. Tapi memiliki ayam betina galak yang harus dilindungi mungkin akan mempercepat perjalananku.” Gretchen menunduk malu-malu. “Aku tidak galak.” “Kau akan galak,” sahut Philippe lirih. “Kau memiliki hati rajawali. Hanya saja kau tidak memiliki kepercayaan diri untuk menyadani potensimu. Aku akan membuatmu percaya diri. Aku akan membuatmu kuat, seperti halnya kau membuatku lebih kuat.” Gretchen menatap Philippe penasaran. “Aku tidak mengerti.” Mata Philippe menyipit. “Pengalaman-pengalaman hidupmu telah membuatmu kuat, tapi kau tidak pernah benar-benar menguji diri sendiri, bukan? Gretchen, kebanyakan wanita yang pernah kutemui—dengan satu pengecualian_akan berlari sambil menjerit mencari tempat berlindung ketika peluru-peluru beterbangan di Asilah. kau tetap berdiri di sampingku.” “Apakah kaukira aku akan kabur dan membiarkanmu menghadapi bahaya sendirian?” tanya Gretchen kaget. Dada Philippe membuncah. Tubuhnya menegang. Matanya mulai menyala-nyala di wajahnya yang ramping dan kaku ketika menatap Gretchen. “Apakah kau tahu,” .katanya serak, “bahwa rajawali hanya memiliki satu pasangan seumur hidup?” Bibir Gretchen terbuka ketika rasa panas tumbuh dalam tubuhnya karena tatapan tajam mata hitam itu. Ia merasa payudaranya membesar, mengeras, dan ia menahan napas karena besarnya gairah yang menguasai dirinya. Tatapan Philippe jatuh pada aba yang tak berbentuk itu, tempat tubuh indah Gretchen hampir tak terlihat di balik kain tebal. Wajahnya lebih mengeras lagi ketika kennikmatan menusuknya. Ia membenci keadaannya yang impoten ini. Ia mengerang dan menyeret matanya ke arah pemandangan yang melesat di luar mobil yang melaju. “Suatu hari nanti,” kata Gretchen dengan sangat lirih, sehingga suaranya tidak terdengar para pengawal di bilik lain mobil itu, “kau akan sangat senang Maggie tidak bisa bekerja untukmu. Aku berjanji padamu, aku akan melakukan apa pun yang bisa kulakukan untuk membuatmu bahagia.” Philippe terlihat nyaris mengernyit. “Bagaimana caranya? Dengan menikàhi setengah pria?” tanyanya dengan suara tersekat. “Kau lebih baik daripada pria mana pun yang pernah kukenal, Philippe Sabon,” kata Gretchen serak. “Aku lebih memilih hanya mendapatkan ciuman darimu daripada berhubungan penuh dengan pria mana pun di dunia.” Perlahan Philippe menoleh ke arah Gretchen, mengerutkan kening, matanya waswas dan aneh. Ia menatap Gretchen dengan rasa mendamba yang murni. “Aku merasakan hal yang sama, bersamamu,” bisiknya. Mata Gretchen berkilat-kilat. Philippe bisa melihat wajah Gretchen tiba-tiba berubah cerah. “Aku bisa mencintaimu,” kata Philippe serak. “Aku tahu. Aku juga bisa mencintaimu,” Gretchen balas berbisik. Sekujur tubuh Philippe menegang, seolah-olah hendak menyingkirkan adat dan formalitas. Tetapi ketika ia mendekati Gretchen, mereka sudah melaju di jalan panjang yang melintasi pepohonan palem ke pintu depan istana. Seolah-olah kelemahannya membuatnya kesal, Philippe keluar dari mobil segera setelah sopir membukakan pintu, membiarkan Gretchen mengikutinya, dengan pengawal bertubuh besar dan bereekor kuda di sampingnya. Pria itu terlihat sangat Arab, tetapi ada sesuatu di wajahnya yang mengingatkan Gretchen pada almarhum penyanyi Elvis Presley. Gretchen bertanya-tanya apa yang akan Philippe katakan kalau ia memanggil pengawal bertubuh tegap itu dengan nama julukan. Dalam beberapa hari ke depan, mungkin ia akan tahu! Bagian dalam istana sama menakjubkan dan sama indahnya seperti penampilan luar. Ubin-ubin di lantai dipasang dalam berbagai jenis warna biru. Ada lengkungan anggun di mana-mana dan karpet-karpet mahal di lantai. Ada tangga yang membuat Gretchen jatuh cinta begitu melihatnya di belakang kandelir kristal besar yang berkilau di serambi. Ia berputar dengan pelan, terkesima menatap keadaan sekeliling, begitu terpesona sampai ia berjalan mundur dan menabrak sesuatu yang hangat dan keras. Ia tiba-tiba berbalik dan mendapati dirinya ditatap mata hitam yang membuatnya merasa takut. Serentetan kata dalam bahsa Arab yang cepat meluncur dari mulut Philippe kepada pria kurus berpakaian resmi dalam setelan gelap yang melotot menatap Gretchen itu. “Ini Ahmed,” Philippe memperkenalkan. “Dia pamanku, adik ayahku. Ahmed, ini tunanganku,” katanya. “Gretchen Brannon dari Jacobsville, Texas.” Sejenak, kebencian besar berkelebat di mata pria yang lebih tua itu. “Tunangan? Seorang kafir? Seorang... Amerika?” Ahmed membuat kata itu terdengar kasar. Gretchen menegakkan diri dan hendak berbicara, tetapi Philippe bergerak ke depannya sebelum ia sempat melakukan itu. Terdengar sederet bahasa Arab lagi dan kelopak mata pria yang lebih tua itu bergerak. Ia membungkuk dengan cepat, menggumamkan sesuatu, dan pergi. Para pengawal mengikuti nya, kecuali “Elvis”, pengawal Gretchen. “Sudah kubilang ini akan sulit,” kata Philippe pada Gretchen dengan lembut. “Tapi kau tidak boleh melibatkan diri dalam pertikaian verbal dengannya. Dia Muslim. Hal itu akan menjadi penghinaan besar. Kau mengerti” Gretchen menarik napas dengan cepat. “Aku mengerti, Sungguh.” Mata Philippe melembut. “Aku tidak mencemaskan diriku. Keselamatanmulah yang kucemaskan. Dia kuat dan memiliki sekutu di kerajaan. Selain aku dan ayahku dialah satu-satunya pemegang hak kuasa di Negara ini. Dia ingin menjadi syekh.” “Oh, aku mengerti. Well, aku tidak akan memberinya alasan untuk memperalatku melawanmu.” Mata Philippe berkilat-kilat. “Seolah-olah dia bisa melakukannya.” Ia bergerak maju, ekspresinya cerah. “Aku tidak bisa berbicara kepadamu seperti ini.” Ia mengulurkan tangan dan melepaskan aba wanita itu, mengacaukan rambut Gretchen dalam prosesnya. Ia melempar kain itu kepada “Elvis” dan sambil berjalan menyusuri koridor panjang, ia menyatakan bahwa Gretchen akan bergabung dengannya. “Sekarang rintangan berikut,” katanya pada diri sendiri. Philippe menuntun Gretchen ke ambang pintu lengkung lainnya, menyusuri koridor lain, dan tiba-tiba mereka tiba di tempat yang terlihat seperti surga tropis. Ruang berubin itu besar. Air mancur bergemerencik d setiap sudut, Ada pohon-pohon palem, tumbuhan tropis dan anggrek di mana-mana. Ratusan bunga anggrek. “Oh, luar biasa,” seru Gretchen. “Oh, indah sekali. Indah sekali!” Ia menghampiri bunga hijau kekuningan dengan bintik-bintik di atasnya dan mencondongkan tubuh untuk menghirup aromanya yang harum. Ujung jemarinya mengusap bunga itu dengan ringan. “Jangan disentuh!” Terdengar suara kasar dan marah dari belakang Gretchen dan Philippe. Gretchen terhuyung karena buru—buru menjauh dari anggrek itu dan hampir tidak sempat mencegah dirinya jatuh. Pria tua yang menatap mereka mengenakan thobe putih dan topi senada, yang disebut taiga. Ia terlihat mengerikan bagi seorang tukang kebun, dan bertubuh besar serta gemuk. Ia berjenggot dan berkumis, dua-duanya putih seperti rambutnya yang tebal. “Anggrek-anggrek ini indah sekali,” kata Gretchen sambil menyibakan rambutnya yang berantakan. “Aku minta maaf, tapi aku suka bunga. Aku tidak tahan kalau tidak menyentuh mereka. Aku sendiri punya anggrek_hanya phalanopsis, yang tidak terlalu mahal—dan aku juga memanjakannya.” “Hanya satu?” tanya pria tua itu. Wajah Gretchen merona. “Ya, well, aku tidak punya tempat yang cocok untuk mereka. Dan aku tidak sanggup membeli banyak kalaupun punya tempat,” tambahnya dengan jujur. Mata pria tua itu menyipit. “Kau tidak mengenakan kerudung di depan pria-pria yang bukan suamimu,” sahutnya “Dan kau mengenakan pakaian yang menyinggung mataku, mata adikku, dan para pria di rumah ini.” Philippe bergerak maju. Ia berbicara kepada pria tua itu dengan tajam, walaupun dengan rasa hormat yang besar. Pria tua itu melongo menatap Philippe. “Kau akan menikahi itu?” serunya sambil menunjuk Gretchen “Orang Amerika? Kafir dari neraka?!” Gretchen terkesiap. Pria tua itu sangat berani untuk ukuran pelayan. “Kafir yang kurus,” tambah pria itu dengan tatapan tidak setuju. “Berani sekali Anda!” seru Gretchen sebelum Philippe bisa menyela, dan mata hijaunya menyala-nyala marah “Aku pergi ke gereja, asal Anda tahu, dan aku akan mencambuk seorang pria sebelum membiarkannya menyentuhku tanpa menyematkan cincin kawin di jariku!” Alis pria tua itu terangkat. Ia mengerucutkan bibir dan memiringkan kepala, lalu menatap wajah Gretchen yang marah dan memerah. “FIL-fil,” gumamnya datar, tiba-tiba meledak tertawa. Philippe terkekeh dan mengucapkan beberapa patah kata kepada pria tua itu. Pria tua itu meringis, tetapi diam saja. Philippe membungkuk dan pria yang lebih tua itu melambaikan tangan lalu, setelah membelalak untuk terakhir kali ke Gretchen, berbalik dan kembali kepada anggrek-anggreknya dengan sikap tidak peduli pada mereka Philippe memberi isyarat agar Gretchen mengikuti “Astaga, benar-benar fanatik,” kata Gretchen marah. “Dan dia juga menyebutku sesuatu. Apa yang dikatakannya?” “Bukan apa-apa,” gumam Philippe sambil terkekeh. “Sudah kubilang dia akan membuatmu merasa terintimidasi. Kalau kau membiarkannya, kau pasti sudah dalam perjalanan kembali ke Texas sekarang, dikawal dengan paksa ke bandara dengan seluruh pengawal pribadinya.” “Tukang kebunmu memiliki kekuasaan seperti itu?” seru Gretchen. “Bukan tukang kebunku, Gretchen. Ayahku.” Bibir Gretchen merapat. “Ups!” gumamnya malu. “Jangan cemas, dia akan menyesuaikan diri denganmu,” kata Philippe. Ia menoleh kepada pengawal berekor kuda yang menunggu di koridor bersama mereka, dan memberikan perintah kepadanya. Si pengawal membungkuk dan berjalan pergi. “Dia mau pergi ke mana?” tanya Gretchen. “Jadi kau sudah merindukannya, hmm?” tanya Philippe sambil tersenyum lebar. “Aku sudah menugaskannya Untuk melindungimu dengan nyawanya. Dia tidak akan meninggalkanmu kecuali ketika kau tidur. Bahkan pada saat itu pun dia akan tidur di depan pintumu.” “Kau sangat menganggap serius keselamatanku,” kata Gretchen, terkesan dan agak penasaran. Philippe berhenti dan menoleh kepadanya. “Kurasa Brauer punya mata-mata di rumahku,” katanya blakblak “Aku juga berpikir dia berperan dalam serangan di perbatasan hari ini. Aku tidak bisa mengurangi kewaspadaanku, terutama sekarang. Kau tidak boleh meninggalkan kamarmu tanpa Hassan.” “Maksudmu ‘Elvis’.” Alis Philippe terangkat. “Julukan, ya? Apakah kau sudah berbicara kepadanya?” tanya Philippe tiba-tiba. Pertanyaan itu membingungkan Gretchen. “Aku belum bisa berbahasa Arab.” “Ah. Aku mengerti. Salah sangka ternyata.” “Sekarang kau yang bersikap aneh,” tuduh Gretchen “Lelucon pribadi, tidak lebih. Panggil dia sesuka hatimu, kalau begitu. Di negaraku, ketika pasangan menikah, pengantin wanita diberi maskawin oleh suaminya.” “Aku tidak menginginkan uangmu,” kata Gretchen tegas Mata Philippe berkilat-kilat. “Baiklah kalau begitu. Aku akan memberikan Hassan kepadamu. Dia milikmu.” “Dia tidak terlihat seperti emas putih bagiku, tapi mungkin dia memiliki bakat terpendam,” gumam Gretchen datar. Matanya berkilat-kilat. “Karena dia milikku, kalau kau menceraikanku, bolehkah aku membawanya pulang bersamaku?” Philippe tertawa terbahak-bahak. “Itu tidak perlu terjadi. Perceraian tidak mungkin terjadi, kau mengerti?” “Ya.” Gretchen menatap mata Philippe. “Tapi kita tidak akan menikah di gereja, ya?” Senyum Philippe memudar. “Tidak, belum. Upacaranya akan menjadi upacara sederhana, upacara kesukuan, dengan sedikit saksi dan tidak ada pesta resmi. Pernikahan di katedral besar—dan kami punya tempat seperti itu di sini—akan mengikat seumur hidup.” Matanya terlihat sedih dan pahit. “Kalau ada kemungkinan untuk memiliki anak, pernikahan kenegaraan perlu dilakukan. Tapi itu tidak mungkin.” “Siapa yang akan mendapatkan warisan kalau kau meninggal?” tanya Gretchen dengan kesedihan yang sama besarnya. “Bukankah sudah kukatakan padamu? Putra Brianne akan menjadi syekh setelah kematianku,” kata Philippe ringan. “Anak yang tampan, dengan mata gelap dan rambut seperti ayahnya,” tambah Philippe dengan kebencian dingin. “Dan, tentu saja, ayahnya akan menentang hal ini, seperti dia menentang semua pertemuan yang harus kulakukan antara istrinya dan aku. Dia pria yang sangat pencemburu dan posesif.” Berarti Philippe masih menganggap Brianne penting baginya sampai-sampai rela menyerahkan kerajaannya kepada anak wanita itu. Gretchen bertanya-tanya bagaimana reaksi paman Philippe mendengar berita ini apalagi ayah Philippe. Philippe mendesah kesal memikirkan Pierce Hutton. “Hanya Tuhan yang tahu apa yang Brianne lihat dalam diri pria itu,” gerutunya. “Seperti apa suaminya?” tanya Gretchen penasaran. “Kaya.” Gretchen tertawa. “Di samping itu?” “Dia pemilik perusahaan konstruksi internasional. Dia membangun anjungan minyak, di antara banyak hal.” Philippe melirik Gretchen. “Pria pemberani, walaupun aku tidak suka padanya. Dia, Brianne, dan aku berhasil kabur dengan selamat dari Qawi selama serangan Brauer. Huttonlah yang meminjamkan uang kepadaku untuk membalas serangan di sini.” Matanya berkilat-kilat. “Kenyataan yang tidak pernah lelah diingatkannya kepadaku.” Kedengarannya masih ada persaingan di antara kedua pria itu. Gretchen penasaran dengan Brianne yang tidak dikenalnya. Wanita itu pasti sangat cantik karena ada dua pria yang memperebutkan dirinya. Wajar apabila suaminya mencintai wanita itu, tetapi Gretchen sangat cemburu karena minat Philippe yang jelas pada Brianne. “Apákah aku akan bertemu lagi denganmu hari ini?” tanya Gretchen tiba-tiba. “Mungkin,” kata Philippe, memberi isyarat ke arah wanita muda cantik dalam gellabia krem bersulam yang tergerai sampai ke pergelangan kaki dan hjab krem berpola yang datang bersama “Elvis”. “ini Leila, dia yang akan mengantarmu ke kamar. Aku sudah menyuruh mereka menyiapkan kamar nenek dari pihak ayahku untukmu. Kurasa kau akan menyukainya. Nenekku orang Turki. Almarhum suaminya orang Prancis.” “Apakah nenekmu masih hidup?” Philippe menggeleng. “Dia meninggal dua puluh tahun lalu. Aku ingat kesukaannya pada anggrek. Dia mewariskannya kepada ayahku.” “Setidaknya ayahmu menyukai sesuatu,” kata Gretchen muram. “Ya. Anggrek-anggreknya yang tersayang,” kata Philippe dengan senyum mengejek. “Dan tidak ada hal lain, kecuali negaranya. Tidak apa-apa. Kau tidak akan sering bertemu dengannya. Pergilah dengan...Hassan,” katanya sambil tersenyum lebar, dan Gretchen tahu Philippe tadinya hendak menggunakan julukan Gretchen untuk pria itu. Philippe mengatakan sesuatu kepada “Elvis” yang membuat pria itu tersenyum, lalu menyambung komentar itu dengan perintah jelas dalam bahasa Arab. Pengawal itu mengangguk singkat dan membungkuk. Philippe berbalik dan berbicara kepada wanita muda cantik bermata gelap itu, yang tersenyum dan meraih tangan Gretchen dengan tegas. “Anda akan ikut dengan saya, Lady FIL-fil,” kata Leila dengan hormat. Philippe tertawa keras. “Sekarang kau juga punya julukan, Mademoiselle,” godanya. “Kau boleh berterima kasih pada ayahku untuk itu.” “Apa artinya?” tanya Gretchen cemas. Mata hitam Philippe berkilat-kilat. “Artinya merica. Dan kuyakinkan padamu, bukan bumbu biasa yang Sedang dipikirkan ayahku ketika dia menggunakan kata itu!” 9 LEILA membawa Gretchen ke kamar mewah berwana putih dan emas di bagian khusus wanita dalam istana Wanita Texas itu berdiri dan memandang sekeliling dengan tatapan tidak percaya. Rasanya seperti berada dalan majalah mewah, pikir Gretchen. Tidak hanya lantainya, dinding kamar itu pun berubin indah, dengan kamar mandi seukuran rumahnya di Jacobsville, lengkap dengai kolam mandi yang besar dan penerangan dan lubang di langit-langit. Kolam itu dikelilingi ubin yang sama dengan yang menghiasi lantai, dan dihiasi palem-palem dalam pot serta tanaman berbunga. “Anda suka?” tanya Leila dengan mata berbinar-binar. “Ini indah sekali,” komentar Gretchen sambil merenung. Leila mencondongkan tubuh ke arah Gretchen. “Ini adalah harem tua,” katanya penuh rahasia. “Buyut sidi memiliki dua puluh selir, dan di sinilah mereka tinggal, dikelilingi para kasim.” “Sidi? Apa artinya itu?” tanya Gretchen penasaran. “Artinya penguasa.” “Penguasa padang pasir,” renung Gretchen, membayangkan seorang syekh dalam jubah putih berkibar menungangi kuda jantan besar seperti menunggang angin di depan para prajuritnya. Gretchen tersenyum memikirkan knayalannya. Philippe mungkin bahkan tidak bisa menunggang kuda. Gretchen benar-benar sudah menjadi wanita yang suka berkhayal. Keajaiban dalam istana itu telah memengaruhinya. “Sidi adalah pia yang kuat,” Leila terus berbicara, bergerak membongkar koper yang diantarkan pengawal ke kamar wanita. Ia menggeleng meremehkan melihat pakaian Gretchen yang sedikir. Ada dua rok, satu blus, dan sepasang celana panjang, di samping gaun Meksiko putih dan selendangnya. “Tidak, tidak, ini sama sekali tidak bisa dibiarkan! Saya harus memberitahu Sidi tentang pakaian Anda, Lady FIL-fil,” lanjutnya. “Dia akan mengharapkan Anda berpakaian seperti wanita pada posisi Anda.” “Posisiku?” tanya Gretchen, bingung. “Anda akan menjadi lady saya, tentu saja,” kata wanita Arab itu sederhana. “Anda akan menjadi pengantin sang syekh.” Ia tersenyum melihat ekspresi Gretchen. “Kami tahu keinginan Sidi untuk menikahi Anda, My Lady,” tambahnya. “Kami takut dia tidak akan pernah mencari istri. Malah, ada gosip bahwa dia tidak berguna bagi waitra...” Wajah Gretchen memerah dan ia tahu ia terlihat bersalah. Tetapi Leila melihat ekspresi itu dengan cara yang berbeda, dan ia mulai tertawa penuh rahasia. “Ah. Jadi bukan tidak membutuhkan wanita, tetapi tidak menemukan seseorang yang bisa dikasihinya, ya?” Ia terkekeh. “Saya mengerti.” “Dia... sangat menarik,” kata Gretchen sederhana. “Dia sangat jantan, My Lady,” sahut Leila. “Seperti harimau. Mereka masih menceritakan kisah tentang dirinya di sekeliling api unggun Badui, tentang perang-perang ganas yang dijalaninya untuk mendapatkan Qawi kembali dari para tentara bayaran.” “Ya, dia sudah bercerita kepadaku tentang pengawal pribadinya,” Gretchen ingat. Leila menatapnya dengan aneh. “Perang itu diikuti berbagai suku, My Lady,” katanya lembut. “Oleh setiap suku di negara kami. Anda tidak mungkin membayangkan pertikaian, permusuhan antarklan, dendam yang harus diatasi untuk menyatukan mereka.” “Aku tidak tahu banyak tentang Qawi,” sahut Gretchen lirih. “Banyak yang harus kupelajari.” “Anda akan senang mempelajarinya,” Leila menenangkan sambil tersenyum. “Dan sekarang, My Lady, apakah Anda ingin berendam dalam whirlpool?” “Whirlpool?” seru Gretchen senang. “Salah satu dari sekian banyak kesenangan modern yang kami miliki di sini sekarang,” wanita muda itu terkikik. “Dan cukup besar bagi wanita yang ingin berbagi dengan suaminya,” tambahnya sambil merona. “Leila!” seru Gretchen dengan wajah memerah. Senyum wanita muda itu sangat gembira. “Bisa saya lihat Anda mirip kami dalam hal keyakinan, My Lady dan itu membuat saya sangat senang. Orang-orang sangat menghargai moral.” “Aku berasal dari kota yang sangat kecil,” kata Gretchen. “Aku juga kuno.” Mata Leila berkilat-kilat penuh kasih. “Kalau begitu Anda harus belajar sedikit tentang tradisi-tradisi kami. Saya akan dengan senang hati mengajari Anda, kalau Sidi mengizinkan.” “Apakah kau harus mendapatkan izin dari pria untuk melakukan sesuatu di sini?” tanya Gretchen tanpa nada sinis. “Maksudku, apakah semua wanita begitu?” “Di sebagian besar Timur Tengah, kami hidup berdasarkan kitab suci umat Muslim,” kata Leila serius, “yang berarti kami tidak mengizinkan kegiatan seksual di luar perkawinan dan tidak ada akses untuk kegiatan amoral. Itu hukum bagi pria dan juga wanita. Kami orang-orang yang bersih dan bermoral.” Ia berhenti sejenak dan melirik Gretchen untuk melihat bagaimana reaksi wanita liberal Amerika terhadap pernyataan ini. “Orang-orang yang percaya pada nilai lama dianggap ketinggalan zaman di negaraku,” kata Gretchen lirih. Leila mengangkat alis. “Kalau begitu selamat datang ke gua kami, Mademoiselle,” katanya nakal. Gretchen tertawa senang. Ia akan menikmati kebersamaan dengan teman barunya ini “Dan satu wanita gua ke wanita gua yang lain, terima kasih!” “Dan sekarang, apakah aku boleh menyiapkan air mandi untuk Anda?” Walaupun Philippe berkata tegas bahwa ia tidak akan bentemu dengan Gretchen lagi hari itu karena tekanan-tekanan di kantornya, Gretchen sedang menyesap kopi dan melahap kue almond setelah makan malam ketika Philippe mengunjungi kamarnya. Anehnya, Leila ikut dengan pria itu, walaupun kemudian ia memberi isyarat dengan tegas kepada Leila untuk menunggu di ruang penghubung dan menyuruh wanita itu menutup pintu. “Pendamping?” goda Gretchen ketika Philippe duduk di depannya di kursi di meja kaca kecil itu. “Menarik sekali!” Philippe terkekeh. Ia kini mengenakan thobe, seperti yang di Maroko disebut djellabah, tetapi thobe-nya anggun, biru gelap dan disulam dengan benang emas. Di kakinya terdapat sepatu tanpa tumit yang di Maroko disebut babouches. Philippe memiringkan kepala dan menatap Gretchen, menyukai penampilan Gretchen dalam gellabia sutra putih bersulam emas, yang cukup tipis untuk memperlihatkan gaun katun tebal bersulam yang dikenakan Gretchen di balik gellabia-nya. “Pakaianmu konservatif,” kata Philippe senang. “Tapi kurasa tidak cukup bagus. Aku akan menyuruh seorang wanita datang ke sini besok dan mengukurmu untuk pakaian baru. Aku sangat suka melihatmu dalam warna putih, tapi kurasa hijau gelap juga akan cocok untukmu.” “Kau tidak perlu menghabiskan banyak uang untukku,” protes Gretchen. “Aku tidak terlalu suka pakaian, dan kalau pergi berjalan-jalan, aku akan mengenakan aba, bahkan kalau pergi denganmu.” “Kau harus berpenampilan sesuai peranmu di sini,” kata Philippe lembut, sambil tersenyum. “Di samping itu,” tambahnya, menyandarkan tubuh ke belakang untuk mengamati Gretchen dengan kesan agak angkuh, “aku senang membelikan barang-barang bagus untukmu. Buatlah aku senang.” Gretchen tersenyum lebar. “Baiklah kalau begitu, tapi kau akan membelikan jins untukku sehingga aku bisa ikut berkuda denganmu?” Jantung Philippe berdebar. “Aku akan dengan senang hati mengajakmu berkuda,” katanya pada Gretchen. “Tapi kau harus punya jodphur dan helm, Gretchen. Pakaian berkuda.” Gretchen meringis. “Aku lebih suka memakai celana jins.” “Ketika berada di Roma. . . ?“ goda Philippe. “Baiklah.” Gretchen mengamati wajah Philippe yang keras, melihat garis samar di sana. “Kau lelah,” katanya . “Dan kau terlihat seolah-olah ada orang yang mencoba menggigitmu dan dia malah mati keracunan karenanya.” Philippe terkekeh. “Gambaran yang tepat.” Ia berdiri dan meregangkan tubuh dengan malas. Otot-ototnya yang keras beriak di tubuhnya yang kuat. “Apakah kau sudah makan.” “Sudah. Makanannya sangat enak,” kata Gretchen. “makan kue burung dara. Enak sekali. ini juga,” tambahnya sambil mengangkat sepotong kue almond berbentuk lengkung. “Mau?” tanyanya, menawarkan. Philippe membungkuk dan membuka mulut, menatap mata Gretchen sementara Gretchen menyuapinya. Ia mengunyah dengan pelan dan menelan, lalu membungkuk membuka mulutnya lagi di bibir Gretchen yang lembut, menyapu bibir wanita itu dengan malas dan sangat ringan. Napas Gretchen tersekat dan ia mendongak, tetapi Philippe menegakkan tubuh dan memberengut, mengamati Gretchen dengan intensitas besar. Tatapan Philippe beralih ke ranjang besar bertiang dengan tirai-tirainya yang mencolok, lalu kembali kepada Gretchen, menelusuri tubuh terbalut kain halus itu. Mata hitam Philippe mulai berkilat samar ketika menatap Gretchen. “Beberapa jam terasa seperti beberapa hari bagi orang yang kehausan,” gumam Philippe lirih. “Kemarilah, sayang.” Ia membungkuk dan menggendong Gretchen dari kursi ke dalam pelukannya yang keras dan kuat. Ia menunduk, menyapukan bibirnya di mata Gretchen sambil membawa Gretchen ke ranjang dan membaringkan wanita itu dengan lembut di atas selimut bersulam. Gretchen berbaring diam, mendongak menatap Philippe dengan mata lebar dan lapar. Philippe berbaring di samping Gretchen, tangannya berada di kedua sisi kepala Gretchen sementara ia berdiam di sana, dengan tatapan penaklukan di wajahnya yang ramping. Sambil menyandarkan beban tubuhnya di salah satu lengan, jemarinya terangkat ke jepitan yang menahan rambut Gretchen dan melepaskan rambut lembut wanita itu sehingga rambut Gretchen jatuh ke sekeliling kepalanya seperti halo emas. Mata Philippe jatuh ke kancing-kancing kecil gellabia Gretchen dan jemarinya yang ramping mengikuti tatapannya. Ia mulai melepaskan kancing-kancing itu sementara menatap mata Gretchen. Debar jantung Gretchen menggila. Ia tahu Philippe bisa melihat debarannya, karena pakaian yang ia kenakan tersentak seiring gerakan jantungnya yang keras dan cepat. Tubuhnya bergerak nyaris tanpa sadar, bergairah akibat sentuhan singkat buku jari Philippe di kulit lembut yang tertutup gaun tipis bersulam itu. Tangan Philippe menyelinap ke balik kain itu dan ke kancing-kancing di bawahnya. Ia melepaskannya dengan tekanan malas dan menggoda, lalu menyelipkan tangannya ke balik kain dan ke kulit lembut halus yang hanya tertutup bra tipis berenda yang dikenakan Gretchen. “Ah,” bisik Philippe ketika menemukan puncak payudara Gretchen yang keras dan merasakan tubuh Gretchen tersentak nikmat. “Tidak ada lapisan kali ini?” Gretchen menggeleng pelan. “Tidak denganmu. Tidak akan pernah. Kau membuatku bangga pada tubuhku.” “Seharusnya begitu,” kata Philippe lembut. “Tubuhmu sangat halus, Gretchen,” gumamnya, menyapukan bibirnya di kelopak mata Gretchen yang tertutup seraya membelai payudara Gretchen yang kecil dan kencang. Bibirnya bergerak ke bibir Gretchen dan menggigit bibir bawah wanita itu dengan lembut sementara jemarinya semakin berani. “Dengarkan aku,” desak Philippe. “Aku ingin mencium tubuhmu dan membuatmu berteriak. Aku ingin Leila mendengarmu. Tapi kalau itu akan terlalu memalukan buatmu...” Sementara berbicara, Philippe melepaskan pakaian Gretchen. Gretchen membebaskan diri dari pakaian luar dan gaun di baliknya, lalu berbaring, mengundang mata Philippe menatap ketelanjangannya yang lembut. Lengannya terulur ke arah Philippe, tanpa sandiwara, pura-pura, atau rasa malu. Mata hijau Gretchen yang lembut membuat Philippe merasa seperti raja yang sebenarnya sementara Gretchen melihat kepala Philippe menunduk ke tubuhnya. Pungung Gretchen melengkung, satu desahan, hanya desahan untuk mengundang mulut Philippe ke puncak payudaranya yang kecil, keras, dan merah muda itu... Jeritan singkat dan tersekat yang meluncur dari mulut Gretchen membuat Philippe sangat lapar. Mulutnya makin menuntut, mendesak, sementara ia menciun Gretchen dengan gairah menegangkan. Ia bergerak mendekati Gretchen. Philippe lupa tentang Leila, resolusinya, pertahanan dirinya, semua kecemasannya tentang reputasi Gretchen. Ia sedang terbakar. Tubuhnya berdenyut, berdebar. Ia begitu bergairah sampai hampir tidak merasakan kuku Gretchen yang menusuk punggungnya. Pikiran Philippe terpusat pada kepuasan. Mungkin ia bisa, munkin ia bisa, mungkin...! “Sidi!” Philippe gemetar. Matanya terlihat mengerikan ketika terpaksa mengalihkan pandangan dari mata Gretchen yang kabur dan lapar serta tubuh Gretchen yang lembut ke arah ambang pintu kamar yang terlihat berputar-putar. Leila berdiri di sana dengan tangan terlipat, wajahnya terlihat mengecam, membelalak menatap Philippe. Philippe mengatakan sesuatu bernada marah dalam bahasa Arab kepada Leila dan wanita itu menjawab dengan sangat tenang dan tegas, dalam bahasa yang sama. Philippe menyumpah dalam bahasa Prancis, Inggris dan Arab sementara menunduk menatap hasil karyanya dan hampir tidak bisa menahan tubuhnya yang gemetar karena gairah yang tak terpuaskan. Kali ini lebih buruk daripada dulu. Ia merasa lebih bergairah daripada sebelumya. Ia masih bergairah. Ia ingin merobek pakaian di antara dirinya dan Gretchen, lalu mendesak ke dalam tubuh lembut wanita itu. Ia ingin... Ia mengerang kasar dan berguling dari Gretchen, lalu duduk di sisi ranjang sambil membenamkan wajah ke dalam kedua tangannya. Gretchen hampir tidak bisa bernapas. Ia menarik gaunya menutupi payudaranya yang keras dan menatap Leila dengan campuran perasaan bingung dan malu. “Anda ikut dengan saya, My Lady,” kata Leila tegas, bergerak maju untuk menarik Gretchen dari ranjang. “Tidak sebelum pernikahan, Sidi,” katanya pada Philippe dalam bahasa Inggris. “Seharusnya Anda malu!” Philippe meledak tertawa walaupun tersiksa. “Dasar pengganggu,” erangnya. “Seharusnya aku menyerahkanmu kepada Mustapha al Bakir ketika dia melamarmu!” “Dia menginginkan sesuatu yang lebih daripada yang sepantasnya dia miliki. Saya lebih memilih menikah dengan lembu,” balas Leila angkuh. “Sekarang saya akan membawa Lady saya ke ruangan lain sampai Anda pergi, Sidi,” lanjutnya sambil menarik Gretchen bersamanya. “Anda tidak boleh mencemarinya.” Philippe berhasil berdiri. Ia tidak menghadap ke arah kedua wanita itu ketika menatap ke balik bahu dan melihat mereka, yang satu memerintah, yang lainnya mencoba menutupi payudaranya dengan kain yang masih belum terkancing dan terus meluncur turun. Philippe merapatkan bibir dan tersenyum nakal. “Kalau begitu kunci dia di kamarnya sampai kami pergi ke padang pasir,” Philippe menasihati Leila. “Godaan yang ditampilkannya terlalu sulit ditolak.” “Begitulah yang Hassan katakan pada saya,” balas Leila mengangguk melihat alis Philippe yang terangkat. “saya sudah mendengar tentang apa yang terjadi di dalam pesawat! Lady saya tidak aman berdua saja dengan Anda Sidi, dan adalah tugas saya untuk menjaga kehormatannya sampai upacara pernikahan berlangsung. Entah Anda suka atau tidak!” “Aku tidak akan suka,” Philippe menegaskan, tetapi matanya berkilat-kilat ketika menatap mata Gretchen “Yang ketiga kali pasti berhasil, Mademoiselle,” tambahnya kepada Gretchen dengan nada rendah, dan terkekeh ketika wajah Gretchen memerah. Philippe keluar dari kamar, dan Leila membantu Gretchen mengenakan gaun dan djellabah-nya kembali, sambil memberengut. “Apa maksudnya dengan yang ketiga kali?” “Lelucon pribadi,” kata Gretchen pada wanita Arab itu “Dan tidak usah dipikirkan artinya,” tambahnya serius, tetapi sambil tersenyum. “Pria itu adalah ancaman,” kata Leila sambil menggeleng. “Dan saya mengira saya bisa memercayainya untuk berduaan dengan Anda!” Gretchen tidak berkata apa-apa, tetapi ia hanya bisa membayangkan kebanggaan Philippe karena dianggap sebagai perayu potensial. Perlindungan Leila yang galak membuat Philippe merasa geli dan senang, untuk alasan-alasan yang tidak pernah bisa dibayangkan pelayan Arab itu. Mengingat gairah besar di tubuh Philippe yang ramping dan belaiannya yang semakin mendesak, Gretchen tidak ragu suatu hari nanti ia akan segera mempelajari semua rahasia dalam kamar tidur. Ia tidak sabar menunggu upacara pernikahan yang akan menjadikan Philippe miliknya. Kalau Gretchen bisa merayu Philippe, Brianne yang misterius itu tidak akan bisa mendapatkan kasih sayang Philippe. Dan Gretchen akan merayunya. Dengan apa pun, dengan cara apa pun yang mungkin! Seminggu berlalu dengan cepat sementara Gretchen belajar mengingat isi istana yang besar itu dan mengenal orang-orang yang tinggal di sana. Ia merasa kasihan pada para pelayan malang yang harus mencuci semua dinding. Mereka menggunakan pemutih, dan itu membuat tangan mereka kasar. Ia mengeluhkan masalah ini pada Philippe, yang menyediakan sarung tangan karet untuk mereka. Gretchen menemukan salah seorang wanita di dapur hampir tidak bisa berdiri, sakit karena masalah wanita, dan juga hal yang menurutnya harus diperhatikan. Seorang dokter diminta datang dan wanita itu dirawat serta diberi cuti. Ada masalah-masalah lain yang Gretchen temukan, dan membuat calon suaminya geli. Gretchen merasa jam kerja mereka terlalu panjang dan tidak ada fasilitas tempat penitipan anak dan taman kanak-kanak, dan hal ini mencemaskannya. Gretchen menemui para pelayan pada akhir hari yang panjang dengan penerjemah yang Philippe sediakan, dan ia mendengarkan permintaan-permintaan mereka yang malu-malu dengan sabar. Setiap orang diberi kesempatan berbicara, bahkan koki yang sudah lama menderita karena tidak memiliki peralatan atau perlengkapan modern untuk membuat makanan Prancis yang lezat kesukaan Philippe. Pengurus rumah pada awalnya merasa tidak suka dan terkejut karena campur tangan wanita asing dalam masalah ini. Tetapi ketika Gretchen berhasil melakukan beberapa perubahan luar biasa mengenai kondisi kerja, ia langsung menganggap Gretchen sebagai sekutu dan bahkan bersekongkol dengan Gretchen untuk menganti keramik dan memesan taplak-taplak meja yang baru. Gretchen juga tidak berhenti pada masalah rumah tangga saja. Ia melihat anak-anak bermain di tanah dengan tongkat. Tidak ada mainan, dan tidak ada tempat bermain. Dengan seorang penerjemah, Gretchen pergi ke rumah-rumah kecil rapi yang memenuhi kasbah dan mengumpulkan para ibu. Kebanyakan dari mereka bekerja membuat kain untuk istana dan para penghuninya, tidak ada orang yang menjaga anak-anak. Mereka bermain di luar di tanah, karena tidak ada fasilitas lain. Gretchen pulang dan memberitahu Philippe, dan meminta tempat bermain berpagar dan seorang pengawas untuk mengawasi mereka sementara para ibu bekerja. Taman kanak-kanak tambah Gretchen, akan diperlukan, dan harus ada pendidik terlatih yang mengelolanya. Philippe setuju, terkejut melihat perubahan dalam diri Gretchen sejak Gretchen tiba. Wanita itu sepertinya berada di semua tempat, mengamati, mendengarkan, belajar. Ia melihat hal-hal yang membutuhkan perubahan dan langsung berusaha mengubahnya. Ia semakin dewasa di bawah pengamatan Philippe. Gretchen membuat orang-orang di rumah Philippe terpesona. Gretchen juga membuat Philippe terpesona. Philippe semakin menginginkan Gretchen setiap harinya, tetapi Leila berhasil menjauhkannya dari Gretchen kecuali untuk saat-saat langka pada malam hari. Dan sekarang, Leila menolak meninggalkan ruangan ketika Philippe memasuki apartemen Gretchen. Philippe melotot ke arah wanita dengan sulaman di pangkuannya itu, dan mengatakan sesuatu kepadanya dalam bahasa Arab. Tidak terganggu, Leila tersenyum lebar kepada Philippe dan kembali menyulam. “Kita akan pergi ke Wadi Agadir dua hari lagi,” kata Phiilippe pada Gretchen. “Saat itu, beberapa barang baru akan diantarkan ke istana. Leila akan ikut denganmu dalam penjalanan itu.” “Karavan?” tanya Gretchen penuh .semangat. “Unta dan kuda...?” Philippe terkekeh. “Land Rover,” koreksinya. Matanya berkilat-kilat melihat kekecewaan Gretchen. “Aku orang kota,” kata Philippe malas sambil melirik penuh peringatan ke arah Leila yang hendak membuka mulut. “Kenapa aku harus mengalami siksaan menunggang unta kalau bisa bepergian dengan nyaman?” “Aku membaca terlalu banyak novel, dan menonton terlalu banyak film Valentino,” aku Gretchen malu. “Aku yakin bepergian dengan Land Rover juga akan menjadi pengalaman baru.” “Perjalanan ini akan menjadi pengalaman baru. Pengalaman yang kuharap tidak akan kita berdua lupakan,” Philippe menambahkan dengan lembut. Ia mengangkat tangan Gretchen ke mulutnya. “Aku harus kembali ke kamarku. Tidurlah yang nyenyak.” “Kau juga. Terima kasih karena tidak keberatan.” “Keberatan tentang apa?” tanya Philippe penasaran. “Aku membuat kekacauan di istana,” aku Gretchen “Aku minta maaf karena menimbulkan banyak masalah. Mungkin aku harus tetap di kamar…” Leila tertawa terbahak—bahak. Philippe juga. “Koki—pria yang dipanggil ‘Napoleon’ oleh para bawahannya—membuat kue-kue almond kecil yang kausukai itu dengan tangannya sendiri. Wanita tukang cuci memakaikan parfum paling mahal untuk pakaianmu. Anak-anak mengerubungimu setiap kali melihatmu. Pelayan pribadiku sendiri membawa satu pot anggrek curian dari rumah kaca ayahku—pelanggaran yang pasti bisa membuat kepalanya dipenggal—dan meletakkannya di ruang dudukmu. Masalah? Aku selalu hidup dalam kecemasan, bertanya-tanya apakah seorang pelayan yang terlambat membawakan tehmu akan memotong lehernya sendiri karena takut telah membuatmu tersinggung!” “Benar, My Lady,” Leila membenarkan, terkekeh melihat ekspresi Gretchen yang tercengang. “Para pelayan di sini menyukai Anda.” “Mereka semua sangat baik,” sahut Gretchen. “Aku merasa harus melakukan sesuatu untuk mereka.” Leila berdiri, masih tersenyum. “Tidak sulit menjadi wanita yang baik.” Ia menatap sang syekh dengan masam “Aku harus mengganti benangku. Tapi aku hanya akan keluar sebentar, Sidi,” ia memperingatkan dengan tegas. Philippe mendesah berlebihan. “Kalau begitu aku akan. berterima kasih atas waktu yang singkat itu.” Leila membungkuk dan tersenyum jail ke Gretchen ketika keluar dari kamar. Philippe merentangkan tangan dan Gretchen masuk ke pelukan pria itu, mendekapnya erat, telinganya di dada Philippe, mendengarkan debar jantung Philippe yang berat dan keras. “Aku sudah memikirkan perjalanan padang pasir itu,” Kata Philippe di pelipis Gretchen. “Mungkin aku harus meninggalkanmu di sini.” “Tapi kenapa?” Gretchen menarik diri dan mendongak menatap Philippe. “Apakah kau berubah pikiran, tentang ingin menikah?” Philippe menyentuh bibir Gretchen yang lembut dengan teluñjuknya, mengamatinya dengan saksama. “Tidak pernah,” kata Philippe lirih. “Tapi aku ragu, keraguan yang serius, tentang membawamu ke dalam situasi yang mungkin akan terbukti lebih berbahaya daripada yang kuduga.” “Aku tidak takut,” kata Gretchen. “Aku juga, untuk diri sendiri. Tapi kau akan berada dalam bahaya.” “Apakah hanya kita berdua yang akan pergi?” goda Gretchen. “Wanita nakal!” kata Philippe sambil pura-pura menggeram, dan menunduk mencium Gretchen dengan lapar. “Tidak, pengawalku juga akan ikut, dan akan ada banyak perwakilan suku di sana. Kita akan menjadi pasukan tak terkalahkan saat bersatu.” Gretchen terlihat cemas. “Kedengarannya kau sedang bersiap-siap untuk berperang.” “Mungkin begitu,” kata Philippe, mengagetkan Gretchen. Wajahnya sangat serius. “Semingguan ini aku rnengumpulkan informasi dari para mata-mata. Brauer ada di Salid, negara di perbatasan utara. Aku punya bukti otentik. Dia sudah mengumpulkan sekelompok kecil penjahat yang mau membunuh dengan bayaran tertentu, dia memikirkan tindakan berikutnya sambil berkemah di perbatasanku. Aku tidak bisa membiarkannya tetap di sana.” “Bagaimana caramu mengusirnya?” Tanya Gretchen khawatir: “Dia punya senjata otomatis dan semacamnya, bukan?” Philippe mengangguk. “Peledak plastik, peluncur roket, ranjau darat, dan granat. Dia punya teman-teman yang berutang bantuan kepadanya, dan dia memiliki hubungan baik dengan sebagian besar pedagang senjata. Kalau memulai perang, dia bisa menebus kerugiannya dalam komisi penjualan senjata. Dengan situasi politik saat itu dia mungkin berhasil kalau aku tidak menghentikannya tepat waktu.” “Apa yang bisa kulakukan untuk membantu?” Gretchen langsung. Philippe mencium kening Gretchen. “Kalau kau berencana mengangkut peluncur roket dan berperang bersamaku, lupakan saja.” Gretchen terkekeh. “Aku tidak bisa meluncurkan roket, tapi aku bisa menggunakan tali dan menembak. Marc mengajariku caranya. Dan aku bisa menunggangi apa pun yang berkaki empat.” “Keahlian yang mungkin akan terbukti berguna,” Philippe membenarkan. Ia menarik diri dan menatapi mata hijau Gretchen yang lembut. “Kalau saja Leila bisa tersesat dalam perjalanannya kembali ke sini..” Ia menunduk untuk mencium bibir Gretchen yang hangat dengan bibirnya sendiri. Ia memeluk Gretchen erat-erat dan lapar ke tubuhnya, merasakan reaksi cepat tubuhnya pada kehangatan tubuh Gretchen. Gretchen sudah menjadi bagian dari dirinya. “Dan aku sudah kembali,” terdengar suara riang yang tidak asing dari ambang pintu, disusul si pemilik suara itu sendiri. Philippe membelalak ke arah Leila. “Setelah upacara pernikahan,” katanya pada Leila, “kalau kau berada dalam jarak seratus meter dari kami, aku akan menjadikanmu sasaran latihan tembak.” “Lalu Anda yang akan menyiapkan air mandi untuk Lady?” terdengar balasan geli Leila. “Dan siapa yang akan menyusun barang-barang dan mengurus pakaian serta membuatnya cantik bagi Anda?” Philippe menyentuh pipi Gretchen yang lembut. “Dia tidak perlu dibuat cantik. Dia sudah cantik.” “Dia butuh tidur untuk tetap cantik. Selamat malam, sidi,” kata Leila tajam. “Kau lupa akulah majikan di sini,” kata Philippe sambil menatap Leila. “Kata-kataku adalah hukum.” “Memang benar, Sidi, di bagian istana yang lain. Tapi di sini Anda adalah pengganggu dan kata-kata saya yang berkuasa, bukan Anda. Selamat malam, My Lord!” Philippe melemparkan tangannya ke atas. Ia melirik Gretchen dengan tatapan enggan dan muram, lalu berbalik menggerutu dalam bahasa Arab sepanjang jalan ke pintu. Leila terkikik. “Sudah bertahun-tahun saya tinggal di sini,” katanya pada Gretchen. “Tapi saya belum pernah mendengar Sidi tertawa. Semua pelayan membicarakan perubahan dirinya sejak Anda tiba, My Lady. Anda sudah membuatnya terpesona.” “Akulah yang terpesona, kurasa,” terdengar jawaban sambil lalu. Gretchen masih menatap ke arah pintu yang di tinggalkan Philippe. “Rasanya seperti dongeng yang menjadi kenyataan. Aku tidak pernah bermimpi seorang pria seperti dia akan tertarik pada wanita sesederhana aku.” “Sederhana. Ha! Anda memiliki kecantikan dari dalam yang tidak banyak dimiliki orang yang saya kenal,” kata Leila lembut. “Dan itulah yang membuat My Lord tertarik. Anda akan menjadi istri yang baik untuknya, Lady. Anda akan memberikan banyak putra yang kuat untuknya!” “Itu akan sangat menyenangkan,” kata Gretchen sambil berbalik. Ia akan meneruskan perannya dalam sandiwara ini, dengan sukarela, tetapi ia tahu tidak akan ada anak - anak. Sedih rasanya memikirkan hal itu. Tentu saja, banyak anak di istana, dan ia akan sangat terlibat dalam perawatan dan pendidikan mereka. Mungkin hal itu akan menutupi keadaannya sendiri yang tidak memiliki anak. Pilihan lainnya adalah meninggalkan Philippe dan mecari pria yang bisa memberinya anak, tetapi gagasan itu tidak mungkin dipertimbangkan. Apa pun yang terjadi. sekarang, hidupnya sudah bersatu dengan hidup Philippe ini benar-benar takdir, dan Gretchen menjalaninya dengan penuh semangat. 10 TIGA hari kemudian, Land Rover besar putih itu berhenti di tangga samping istana, para pelayan mengisinya dengan perbekalan. Di belakangnya terdapat beberapa ekor unta yang memikul karpet dan peralatan rumah tangga. Gretchen nyaris melompat gembira, karena di antara barang-barang itu ada baju pengantinnya, dijahit sendiri penjahit istana. Ia akan pergi ke padang pasir untuk menikah dengan pria yang tidak pernah ia sangka akan ditemuinya, apalagi dicintainya. Walaupun di bagian dunia upacaranya tidak sah, di Qawi ia akan menjadi istri Philippe. Setidaknya sampai Philippe memutuskan mengusirnya. Gretchen sangat ingin menjadi milik Philippe, dengan cara apa pun, sampai Philippe tidak akan pernah bisa melepaskannya, tidak akan pernah. Philippe, seperti Gretchen, mengenakan busana berwarna khaki. Gretchen mengira Philippe akan mengenakan jubah tradisional untuk perjalanan ini, tetapi mata Philippe berkilat-kilat ketika memberitahu Gretchen bahwa ia terlalu kebarat-baratan untuk menyukai pakaian tradisional. Salah seorang pengawal Philippe nyaris tersadung kakinya sendiri ketika mendengar komentar itu, tetapi mata Gretchen terpaku pada unta, jadi tidak menyadarinya. Juga ada perdebatan seru antara Philippe dan ayahnya, Gretchen mengira perdebatan itu tentang pernikahan. Tetapi ketika persediaan dimasukkan ke mobil, Leila datang untuk memberitahu Gretchen bahwa sang syekh tua, ayah Philippe, ingin menemuinya. Gretchen agak cemas mendengarnya, karena ia tahu ayah Philippe tidak menyukainya. Gretchen sudah berhati-hati dan menjaga jarak dengan pria tua itu, walaupun tidak bisa menahan diri dan kadang-kadang pergi melihat anggrek-anggrek indah pria tua itu—ketika tidak ada yang melihat, tentu saja. Ia bertanya-tanya apakah pria tua itu tahu bahwa Gretchen telah menyelinap ke rumah kacanya dan sekarang dia marah. Leila menuntunnya ke rumah kaca besar yang ada di sebelah istana. Syekh tua itu berbalik ketika Gretch masuk, matanya menatap tidak setuju ke arah rok safari panjang yang membentuk tubuh Gretchen dan blus senada serta topi yang dikenakannya bersama sepatu bot selutut. Pakaian jalan-jalan itu adalah salah satu dari pakaian baru yang Philippe pesankan untuknya, dan pakaian yang paling membuatnya bahagia. “Tidak ada aba,” kata pria tua itu ketus, menunjukkan kurangnya kain tradisional dalam busana Gretchen. Gretchen mendesah dan tersenyum. “Tidak. Aku minta maaf, aku lupa. Aku tumbuh besar di peternakan di Texas, Anda lihat, jadi biasanya aku mengenakan celana jins dan T-shirt. Bahkan bagiku ini sudah berlebihan...” Pria tua itu mengatakan sesuatu yang Gretchen senang tidak bisa ia pahami. “Kau mengejekku,” tuduh pria itu. “Tidak,” kata Gretchen lembut. “Sama sekali tidak. Anda tidak mengenalku. Aku tidak kasar dan tidak mencoba menyakiti orang lain. Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang gaun dan cara bergaul. Anda tidak perlu cemas,” tambahnya sungguh-sungguh. “Philippe hanya menikahiku dengan upacara kesukuan. Tidak akan mengikat, kecuali di negara Anda. Dia tidak akan terperangkap bersamaku.” “Terperangkap?” Gretchen menggeleng. Tidak ada seorang pun di negara ini yang memahami ungkapan. Ia harus mencoba kembali belajar berbicara dengan bahasa baku. “Dia tidak akan tetap menikah denganku,” koreksi Gretchen. “Aku tahu dia harus menikahi wanita yang memiliki latar belakang dan status yang sesuai dengannya kalau nanti dia menikah dalam arti sebenarnya.” Wajah Gretchen memerah. “Dia punya... alasan lain karena menjalani upacara ini bersamaku,” tambahnya malu. Mata pria tua itu menyipit. Ia masih belum tersenyum. “Ini tidak benar,” katanya pendek. Gretchen mengangkat bahu. “Kalau begitu Anda saja yang menghentikannya,” katanya. “Aku sudah berkata padanya bahwa dia tidak perlu menikahiku.” “Dia juga tidak mendengarkan kata-kataku,” gerutu pria tua itu. Ia berbalik kepada anggrek-anggreknya dengan gerakan bahu yang aneh. “Kalau begitu, pergilah bersamanya.” Matanya menatap mata Gretchen. “Tapi pastikan para pengawalnya selalu di dekat kalian. Ingat, selalu.” Ia memberi isyarat supaya Gretchen mendekat memandang ke sekeliling dengan waswas sebelum mencondongkan tubuh ke arah Gretchen dan berbicara dengan sungguh-sungguh. “Salah seorang pelayan kabur pagi ini salah seorang pelayan yang ditugaskan melayani adikku,” kata ayah Philippe dengan sangat lirih. “Kurasa itu bukan kebetulan. Seseorang sedang mengawasi gerak gerik Philippe.” “Apakah menurut Anda pelayan ini mungkin ada kaitannya dengan pria yang dipenjara atas bantuan Philippe?” tanya Gretchen. “Pria yang Philippe ceritakan kepadaku “Kurt Brauer,” pria tua itu membenarkan dengan dingin. “Sangat mungkin. Dia kehilangan uang dan prestisenya, dan dia ingin mendapatkan kembali kedua hal itu dengan menghancurkan putraku. Aku sudah mencoba meyakinkan Philippe bahwa pasukan dan senjata jarak jauh kami adalah yang terbaik untuk menghadapi pertikaian di perbatasan ini tetapi dia tidak mendengarkanku. Katanya Brauer akan memanfaatkan itu untuk melawannya kalau dia mengirimkan pasukan dan tetap tinggal di sini. Para ketua klan di daerah pinggiran mungkin akan menganggap hal itu sebagai kelemahan dan bergabung dengan pihak penyerang.” Ia mengangkat sebelah tangan ketika Gretchen membuka mulut. “Dan dia benar. Aku menarik kembali keberatanku, tapi tidak kekhawatiranku. Dia tidak mencemaskan keselamatan pribadinya. Katakan pada Bojo bahwa aku ingin putraku diawasi siang dan malam, tidak peduli apa pun yang dia katakan!” “Akan kulakukan,” Gretchen berjanji, dan matanya menyipit. “Apakah ada orang yang bisa meminjamkan pistol kepadaku?” Alis pria tua itu terangkat. “Mademoiselle?” “Aku penembak jitu,” jelas Gretchen, ingat bahwa ia pernah berbohong tentang hal itu pada Philippe. “Kakakku seorang penegak hukum. Dia mengajariku cara menembak. Kalau semua usaha gagal, dan Philippe tidak membiarkan Bojo tetap berada di dekatnya, aku akan duduk di kaki ranjang Philippe sepanjang malam dan menjaganya sendiri.” Pria tua itu tidak berbicara untuk waktu yang sangat lama sampai Gretchen bertanya-tanya apakah pria itu tidak mendengarnya. Pria tua itu menatapnya dengan tajam, alisnya yang putih dan tebal berkerut bingung. tiba-tiba kerutan itu menghilang, dan seluruh ekspresinya melembut. “Kau mencintai putraku,” katanya pelan. Rona samar di wajah Gretchen sudah cukup membuka rahasia tanpa perlu memperhatikan matanya yang tiba-tiba berpaling. “Aku menyukainya,” koreksi Gretchen kasar. “Kau mencintainya.” Pria tua itu menarik napas dengan pelan. “Aku sudah salah paham tentang semuanya,” katanya setelah beberapa saat. “Semuanya kini masuk akal bagiku. Aku bertanya-tanya, kau tahu,” tambahnya ketika Gretchen meliriknya dengan bingung, “kenapa seorang Wanita muda Amerika sangat ingin melakukan sandiwara memalukan yang akan mencemarkan moralnya ini. Tapi kalau kau mencintainya,” lanjutnya lirih, “dan dia bersedia menghadapi perang untuk mempertahankan dirimu…” “Menghadäpi perang?” sela Gretchen. “Adikku mengancam akan memulai perang saudara kalau dia tetap meneruskan upacara pernikahan, tapi Philippe tidak mau membatalkan, atau bahkan menundanya.” Pria tua itu tersenyum ketika mata Gretchen melebar kaget. “Dan dia menginginkanmu. Mungkin ada kekuatan lain yang bekerja di sini yang tidak bisa dijelaskan ilmu medis, hmm?” Wajah Gretchen merah padam, dan pria tua itu mulai terkekeh. “Pergilah ke padang pasir dan menikah,” gumamnya. “Semua dokter di Eropa tidak bisa menyembuhkannya, tapi kurasa kau bisa.” Ia menggeleng. “Dan kupikir dia sudah gila.” “Dia masih gila,” kata Gretchen. “Dengar, Anda tidak bisa membiarkannya melakukan ini kalau akibatnya akan timbul perang. Aku tidak mau bertanggung jawab atas orang-orang yang terbunuh!” “Ini lelucon yang buruk. Tidak ada orang yang akan terbunuh,” kata pria tua itu kepada Gretchen. “Adikku hanya menggertak, tapi dia takut pada putraku. Seperti halnya sebagian besar kepala suku,” tambahnya. “Hanya sedikit yang berani memancing amarahnya selama beberapa tahun terakhir.” “Philippe?” Gretchen mengerutkan kening. “Tapi dia pria yang sangat lembut... kenapa Anda tertawa?” “Dia mungkin bersikap lembut padamu, anakku,” kata pria tua itu senang. “Nanti tanyakan padanya bagaimana dia bisa menginjak ranjau darat di Palestina itu.” Gretchen mengerjap. “Aku sudah bertanya. Katanya itu kecelakaan. Dia menginjaknya ketika berada di sana untuk urusan bisnis.” Pria tua itu menatap Gretchen dengan tatapan bijak dan tegas. “Dan kau mengira pria yang sedang melakukan perjalanan bisnis ke kota akan menginjak ranjau darat di trotoar kurasa?” Hal itu tidak pernah terpikirkan oleh Gretchen. Banyak kota yang hancur karena perang, tetapi akan sulit memasang ranjau darat di trotoar. Kenapa ia tidak memertanyakan hal tersebut pada Philippe ketika pria itu mencerita kepadanya? Klakson berbunyi, tidak sabar. “Tunanganmu semakin tidak sabar,” kata syekh tua itu sambil tersenyum. “Sebentar.” Ia berseru memanggil seorang pelayan, berbicara kepadanya dengan cepat, dan membuat pelayan itu berlari pergi. Beberapa detik kemudian pelayan itu berlari kembali sambil membawa sebungkus kain. Sang syekh tua mengambilnya, membuka kainnya, dan menunjukkan revolver Colt .45, terisi penuh, dan sekotak peluru. Ia membungkusnya kembali dan menyerahkannya kepada Gretchen. “Hadiah dari salah seorang kepala negaramu, yang tidak pernah membayangkan benda itu akan berguna,” ia terkekeh. “Pergilah bersama Tuhan, anakku.” “Pasti. Dan aku akan menjaga putra Anda.” Syekh tua itu mengerucutkan bibir. “Kau pikir dia membutuhkan perawat, ya?” Gretchen mengangkat bahu dan tersenyum agak malu. “Well, dia bukan jenis pria yang kasar. Dia pria kota yang modern. Dan aku bisa menembak dengan tepat.” Mata gelap pria tua itu menari-nari gembira. Ia terlihat seolah-olah hampir tidak bisa menahan diri. “Pergilah,” katanya sambil mengibaskan tangan. “Ketika kau kembali, kita akan mengobrol tentang anggrek, mengobrol panjang-lebar. Kurasa saat itu kau sudah tahu betapa penampilan bisa menipu.” Gretchen ingin bertanya apa maksudnya, tetapi klakson berbunyi lagi. Gretchen membungkuk dalam-dalam, balik, dan berlari ke arah pintu samping dengan bungkusan yang dikepitnya erat-erat. “Ke mana saja kau?” tuntut Philippe galak. “Kita harus tiba di oasis sebelum matahari meninggi.” “Maaf,” kata Gretchen sambil mengacungkan bungkusannya. “Lupa membawa pakaian dalamku.” Ekspresi Philippe benar-benar lucu. Gretchen memasukan bungkusan kain itu ke tas dan menaiki Land Rover lalu duduk di samping Philippe di bagian belakang. Bojo tersenyum lebar kepada mereka berdua ketika masuk balik kemudi, bersama “Elvis” di sisinya. Mereka semua memakai celana khaki dan sepatu bot hitam. Topi Philippe mirip topi Gretchen. Bojo dan “Elvis” memakai topi kep. Semua orang memakai kacamata hitam, bahkan Gretchen. Philippe memesan kacamata karya perancang terkenal dari Amerika, dan Gretchen memakainya dengan penuh gaya. Ia bertanya-tanya apa pendapat kakaknya Marc, kalau tahu Gretchen menjadi pengawal syekh dengan Colt .45 pinjaman dan melintasi padang pasir dalam Land Rover. Ia harus menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak memikirkannya. Ia harus berhati-hati agar Philippe tidak tahu bahwa ia sedang melindungi pria itu, tentu saja. Ia tidak ingin membuat Philippe malu. “Tadi kau ke mana?” tanya Philippe ketika mereka sudah di dalam perjalanan. “Ayahmu ingin mengatakan sesuatu kepadaku,” kata Gretchen. “Salah seorang pelayan rumah, yang khusus melayani pamanmu kabur pagi ini. Ayahmu merasa hal itu mencurigakan.” Philippe mengangkat sebelah alis dan bertukar pandang dengan Bojo yang duduk di kursi depan. “Pamanku sangat suka membuat masalah. ini bisa membuka rahasianya,” tambah Philippe lirih dengan nada mengancam. Ia mengucapkan sesuatu kepada Bojo dalam bahasa Arab dan memberi isyarat dengan sebelah tangannya yang ramping. Bojo mengeluarkan ponsel dan melemparkannya kepada Philippe. Alat itu tidak terlihat seperti telepon yang Gretchen lihat di rumah. Telepon itu memiliki berbagai tombol dan dua layar. Philippe menekan salah satu tombol dan melihat kebingungan di wajah Gretchen. “GPS’ kata Philippe. Ketika Gretchen mengerutkan kening, ia menambahkan, “Alat ini berfungsi untuk menampilkan posisi global. Dengan alat ini aku bisa tahu di mana tepatnya lokasiku, bahkan bila sedang berada di tengah-tengah padang pasir. Alat ini membantuku menentukan koordinat dan pos yang jauh, kalau-kalau Brauer memiliki lebih banyak perlengkapan daripada yang kuduga. “Menentukan koordinat.” Gretchen mengangguk, tetapi sama sekali tidak mengerti. “Gretchen,” kata Philippe sabar, “aku bisa menelepon bantuan udara kalau perlu. Aku punya pasukan udara di sini, dan misil jarak jauh, walaupun militer kami tidak secanggih militer Amerika Serikat. “Oh!” Gretchen tertawa malu. “Maaf. Aku tidak tahu ke mana pikiranku saat ini. Philippe menggeleng dan menekan beberapa tombol di alat itu. “Sekarang, aku bisa menemukan posisi oasis... di sini... dan mendapatkan perkiraan waktu perjalanan. Ya, kita akan tiba tepat waktu.” Ia mengajukan pertanyaan lain kepada Bojo yang menjawab dalam bahasa Arab. Philippe mengangguk dan melempar ponsel itu kembalil kepada Bojo. Bojo menangkapnya dengan tepat tanpa perlu melihat. Ada sesuatu yang terjadi. Gretchen bertanya-tanya apakah Philippe sudah menghubungi pasukan militernya dan membiarkan mereka menyerang Brauer, sementara bersikap seolah-olah ia akan pergi ke sana untuk melakukannya sendiri. Kalau begitu, pasti ada seseorang yang mengawasi mereka sekarang. Gretchen merasakan getaran dingin menjalari tulang punggungnya. Ia melirik Philippe Well, satu hal sudah jelas. Ia tidak akan membiarkan suatu terjadi pada Philippe, walaupun itu berarti duduk berjaga-jaga dengan Colt di tangan! “Ada perkembangan lain yang belum kusampaikan kepadamu,” kata Philippe setelah beberapa kilometer. “Brauer mengirim seorang pembunuh bayaran ke Prancis dan mencoba menyerang Brianne Hutton.” Gretchen menarik napas tajam. “Wanita yang pérnah kau ceritakan kepadaku, wanita dengan anak laki-laki kecil itu?” “Ya,” kata Philippe dengan gigi mengertak. “Aku baru tahu pagi ini. Aku sudah mengirim unit keamanan kecil untuk menemani Brianne dan anaknya sementara Hutton dan kepala keamanannya menyelidiki siapa pembunuh bayaran itu.” “Bukankah polisi yang seharusnya melakukan hal itu,” tanya Gretchen. “Aku tidak akan memercayakan nyawa Brianne pada siapa pun. Bahkan tidak pada suaminya,” kata Philippe singkat. “Dia tidak mau membiarkan Brianne datang ke sini tetapi saat ini dia tahu Brianne dan anaknya akan lebih aman bersamaku daripada bersamanya. Istana di sini tidak akan bisa dimasuki. Aku bisa melindunginya.” “Apakah kita harus pergi ke padang pasir sekarang?” tanya Gretchen, hatinya melesak memikirkan Brianne akan tinggal di Qawi. Tahu bagaimana perasaan Philippe pada wanita itu, Gretchen menyadari posisinya dalam hidup Philippe tidak akan ada artinya setelah perjalanan ini. Ada upacara atau tidak, Gretchen tidak akan bisa dibandingkan dengan Mrs. Hutton yang cantik dan anggun. “Dia akan tiba lima hari lagi,” kata Philippe: “Butuh waktu selama itu untuk mengurus semuanya. Hutton tidak mau mengambil risiko dengan transportasinya. Dia akan memakai salah satu pesawat jet, dan pengawalnya, untuk membawa Brianne ke sini. Tapi pertama-tama dia akan menyingkirkan peluang sabotase, jadi akan ada pengecekan pada detail-detail penting.” Ia terlihat cemas. “Aku mengirim anggota pengawalku sendiri untuk membantunya. Hutton memiliki kepala keamanan yang baru dan aku tidak mengenalnya. Aku menyesal Tate Winthrop pergi, tetapi isrrinya tidak suka dia berada di tengah-tengah baku tembak, terutama sejak kelahiran putra pertama mereka.” “Aku bisa memahaminya,” kata Gretchen lirih, berpikir betapa gembira dirinya karena Philippe seorang diplomat dan bukan tentara bayaran. “Bagaimana dengan upacaranya.” tambahnya enggan. “Apakah tidak seharusnya kau menundanya?” Mata gelap Philippe menyipit. “Tidak,” katanya langsung. “Aku akan meneruskannya, dengan atau tanpa Brauer.” Tatapannya menelusuri tubuh Gretchen dalam balutan pakaian safari ketat, lalu wajahnya mengeras. “seharusnya kau mengenakan aba,” katanya tiba-tiba. “kita akan menyiapkannya ketika tiba di oasis.” Alis Gretchen terangkat. “Jangan bilang kau juga begitu,” erangnya. “Aku juga?” Philippe membrengut. Lalu ia tertawa.“Aku mengerti. Ayahku.” Ia menggeleng. “Dia dibesarkan dengan aturan ketat.” Philippe merapatkan bibir. “Aku juga, dalam berbagai hal, ketika dia membawaku kembali ke sini. Aku adalah anak jalanan, tidak terbiasa dengan peraturan dan disiplin. Aku mempelajari kedua hal melalui tangannya.” Anak yang malang, pikir Gretchen. Ia hampir mengucapkannya, tetapi awan debu di depan menghentikan kata-kata di bibirnya. Jalan lebar berpasir itu kini mendekati padang pasir, dan ia menyangka ada rombongan mobil lain yang menyambut mereka. Tetapi ketika pasir yang berputar-putar itu menampilkan sesuatu berwarna putih, Gretchen terduduk tegak dan mulutnya menganga karena kaget. Itu bukan kendaraan. Itu pasukan berjubah putih dengan senapan, menunggangi kuda-kuda paling hebat yang pernah Gretchen lihat dalam hidup. Kuda-kuda Arab. Senapan-senapan ditembakkan dengan liar, diikuti teriakan keras para penunggang kuda yang mengelilingi Land Rover. Bojo berhenti, terkekeh, dan Philippe keluar ketika pemimpin suku yang menghampirinya melompat turun dari kuda. Kedua pria itu bertukar sapa dan berpelukan seperti saudara dan berbicara dengan penuh semagat dalam bahasa asing. “Achmed,” kata Bojo ketika melihat tatapan Gretchen yang penasaran. “Dia memimpin salah satu dan sekian banyak suku yang bersekutu dengan keluarga Tatluk. Dia saudara sedarah Sidi, bersumpah berperang sampai mati demi melindunginya.” Pria itu hampir setinggi Philippe. Dia mengenakan jubah yang menutupinya dari kepala sampai kaki, dan dia menunjuk cara berpakaian Philippe dan mengatakan pendapatnya dengan keras. Philippe terkekeh dan balas mengatakan sesuatu sambil mengibaskan tangan. Pria satunya mengangguk, melirik ke arah mobil, dan tersenyum lebar. “Ada apa?” tanya Gretchen kepada Bojo. Bojo berdeham. “Hanya, euh, membahas tentang mobil, Mademoiselle.” Gretchen bertanya-tanya kenapa pria itu terlihat geli. Tetapi Philippe kembali dan duduk di sampingnya sementara kepala suku itu melompat anggun ke atas pelana dan menuntun orang-orangnya ke arah mereka datang tadi. “Oh, lihat cara mereka berkuda!” seru Gretchen dengan napas tersekat. “Benar-benar kuda yang luar biasa!” “Kuda Arab,” kata PhiIippe, merasa geli dengan ekspresi takjub Gretchen. “Jenis terbaik di dunia.” Gretchen terpesona, hampir tidak mendengar kata—kata Philippe. “Aku tidak pernah melihat sesuatu seperti itu.” “Tunggu saja,” gumam Philippe kering. “Kurasa kau akan mendapat lebih banyak kejutan.” “Apa?” Gretchen tidak benar-benar mendengarkan, ia masih mengamati para penunggang kuda di kejauhan “Apakah mereka akan pergi ke tempat yang sama seperti kita?” “Ya. Kau bisa melihat kuda—kuda itu dari dekat,” Philippe menambahkan, merasa geli dengan semangat Gretchen. “Luar biasa,” kata Gretchen dengan nada merenung. Philippe mengangkat sebelah alis dan tersenyum lebar kepada Bojo, yang menyembunyikan wajahnya sebelum Gretchen melihat. Perkemahan di padang pasir tidak terlalu mengejutkan, Gretchen pernah melihat film dokumenter tentang padang pasir dan suku-sukunya yang nomad, Tetapi Ia tidak siap melihat kemewahan di tenda-tenda itu. Ia dibawa ke tenda lain sementara beberapa orang suku hendak mendirikan tenda Philippe. Tenda itu luas dan mengesankan, dan karpet-karpet mahal dibawa masuk, bersama lampu-lampu gantung. Gretchen tersenyum ketika berpikir tentang Philippe yang elegan “berubah kasar”. Philippe terlihat asing di sini, seperti asingnya mantel bulu. Ketika tenda itu selesai didirikan, Leila membawa Gretchen masuk dan membongkar barang-barangnya. Gretchen berbaring di antara bantal-bantal empuk dan memandang ke sekeliling, berpikir bagaimana tempat asing ini terasa nyaman seperti di rumah sendiri. Ia memejamkan mata sambil mendesah panjang dan hanya membuka matanya lagi ketika merasa Leila menarik sepatu botnya. “Sepatu botnya lebih baik dilepas, bukan” wanita Qawi itu tersenyum lebar. “Apakah Anda lelah, Lady?” “Sangat lelah,” terdengar jawaban yang lemah. “Kukira kita tidak akan pernah sampai, dan aku yakin mereka tidak pernah menyalakan AC. Kalau dipikir-pikir, aku tidak pernah melihat jendela mobil ditutup di mana pun di timur Tengah.” Ia meringis ketika sepatu botnya yang lain terlepas. “Kurasa aku akan makan sendirian?” “Ya, Lady,” kata Leila padanya. “Setidaknya untuk malam ini. Besok upacara pernikahannya. Besok malam, Anda tidak akan sendirian,” tambahnya sambil terkikik. Besok. Gretchen merasa seolah-olah sedang berada di dunia mimpi, tempat tidak ada yang terlihat seperti kenyataan. Sejenak ia mencemaskan pernikahannya, tentang masa depan yang tidak pasti. Walaupun Philippe tidak pernah bisa menjadi suaminya secara fisik, Gretchen cukup mencintainya untuk menerimanya apa adanya. Tetapi Philippe tidak akan pernah setuju. Kalau Philippe tidak bisa mengesahkan perkawinan mereka, Gretchen yakin Philippe akan memulangkannya ke Amerika tanpa ragu. Seandainya saja ada sesuatu yang bisa dilakukannya, suatu cara untuk membantunya... Hebat, pikir Gretchen gila. Seolah-olah Ia tahu cara merayu pria. “Istirahatlah sekarang,” kata Leila lembut, memindahkan sepatu bot itu ke ujung tenda. “Saya akan segera kembali membawa makanan dan air. Atau apakah My Lady lebih suka kopi?” “Oh, kopi saja,” kata Gretchen. “Baiklah.” Gretchen meregangkan tubuh dan mernejamkan mata. Ketika membuka mata kembali, Philippe sedang duduk di sampingnya, mata muram pria itu menatap wajah Gretchen. Gretchen tersenyum pada Philippe. “Halo.” “Kau tidur sepanjang makan malam,” kata Philippe “Apakah kau selelah itu?” “Kurasa begitu. Sudah lama aku tidak tidur nyenyak. Sejak Mama meninggal,” tambahnya, sebelum Philippe mengira suasana barulah yang membuat Gretchen bisa tidur. Philippe menatap mata Gretchen yang mengantuk “Kita akan menikah besok.” Gretchen tersenyum. “Ya. Apakah kau yakin?” Philippe meraih tangan Gretchen ke bibirnya dan menciumnya dengan lembut. “Aku yakin.” “Sudah jam berapa?” “Waktunya tidur,” gumam Philippe kering dan terkekeh melihat rona merah di wajah Gretchen. “Tidak, kekasihku, tidak malam ini. Tapi tahan pikiran itu,” tambahnya sambil tersenyum lebar. Gretchen balas tersenyum, bersama Philippe terasa begitu nyaman walaupun dalam keadaan menegangkan ini “Kakakku tidak akan pernah percaya ini.” Philippe mengangkat sebelah alis. “Kalau ada waktu aku pasti akan menerbangkannya ke sini untuk mengikuti upacara. Tapi itu harus menunggu. Brauer tidak jauh dan banyak yang harus kurencanakan.” Ia mencium tangan Gretchen lagi. “Tidurlah yang nyenyak.” “Kau juga.” Gretchen menunggu sampai Philippe berdiri sebelum bertanya, “Kau tidur di mana?” Philippe terkekeh. “Di sana,” ia menunjuk bilik di belakang bilik Gretchen di tenda besar itu. “Leila akan tidur di pintumu dan Hassan akan tidur di pintuku,” tambahnya“Jadi jangan berpikir macam-macam tentang merayu saat aku tidur.” Gretchen tertawa terbahak-bahak. “Aku tidak akan memimpikannya!” Ia memperhatikan Philippe pergi sebelum bangkit dan membuka bungkusannya yang kecil dan rapi. Ia meletakan pistol itu di bawah bantal, bersama pelurunya. Ia akan pura-pura tidur, tetapi tidak ada orang yang akan berjalan melewatinya ke arah Philippe. Gretchen akan melindungi Philippe dari orang jahat. Gretchen terjaga hampir sepanjang malam, yang memberinya penampilan kacau keesokan pagi dan menumpulkan ketajamannya. Ia sempat menyembunyikan senjatanya sebelum Leila datang membawakan sarapan, dan ia langsung dipersiapkan untuk pernikahan. Beberapa wanita suku memandikan dan membantunya berpakaian, menghiasi tangan dan kakinya dengan henna, dan menutupi wajahnya dengan kerudung. Ketika mereka selesai, dengan rambut pirang yang tersernbunyi di balik tutup kepala dan kerudung, Gretchen terlihat sangat misterius, dan cantik. Ia mencari-cari Philippe ketika berjalan melintasi lorong di antara tenda ke arah tempat upacara akan diselenggarakan. Ia tidak melihat Philippe, tidak sampai ia dihentikan di depan seorang pria tua bertubuh kecil berjubah putih. Lalu, ia mendongak dan mengenali mata hitam yang tertawa milik calon suaminya di balik jubah putih berkibar dengan kain kepala putih yang ditahan igal, tali ganda hitam yang menunjukkan statusnya Philippe mengenakan belati upacara melengkung dengan pegangan dari perak berhias permata dalam sarung gading berukir. Pisau itu dipasang di sekeliling pinggangnya yang ramping, dan untuk ukuran orang kota, ia terlihat sangat berbahaya. Sementara Gretchen berusaha mencerna penampilan baru ini, si pria tua mulai berbicara dalam dialek Arab, Philippe dengan lembut menuntun Gretchen sepanjang upacara, mengajarkan kata-kata yang tepat dan kapan mengucapkannya selama upacara berlangsung. Ketika upacara itu selesai, tangan mereka diikat sejenak, lalu Philippe mengeluarkan belati dan dengan gerakan ahli, memotong sekerat roti, menyerahkan sebagian kepada Gretchen sebelum menyarungkan pisaunya kembali. “Tradisi juga,” kata Philippe lembut. “Makanlah rotinya.” Gretchen menurut, menggigit sedikit dan berharap itu tidak akan mencekiknya. Ia menelannya dengan sedikit air. “Dan kita sudah,” kata Philippe dengan lirih, “menikah” “Sudah?” tanya Gretchen, memandang berkeliling menatap wajah-wajah yang berseri-seri. “Tapi kau tidak mengangkat kerudung atau menciumku.” “Hal itu dilakukan di tempat tertutup, Lady FIL-fil,” Philippe terkekeh. “Wajahmu kini hanya boleh dilihat olehku .” Gretchen tersenyum nakal. “Kita bisa menjadikannya dua arah. Kau juga memakai kerudung.” Philippe terkekeh. “Hanya ketika aku berkuda di tengah badai pasir.” Mata Gretchen menelusuri sosok Philippe dengan bangga. “Kau terlihat hebat dalam jubah, Apakah kau meminjamnya untuk upacara ini?” Philippe mengangkat sebelah alis. “Kita harus menjelaskan beberapa kesalahpahaman,” katanya, dan hendak berbicara ketika seorang penunggang kuda menyerbu perkemahan. Ia berkuda menghampiri kerumunan orang dan melompat turun dari pelana. Ia berlutut di hadapan Philippe dan mengucapkan serentetan kata dalam bahasa Arab. Philippe bertanya kepadanya dengan tajam dan mendengarkan jawaban pria itu sebelum ia mengangkat tangan dan para pria mulai bergerak ke arah kuda-kuda. “Masuklah ke tenda, dan tetap di sana,” kata Philippe kepada Gretchen dengan tegas, mendorongnya ke tenda. “Jangan keluar untuk alasan apa pun. Hassan!” tambahnya sambil melontarkan perintah kepada pengawalnya. Hassan membungkuk, mencengkeram lengan Gretchen, menuntunnya ke dalam tenda, dan memasukkannya ke sana. Leila menggeleng melihat amarah Gretchen ketika berusaha membebaskan diri dari cengkeraman si pengawal. “Mereka pergi berperang,” katanya pada wanita Amerika itu. “Anda tidak boleh berada dalam bahaya.” “Bahaya!” Gretchen mendengus. “Philippe-lah yang sedang berada dalam bahaya, dan aku sudah berjanji pada ayahnya bahwa aku akan menjaganya. Aku tidak akan membiarkannya pergi berperang tanpa bantuan! Katakan pada “Elvis” untuk keluar dari tendaku atau dia akan dipenggal karena melihatku berganti pakaian!” Terkejut, Leila menurut, dan begitu Hassan pergi, sebelum Leila bisa berkata apa-apa lagi, Gretchen bergegas mengenakan pakaian safarinya dengan pistol diselipkan ke tali pinggang dan peluru di sakunya. Memikirkan status Philippe dan kewajibannya sendiri, ia mengenakan aba di atas pakaian itu, meninggalkan topinya karena topi itu tidak akan cocok di balik kerudung. Ia berlari keluar ke belakang tenda, tempat di mana Hassan tidak ada. banyak kuda di perkemahan. Di kejauhan, para orang suku menimbulkan awan debu sementara mereka berkuda dengan marah ke kaki langit. Sambil meringis, Gretchen memandang berkeliling sampai melihat seekor kuda berdiri diam di dekat tenda, pelana terpasang. Ia berharap hukum di Qawi tidak menggantung pencuri kuda, tetapi ia benar-benar tidak punya pilihan. Ia tidak bisa membiarkan Philippe berperang sendirian. Ia akan berpura-pura menjadi salah satu orang-orang Philippe dan mengawasinya. Para ketua suku bisa melakukannya, tentu saja, tapi Philippe adalah syekh mereka mungkin terlalu terpesona padanya untuk mendekati dan melindunginya. Tanpa memikirkan risiko, Gretchen melompat ke atas pelana kuda, dan pergi ke arah awan debu yang ditimbulkan Philippe dan orang-orangnya. Di ambang pintu tenda, Leila sedang berteriak memanggil Hassan yang langsung mencari kuda. Bahkan dalam keadaan itu, menunggangi kuda Arab adalah pengalaman baru dalam hidup Gretchen. Ia sangat senang karena gerakan sempurna di bawah tubuhnya, karena kecepatan, keanggunan, dan stamina kuda itu. Ia berkuda seperti angin, rambutnya terlepas dari jepitan dan helai-helai rambutnya beterbangan ke mulut. Di kejauhan, ia bisa melihat pasukan dan ia menekankan tumitnya ke perut kuda, mendesak hewan itu maju. Ia hampir berhasil menyusul pasukan ketika kudanya tiba-tiba berhenti dan mendompak, membuat Gretchen terjungkal. Ia mendarat dengan buruk di tengah-tengah bukit pasir. Ia berdiri dengan agak terhuyung. Kerudungnya terjatuh dari rambutnya yang pirang, dan rambutnya bersinar seperti emas di bawah sinar matahari. Ketika ia berusaha bernapas dan menahan kudanya pada saat yang sama, serombongan penunggang kuda menghampiri bukit dari arah berlawanan. Gretchen berdiri diam, karena ia langsung tahu orang-orang ini bukan orang setempat. Mereka mengenakan celana khaki dan bersenjata lengkap. seorang dari mereka, yang berarnbut merah, tertawa terbahak-bahak dan mengatakan sesuatu dalam bahasa asing kepada pria lain, yang menangkap Gretchen dengan mudah seolah-olah Gretchen adalah anak sapi yang tersesat. Pria itu merangkul pinggang Gretchen dan menariknya dengan kasar ke pelana di depannya. Gretchen melawan, menendang, menggigit, tetapi tiba-tiba pukulan keras di kepala mengakhiri perlawanannya. Ia pingsan. Si penungang kuda berbalik dan bergabung kembali dengan rombongannya. “Kau sudah menemukannya! Putri tiriku!” Seorang pria dengan logat Jerman yang kental berkata dengan nada mengejek. “Biar kulihat wajahnya!” Pria yang menahan Gretchen menggerakkan kepala Gretchen sehingga pria itu bisa melihatnya dengan jelas. Kurt Brauer menyumpah kasar. “ini bukan Brianne!” katanya marah. “Kata mereka Brianne sedang dalam perjalanan ke sini!” “Ini wanita Amerika yang tinggal bersama Sabon,” terdengar sebuah jawaban. “Katanya Sabon ingin menikahinya.” Mata Brauer tajam. “Lihat tangannya. Tangannya sudah diberi henna. Dan dia datang dari arah perkemahan. Astaga, Gentleman,” tambahnya sambil tersenyurn dingin “aku yakin kita mendapatkan Mrs. Sabon!” 11 GRETCHEN tersadar di tenda yang lebih kecil daripada yang ditinggalkannya tadi, dengan sakit kepala parah dan rasa mual. Ia memegangi kepalanya yang sakit, lalu duduk tegak sambil memandangi ke sekeliling kamar. Seorang pria sedang duduk menulis di meja. Pria itu menoleh ke arah Gretchen ketika Gretchen bergerak. “Siapa kau?” tanya pria itu. “Gretchen Brannon,” sahut Gretchen serak, cukup pusing untuk lupa bahwa Ia sudah menikah selama beberapa saat. Kepalanya sangat sakit. “Siapa kau?” “Kurt Brauer. Kau mungkin pernah mendengar Philippe bercerita tentang aku,” tambahnya suram. Mata Gretchen melebar. “Kau!” Brauer tersenyum mengejek. “Ya. Aku. Dan sekarang berhasil memojokkan Philippe,” tambahnya. “Kurasa dia akan sangat bersedia membicarakan persyaratan denganku begitu tahu aku mendapatkanmu. Mata-mataku sudah sangat membantu dengan menyediakan infomasi tentang dirimu.” “Apakah kau benar-benar berpikir dia akan peduli kau berhasil menahan sekretarisnya?” tanya Gretchen, berusaha terdengar santai. “Ah, kau lebih dari itu,” kata Brauer masam. “Informanku berkata kau menikah dengan Monsieur Sabon beberapa jam lalu.” “Pernikahan praktis,” kata Gretchen angkuh. “Agar aku bisa bekerja untuknya di istana tanpa gosip.” Brauer mengangkat sebelah alis. “Philippe sudah menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak akan pernah menikah, dan aku tahu sebabnya,” tambahnya sinis. “Dia bukan lagi seorang pria.” Gretchen memaksa dirinya untuk bereaksi mendengar pernyataan datar itu. Brauer mengamati Gretchen dengan saksama, lalu tertawa dingin “Kau lihat, kau tidak menyangkalnya. ini kenyataan yang ingin kukatakan kepada semua warganya, jadi mereka tahu siapa pemimpin mereka sebenarnya. Di dunia seorang pria dinilai dari kemampuannya bersama wanita, kemampuannya memiliki anak. Kurasa takhtanya goyah begitu berita tersebar. Dan pamannya akan memberiku banyak uang. Dia yang akan mendapatkan warisannya kalau Philippe tersingkir.” Mata Gretchen menyipit. “Kenapa kau menceritakan semua ini kepadaku? Apakah kau tidak tahu hal pertama yang akan kulakukan adalah mengatakannya ke Philippe?” “Kau tidak akan mengatakan apa pun kepadanya lagi, Madame,” kata Brauer dengan nada berbahaya. “Aku bermaksud meninggalkanmu di padang pasir untuk elang-elang. Beberapa hari lagi aku akan mengatakan pada suamimu di mana dia bisa menemukanmu. Betapa aku ingin melihat wajahnya saat itu. Kata mereka dia menyukaimu.” Hati Gretchen melonjak. Aku tidak boleh panik, katanya pada diri sendiri. Aku tidak boleh panik. Kalau kehilangan keberanian, aku akan kehilangan nyawa. “Aku menyadari,” kata Brauer lagi, dengan saksama, “Kau tidak menyangkal kondisi suamimu.” “Kenapa repot-repot menyangkal kebohongan?” Tanya Gretchen, sangat tenang—setidaknya dari luar. “Pelayan pribadiku akan tertawa kalau dia mendengar kecurigaanmu” Ia tersenyum perlahan. “Dia lebih tahu, kau tahu.” Untuk pertama kalinya, Brauer terlihat ragu. Ia terdiam. “Seharusnya kau tidak boleh percaya pada gosip, Mr. Brauer,” kata Gretchen lirih. “Bisa berbahaya.” Brauer mengamati Gretchen sejenak, lalu mulai tersenyum. “Kalau begitu kurasa kau tidak keberatan diperiksa secara fisik? Kalau suamimu sudah mengesahkan hubungan kalian, dokter pasti akan tahu.” Tenanglah, tenanglah, kata Gretchen pada diri sendiri, dan memaksakan seulas senyum di bibir. “Tentu bisa. Bawa saja dia ke sini.” Sekarang keraguan itu berubah menjadi amarah. Brauer melotot ke arah Gretchen. “Tidak penting. Kenyataannya adalah kau tahanan di sini. Aku sudah kehilangan semua milikku. Aku sudah menghabiskan dua tahun tersiksa di penjara Rusia. Sekarang aku mendapatkan kesempatan membalas Philippe Sabon atas siksaan yang kuterima, dan itulah yang ingin kulakukan, walaupun nyawaku taruhannya. Dia harus membayarnya!” “Membayar untuk apa? Karena membiarkanmu dan gorila-gorila bayaranmu membunuh orang-orangnya dan menghancurkan setengah kota?” tanya Gretchen marah, “Pria macam apa yang membunuh orang-orang tak bersalah?” Brauer berjalan ke arah Gretchen, mengangkat tangan dan menampar Gretchen begitu keras sampai Gretchen terjatuh. Tetapi Gretchen berdiri lagi dan melayangkan tinju ke arah Brauer, memukulnya cukup kuat sampai membuat pria itu terhuyung. Tetapi Brauer balas memukul lagi, dan kali ini dengan kepalan tangannya. Gretchen terjatuh sambil berteriak, mengusap rahang dan buku jarinya yang sakit. Sangat marah, tangan Gretchen menyelinap ke balik aba dan meraba Colt .45 di pinggangnya—tetapi menyadari bahwa pistol itu sudah hilang. “Inikah yang kaucari?” tanya Brauer sambil memungut pistol itu dari meja tulisnya. Kotak peluru ada di samping pistol itu. Ia mengarahkan pistol itu kepada Gretchen dan mengokangnya. “Mungkin aku akan menyelamatkanmu dari siksaan di padang pasir dengan menembakmu saja.” Saat itulah Gretchen merasa paling dekat dengan kematian. Tetapi ia tidak takut. Ia mengangkat dagu dan menatap Brauer, rahangnya berdenyun. “Lakukan saja,” tantangnya dengan mata hijau dingin. “Butuh pria pemberani untuk memukul wanita, bukan? Kurasa butuh pria yang lebih pemberani lagi untuk membunuh wanita!” Brauer menyumpah marah. Ia meletakkan pistol dan berteriak memanggil seseorang untuk masuk ke tenda. Ia dan pria itu, pria berambut merah yang menarik Gretchen ke atas pelana, berbicara dengan cepat dalam bahasa yang sepertinya bahasa Jerman, dan menyerahkan sebuah pesan kepada pria itu. Pria berambut merah itu mengangguk. menatap Gretchen dengan aneh, dan keluar lagi. Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi mesin dinyalakan. “Helikopterku,” kata Brauer pada Gretchen. “Aku mengirim anak buahku ke Palais Tatluk dengan surat meminta tebusan.” “Ayah Philippe akan memanggang anak buahmu di api,” kata Gretchen galak. “Tidak mungkin. Syekh tua itu tidak kuat melawan. Dia akan memberitahu Philippe isi suratku—bahwa aku menahanmu dan bersedia menawar untuk dirimu. Lalu Philippe akan masuk perangkapku dan akan diurus.” “Sepertinya kau sangat yakin pada diri sendiri,” kata Gretchen kasar. “Memang. Philippe orang modern, bukan pejuang. Aku sama sekali tidak butuh banyak waktu untuk mengalahkannya, tapi aku ingin dia menderita sebelum menemukanmu.” Matanya menyipit karena kesenangan jahat. “Mungkin aku akan membiarkan Eric bersenang-senang denganmu, menggunakan pisau, dan membiarkannya mengulitimu.” Gretchen bahkan tidak mengernyit. Ia hanya menatap Briuer. “Dan kalau kakakku tahu,” katanya lirih, “tidak akan ada tempat di bumi ini di mana kau dan penjahat-penjahatmu bisa bersembunyi. Dia pasti bisa menemukanmu.” “Kakakmu,” dengus Brauer. “Dan apa pekerjaan kakakmu ini?” “Mantan Texas Ranger,” kata Gretchen, melihat ekspresi Brauer berubah. “Seseorang mungkin pernah mengatakan bahwa begitu seorang ranger mulai melacak jejakmu dia akan mengikutimu sampai ke neraka untuk mendapatkanmu. Itulah kakakku.” “Kau sudah mati saat itu,” Brauer menegaskan. “Dan kau akan segera menyusulku,” Gretchen menegaskan. “Kau wanita pemberani,” kata Brauer. “Kudengar putri tiriku akan dibawa ke sini. Dialah yang ingin kuculik, Aku tidak tahu bagaimana perasaan Philippe padamu tapi aku tahu Philippe rela mati demi Brianne. Dialah satu-satunya wanita yang pernah Philippe cintai.” Lagi-lagi Brianne! Gretchen mengangkat dagu. “Mrs.Hutton bahkan tidak ada di negara ini. Sepertinya jaringan mata-matamu perlu diperbarui. Bukankah bekerja untuk paman sang syekh sudah cukup dekat bagi mata-matamu?” Mata Brauer melebar. “Apa yang kau ketahui tentang itu?” “Aku tahu banyak tentang jaringan mata-matamu,” sahut Gretchen hati-hati. “Aku punya teman-teman yang menjadi tentara bayaran. Aku tahu kau punya mata-mata di dalam istana.” Brauer terkekeh. “Aku ragu kau tahu tentang keterlibatan si kepala keamanan,” katanya. “Atau asisten koki. Tapi, pengetahuan itu tidak akan berguna bagimu sekarang, Kau hanya punya beberapa jam untuk hidup.” “Nikmatilah saat-saat terakhirmu sendiri,” balas Gretchen. Brauer melotot kepada Gretchen. “Jangan keluar dari tenda atau aku akan mengikat dan menyumpal mulutmu. Dalam cuaca panas seperti ini, dalam pakaian itu—” Brauer menunjuk aba yang tebal “—kau mungkin akan mati kepanasan.” “Kau pasti berharap begitu!” balas Gretchen, marah karena keadaannya yang tidak berdaya. Brauer mengangkat bahu, membuka tutup tenda, dan keluar. Gretchen berdiri dan memandang berkeliling, mencari apa pun yang bisa digunakan sebagai senjata. Tidak ada pistol atau pisau di dekat sana. Ia mendengar Brauer berbicara kepada seseorang di luar tenda. Di atas meja ada alat seperti yang Philippe gunakan, ponsel GPS. Ia meraihnya, menekan nomor Philippe, yang beberapa hari lalu ia hafalkan atas suruhan Philippe, dan menunggu seseorang menjawab. Seseorang memang menjawab, tetapi dalam bahasa Arab. “Ini Gretchen. Aku diculik Brauer!” Gretchen cepat-cepat menutup telepon, menghapus nomornya, dan meletakkan alat itu kembali ke tempat dan posisi awalnya, pergi berbaring di kasur seolah-olah terlalu sakit untuk bangun. Gretchen memejamkan mata dan berdoa supaya Philippe atau orang-orangnya mendengar ucapan Gretchen. Brauer masuk kembali beberapa detik kemudian, melotot ke arah Gretchen, mengambil ponsel itu dan keluar lagi. “Dari mana asal telepon itu?” Philippe sedang memarahi orang suku yang mengangkat telepon ketika telepon itu berdering. “Lupakan saja!” Ia menekan tombol-tombol di alat canggih itu, mendapatkan nomor si penelepon, mencari lokasi asal telepon itu. Ia memberi isyarat kepada orang-orangnya dan mengeluarkan perintah. Ia baru saja mendapat telepon dari istana, dari kepala keamanannya, yang memberitahunya bahwa Brauer menahan Gretchen dan ingin melakukan pertukaran Philippe menyuruh kepala keamanannya untuk tidak melakukan apa-apa, bahwa ia akan membuat keputusan dan memberitahu pria itu. Ia tidak yakin ia pantas membayarkan tebusan demi seorang sekretaris, katanya kepada si kepala keamanan dengan sikap acuh tak acuh yang disengaja walaupun wanita itu istrinya. Itu hanya kesepakatan bisnis, tambahnya tajam, bukan perjodohan atas dasar cinta jadi kurang-lebih Gretchen bisa dikorbankan. Pria itu terdengar kaget dan bertanya apakah pemerintah Amerika bisa ikut campur, karena wanita itu adalah warga negara Amerika. Bagaimanapun juga, ada pertikaian tentang perbatasan. Philippe mengangguk sendiri. Jadi seperti itu. Brauer akan senang memulai perang. Itu akan membuat Brauer kembali dalam bisnis senjata dengan klien seperti negara tetangga, sekaligus melibatkan Philippe dalam perang ganas tepat ketika negaranya mulai kaya karena minyak. Itu plot yang sama yang membuat Brauer tersingkir sejak awal. Tetapi sekarang Brauer tidak akan kehilangan apa-apa, dan dia bertekad melakukannya sampai akhir, apa pun risikonya. Brauer bukan, pikir Philippe, orang yang memiliki ide-ide baru, dan itu akan menjadi penyebab kejatuhannya. Philippe memberitahu kepala keamanannya bahwa ia harus membahas masalah ini dengan para menteri di kabinetnya dulu. Ia sedang dalam perjalanan kembali ke istana, tambahnya, dan mereka bisa membahasnya begitu tiba. Ia menutup telepon dan melempar ponsel itu kepada dua anak buahnya, menyuruh mereka mengambilnya dan kembali ke istana. Kalau ada orang yang melacak alat itu, mereka akan menyadari alat itu sedang dalam perjalanan ke kota, bukan ke perbatasan. Ia meraih ponsel lain dari kantong kursi Land Rover sebelum mobil itu pergi dan memikirkan langkah selanjutnya. Kepala keamanan itu dipekerjakan paman Philippe dan dengan sambil lalu disetujui oleh sang syekh tua. Philippe tidak percaya pada kepala keamanan yang baru itu, dan sudah menyuruh orang mengawasinya selama beberapa minggu. Hal itu terbukti berguna, karena si pelayan yang kabur sering melakukan percakapan rahasia dengan si kepala keamanan. Pria itu mungkin penghubung langsung dengan Brauer, jadi semua yang dikatakannya kepada pria itu akan sampai ke telinga Brauer. Bagus. Brauer akan berpikir Philippe sedang dalam perjalanan kembali ke istana untuk memikirkan solusi diplomatis tentang penculikan itu. Brauer akan berpikir ia tidak akan melihat Philippe di wilayahnya sendiri. Belum. Dia akan mendapat kejutan. Sementara itu, Gretchen sudah mengambil risiko besar dengan memberikan koordinat itu kepadanya. Philippe tidak boleh membuang-buang waktu. Kurt sangat ingin membalas dendam, dan dengan cepatnya rumor beredar dipadang pasir, dia pasti sudah tahu Gretchen adalah istri Philippe. Brauer akan membunuh Gretchen. Brauer akan membunuh Gretchen dengan cara paling mengerikan yang bisa dipikirkannya, lalu akan menelepon Philippe dan memberitahu Philippe tempat ia bisa menemukan Gretchen. Itulah yang akan dilakukan Brauer Philippe mengerang keras, memikirkan wanita manis dan lembut itu dalam cengkeraman monster. Ia tidak boleh kehilangan Gretchen sekarang. Ia tidak bisa! Ia memberi isyarat kepada Hassan, yang malu, memberitahu pria itu dengan nada tajam apa yang dipikirkannya tentang efisiensi Hassan sebagai pengawal. Pria itu meminta maaf dengan amat sangat dan menawarkan diri melakukan apa pun untuk menebusnya. “Berdoalah semoga dia masih hidup,” kata Philippe pada Hassan, matanya yang hitam berkilat-kilat marah. “Kalau dia tidak hidup, berdoalah untuk dirimu sendiri!” Ia berbalik dengan marah, masih dalam jubahnya yang berkibár, dan pergi bersama orang-orangnya. Ia memberi perintah pada ketua suku untuk pergi mengumpulkan penduduk mereka dan membawa setiap pria yang bisa berperang. Ia menelepon kepala staf pasukan udaranya dan memberikan koordinat sasarannya, menyuruh mereka berhati-hati, tidak mulai menembak sebelum ia memberikan perintah. Butuh waktu menyusun serangan, dan setiap detik harus diperhitungkan. Ia marah karena Gretchen membiarkan dirinya ditangkap. Hassan bersumpah ia tidak melihat Gretchen meninggalkan tenda. Tetapi Leila melihatnya. Pelayan itu melemparkan diri ke kaki Philippe sambil menangis dan menjelaskan apa yang terjadi. ia mencoba menghentikan wanita muda yang keras kepala itu, tetapi tidak bisa. “Kaubilang dia membawa pistol?” tanya Philippe kaget. “Ya, Sidi,” sahut Leila. “Dan peluru. Dia terjaga sepanjang malam, memastikan tidak ada orang yang melukai Anda. Kurasa syekh tualah yang memberikan pistol itu kepadanya,” tambah Leila. “Dia menyembunyikannya di balik bungkusan kain.” Philippe langsung tahu apa maksud Leila, karena ia melihat bungkusan kain itu ketika Gretchen keluar dari istana. Giginya mengertak. “Kalau begitu kenapa dia mengikutiku?” “Katanya dia harus melindungi Anda,” kata Leila. Philippe tertawa tajam. “Melindungiku!” Ia melempar kedua tangannya ke udara dan berbalik. “Melawan pasukan tentara bayaran profesional yang dipimpin pria gila yang ingin membalas dendam dengan senjata canggih? Dan Gretchen bermaksud melindungiku dengan Colt 45?” Ia masih menggerutu ketika melompat ke atas pelana kuda Arab-nya yang besar dan cepat, lalu memberi isyarat agar orang-orangnya mengikuti. Leila mengamati mereka, matanya cemas, hatinya berat. Kalau wanita itu tidak ditemukan dalam keadaan hidup, ia takut semua orang akan disalahkan—termasuk dirinya sendiri. Gretchen menunggu, menghitung waktu untuk mendapatkan satu kesempatan agar bisa menyelamatkan diri. Kakaknya, Marc, selalu berkata padanya untuk tidak mencoba melawan pria bersenjata. Tetapi Gretchen tahu bela diri. Kalau bisa berada cukup dekat dengan Brauer, ia mungkin bisa melarikan diri. Ukuran tubuhnya kalah jauh dibandingkan Brauer, tetapi ia mungkin tidak punya “kesempatan lain lagi. Begitu orang-orang Brauer kembali, ia tidak mungkin bisa lolos. Hari masih siang ketika Kurt kembali ke dalam tenda. diikuti tigà pria bersenjata lengkap. “Suamimu keras kepala,” kata Brauer kepada Gretchen. “Tapi itu tidak ada gunanya. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana dia berpikir bisa menyerangku dengan segelintir orang suku yang menunggang kuda. Mungkin dia berpikir kita masih hidup pada abad lalu.” Ia mengatakan sesuatu kepada dua pria yang mendampinginya. Mereka pergi dan suara mesin mobil terdengar menyala. Pria lain si rambut merah, berdiri kaku di samping meja tulis Brauer. “Kau mau ke mana?” tanya Gretchen ketika Brauer mencari-cari sesuatu di meja tulisnya. Alis Brauer terangkat. “Kaupikir aku akan mengatakannya kepadamu? Kau benar-benar optimis, Madame.” “Kalau aku memang akan mati, Siapa yang bisa kuberitahu?” “Eric akan membawamu ke padang pasir sementara dan orang-orangku menyiapkan kejutan bagus untuk suamimu,” kata Brauer dingin. Ia berbicara kepada pria yang satu lagi dalam bahasa Jerman. “Menyenangkan sekali bertemu dengan Anda, Madame,” katanya. “Sayang sekali kita tidak punya banyak waktu untuk saling mengenal.” “Bagiku tidak masalah,” gerutu Gretchen. Brauer hanya tertawa. Ia mengumpulkan beberapa lembar kertas dari meja dan memasukkan kertas-kertas itu ke saku rompi safarinya. Ia mengatakan sesuatu kepada Eric yang menatap Gretchen dengan cara yang membuat kulit Gretchen menegang. Brauer keluar, dan Gretchen menatap rekan barunya. Pria itu kurus dan penuh bekas luka, dengan rambut merah yang menipis dan bintik-bintik di wajah dan mata biru yang tajam. Ia memegang pisau di satu tangan. Gretchen memaksa dirinya bernapas dengan normal. menunggu dan mengharapkan kesempatan untuk kabur. Pria itu jelas lebih kuat daripada Gretchen, dan ia bersenjata. Gretchen mencoba mengingat semua yang pernah Marc ajarkan kepadanya tentang bela diri. Biarkan musuh mendatangimu, pikir Gretchen, dengan begitu kau akan diuntungkan. Gunakan kekuatannya untuk melawannya. jangan pernah mencoba melawan kalau kau bisa menghindar. Di luar sana terdengar suara kendaraan yang melaju pergi. Eric memutar pisau di tangannya. Matanya menyipit dan ia tersenyum dingin. “Kurt menyuruhku meninggalkanmu dalam kondisi yang tidak akan pernah dilupakan suamimu. Tapi dia tidak berkata aku tidak boleh menikmatimu terlebih dulu,” tambahnya dengan nada yang membuat perut Gretchen mual. Gretchen duduk mematung di atas bantal, tangan terlipat di pangkuan. Mulutnya kering kerontang. Telapak tangannya berkeringat. Debar jantungnya membuatnya terguncang. Berpikirlah, katanya pada diri sendiri, pikirkan apa yang akan Philippe lakukan, apa yang akan Marc lakukan. Pria itu, tertipu karena kepatuhan dan sikap diam gretchen, mengangkat bahu dan melempar pisaunya ke meja tulis. Ia mendekati Gretchen dengan langkah pelan dan teratur, matanya yang panas sudah mengharapkan kesenangan. Gretchen menunggu, gemetar, sampai pria itu membungkuk untuk mencengkeram lengannya, kaki Gretchen yang terbungkus sepatu bot terangkat dan ia menedang pria itu ke dinding tenda. Tanpa ragu, Gretchen mengambil pisau dan berlari keluar tenda ke arah pegunungan. Ia bisa mendengar pria itu di belakangnya, menyumpah dan berteriak marah menyuruh Gretchen berhenti. Aba hitam yang berat memperlambat langkah Gretchen, tetapi melepaskannya akan membuat Gretchen kehilangan detik yang berharga. Ia terus berlari, jantungnya seolah-olah akan meledak. Kalau ia bisa menghampiri pegunungan itu, mungkin... Tetapi di padang pasir jarak sangat menipu. Pegunungan itu semakin menjauh sementara Gretchen berlari. Rasa panas menyesakkan paru-parunya. Ia hampir tidak bernapas. Angin bertiup dan membuat pasir memasuki mata, lubang hidung, mulutnya. Ia merasa tertutup pasir, dicambuk pasir. Eric semakin dekat. Gretchen bisa mendengar napasnya yang kasar. Tidak lama lagi Gretchen akan pingsan, dan Eric akan menangkapnya. Oh, Philippe panggil Gretchen dalam hati, menderita, kalau saja menuruti kata-katamu dan tetap tinggal di perkemahan. Gretchen tersandung dan pergelangan kakinya terkilir. Air mata frustrasi dan marah bergulir dari matanya. Ia terjatuh, memegang pisau itu di dada, menunggu. Eric akan menangkapnya, tetapi ia akan menusuk pria itu terlebih dulu! Eric tertawa. Ia memperlambat langkah dan menghampiri Gretchen dengan senyum mengejek dan penuh kemenangan. Gretchen sudah habis. Eric bisa melakukan. Apa pun yang diinginkannya, sekarang, dan ia mengharapkan berbagai jenis kesenangan jahat ketika merasakan Sesuatu mengenai dadanya... Ekspresi di wajah Eric membuat Gretchen bingung. Pria itu berhenti dan matanya terlihat kaget. Pada saat yang sama Gretchen mendengar letusan, seperti petasan. Darah mengucur dari bibir tentara itu dan ia tiba-tiba jatuh ke tanah. Gretchen melihat awan debu, dan berderap maju dan disana adalah seorang pria jangkung di atas kuda jantan Arab berwarna krem, meneriakkan perintah. Ia memegang senapan sementara berteriak, membidik dan menembak seorang pria bersenjata yang berlari ke arah mereka. Perkemahan itu langsung gempar. Para tentara bayaran berlari keluar dari tenda-tenda sambil menembak. Rombongan orang-orang Arab itu berkuda seperti dewa di atas kuda-kuda mereka yang indah, berdiri di sanggurdi untuk menembak sambil berkuda. Gretchen tidak pernah melihat sesuatu seperti itu. Para tentara bayaran, walaupun bersenapan lengkap, segera berputar dan berlari ke arah kendaran-kendaraan mereka. Gretchen berhasil berdiri, senang melihat cara pria-pria itu berkuda, akibat amarah primitif para orang-orang itu melawan gerilya modern. Orang Arab jangkung di atas kuda jantan itu membuatnya terpesona. Salah seorang tentara bayaran mengejar orang Arab itu. Si orang Arab melompat turun dari kuda untuk menghampiri si tentara, menahan dan melemparnya dengan anggun. Si tentara mengeluarkan pisau, yang langsung ditendang dari tangannya, sementara tinju keras langsung menjatuhkannya. Si orang Arab memungut senjata otomatis pria itu dan melompat kembali ke atas pelana, seanggun koboi Texas. Gretchen tidak bisa mengalihkan tatapannya dari pria itu. Pria itu membuat napasnya tersekat. Pria itu memutar kudanya, masih memegang senjata dengan satu tangan. Ia berderap ke arah Gretchen, bahkan tidak memperlambat laju kuda ketika Gretchen berdiri. Pria itu membungkuk dan lengannya yang panjang merangkul pinggang Gretchen, mengangkat Gretchen ke depannya. Pria itu bahkan tidak memperlambat langkah lalu memutar kuda itu kembali ke arah orang-orangnya. Wajahnya tertutup kain putih, di kepalanya terdapat tutup kepala tradisional dengan tali hitam yang menahannya. Ia terlihat seperti pahlawan impian Gretchen. Seorang syekh di atas kuda jantan, menyelamatkan tokoh utama wanita dalam bahaya di padang pasir. Pria itu menunduk menatap Gretchen, dan mata hitam yang menatap mata Gretchen berkilat-kilat marah. “Dasar maniak kecil!” terdengar suara dalam yang tidak asing dari balik kain putih itu. “Seharusnya aku melemparmu kepada anjing Jerman itu dan membiarkannya menunjukkan akibat kalau tidak mematuhi perintah!” Gretchen mengira ia akan pingsan. “Philippe?” tannyanya, terperanjat. Philippe menarik kain penutup wajahnya dan menunjukkan kemarahannya. “Wanita bodoh yang gegabah.” bentaknya pada Gretchen. “Seolah-olah aku membutuhkan perlindunganmu sejak awal... Achmed!” serunya, dan menambahkan perintah kaku dalam bahasa Arab. Ia mengibaskan tangan, memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk keluar dari perkemahan dan kembali ke tempat asal. “Kenapa kita begitu terburu-buru?” tanya Gretchen. dengan kikuk menyerahkan pisau kepada Philippe. yang langsung menyelipkannya di tali pinggang di samping pisau upacaranya. “Aku menghubungi pasukan udara untuk menyerang koordinat ini,” kata Philippe dengan gigi mengertak. “Di mana Brauer?” “Dia meninggalkan perkemahan sebelum kau datang,” kata Gretchen, masih terpesona pada pejuang kasar yang bersembunyi di balik setelan mahal dan sikap kota modern itu. “Aku tidak pernah melihat orang yang menunggang kuda sepertimu.” “Aku belajar berperang dan berkuda sebelum belajar bahasa Inggris.” Philippe memelototi Gretchen. “Leila berkata kau ingin melindungiku. Baik sekali kau,” tambahnya dingin. “Pendapatmu tentang aku sangat merendahkan.” “Aku tidak tahu!” kata Gretchen dengan wajah merona. “Kau selalu mengenakan setelan dan kukira kau orang kota tanpa keahlian untuk bertahan hidup. Ayahmu bilang kau butuh perlindungan, apa yang harus kupikirkan? Aku tidak yakin kau akan membiarkan pengawal-pengawalmu berada di dekatmu untuk melakukan pekerjaan mereka, dan aku tahu aku bisa melakukannya. Aku penembak jitu.” “Aku memiliki setengah resimen pejuang veteran berpengalaman bersamaku, apakah kau tidak menyadarinya?” desak Philippe marah. “Malah aku yang melatih mereka sendiri! Aku adalah salah satu kepala negara yang pernah mengikuti pelatihan SAS, dan lulus dalam satu kali pelatihan! Aku menyatukan suku-suku yang berperang di Qawi ketika mereka kabur di bawah serangan Brauer dan menyusun serangan balasan di sini. Dan kau mengira aku butuh perlindungan?” “Baiklah, aku melakukan tindakan yang bodoh! kau tidak perlu terus mengungkitnya!” Philippe menarik napas marah sementara memaksa kudanya melaju lebih cepat sambil mengomel, “Kalau aku terlambat lima detik saja, kotoran kuda berambut merah itu pasti sudah memerkosamu!” “Aku hampir berhasil lolos,” kata Gretchen dengan harga diri yang terluka, mencoba berpegangan dan tetap duduk tegak karena cepatnya langkah hewan kuat di bawah mereka. “Dan aku melemparnya ke dinding tenda! Itulah caraku keluar.” Philippe tidak bergerak. Wajahnya lebih keras daripada batu. Ia nyaris gemetar karena amarah, ketakutan, dan tanpa disangka-sangka, gairah liar. Tubuhnya menggelenyar senang karena berada di dekat Gretchen. Ia merasa lebih kuat daripada yang pernah dirasakannya selama bertahun-tahun. Mungkin ini karena gabungan bahaya dan kelegaaan. Apa pun itu, ia menginginkan Gretchen. Lengannya menegang di tubuh Gretchen. “Bagaimana mereka bisa menangkapmu?” “Aku sedang mencoba menyusulmu, lalu kudaku mendompak dan membuatku terlempar, hanya Tuhan yang tahu kenapa,” gerutunya. “Mereka sudah menangkapku sebelum aku menyadarinya. Brauer berencana menyuruh temannya yang memegang pisau itu mengulitiku. Mereka akan meninggalkanku di padang pasir selama beberapa hari, lalu memberitahumu tempat kau bisa menemukanku. Mereka mengira,” tambahnya blak-blakan, “aku Brianne Hutton.” Napas Philippe tersekat ketika memikirkan apa yang bisa saja terjadi pada Gretchen. Ia merasa ngeri. Lalu ia menyadari apa yang Gretchen katakan. Lengannya menegang tanpa sadar. “Jadi dia tahu Brianne akan datang ke sini.” “Ya, dia tahu, dan tahu lebih banyak hal selain itu. Kepala keamananmu adalah salah seorang mata-matanya, dan juga asisten koki.” Gretchen meringis melihat ekspresi Piilippe yang kaget. “Dia mengira aku akan mati sebelum bisa memberitahu siapa-siapa. Pamanmu juga membantunya.” “Pamanku akan menyesal,” kata Philippe, dan wajahnya terlihat berbahaya. Ia menunduk menatap Gretchen dengan marah. “Dan kau juga akan menyesal, sangat menyesal, karena membuatku tersiksa hari ini. Kukira dia akan membunuhmu sebelum aku tiba di perkemahannya!” “Dia memang memikirkan untuk melakukan itu,”. gumam Gretchen, dan menyentuh rahangnya dengan kikuk. “Dia memukulmu?” Suara Philippe nyaris tercekik karena marah ketika melihat memar di rahang Gretchen. “Dia memukulmu!” “Ya, well, aku balas memukulnya,” kata Gretchen ketus. “Marc mengajariku cara meninju. Aku berjanji padamu dia terlihat lebih buruk daripada aku. Dan kalau aku bertemu dengannya lagi, aku akan menghajarnya habis-habisan!” “Gretchen.” Philippe menarik Gretchen ke arahnya, membenamkan wajahnya di leher Gretchen tempat helai-helai rambur pirang yang berantakan dan lembap terlepas dari sanggul wanita itu. “Kau wanita bodoh yang gila, nekat, dan pemberani,” erang Philippe. Gretchen merangkul leher Philippe dan memeluknya erat-erat. Ia bisa merasakan pengaruh dirinya pada Philippe dan ia tertawa, dengan nada rendah, di telinga Philippe. “Mr. Brauer mengira kau tidak bisa menghadapi wanita,” bisiknya. “Tapi dia tidak berpikir begitu lagi.” Gretchen merasa debar jantung Philippe berhenti berdebar lagi. “Apa yang kau katakan padanya?” “Bahwa pelayanku akan menertawakan asumsinya. memang benar. Leila berpikir kita sudah...well, melakukannya.” “Melakukannya?” tanya Philippe penasaran. Gretchen tersenyum, dan gemetar pelan sebagai reaksinya. “Kau tahu.” Philippe menunduk dan membelalak ke dalam mata Gretchen. “ini adalah waktu yang buruk untuk... melakukannya,” katanya dengan gigi mengertak. “Kenapa?” “Karena aku marah padamu!” kata Philippe blak-blakan. Matanya menatap tubuh Gretchen dengan tatapan sensual yang membuat jantung Gretchen tersekat di tenggorokannya. “Aku tidak bisa bersikap lembut, walaupun mampu melakukannya.” Bibir Gretchen terbuka. “Aku tidak keberatan,” bisiknya. “Aku tidak keberatan dengan cara apa pun kau bercinta denganku.” Tubuh Philippe yang kuat bergetar. Ia menunduk, tidak peduli kalau seluruh planet melihat mereka, dan menangkap bibir Gretchen dengan bibirnya sendiri. Gretchen bergelantungan pada Philippe, membuka mulutnya. menyambut pria itu, menginginkannya. Debar jantungnya mengguncang tubuh karena entakannya yang gila. Semangat Philippe berubah agak kasar, lengannya memeluk Gretchen dengan erat, mulutnya terasa agak menyakitkan. Gretchen nyaris memprotes, tetapi ia menahan diri. Kalau Philippe tidak bisa menguasai Gretchen dalam keadaan tenang, mungkin amarah yang menguasai dirinya bisa memberikan keajaiban. 12 AKHIRNYA Philippe mendongak, dan matanya yang hitam menyala-nyala ketika menatap mata Gretchen. Ia mendorong wajah Gretchen yang merah ke lehernya dan menahannya di sana sementara memaksa kudanya berlari melintasi padang pasir mendahului orang-orangnya. Debar jantung mengguncang dirinya. Ia tidak pernah merasakan gairah sebesar ini seumur hidupnya. Begitu mereka tiba di perkemahan, ia menurunkan Gretchen ke tanah dan melompat turun ke samping Gretchen. Ia meneriakkan perintah kepada orang-orangnya, lalu kepada Leila yang langsung melesat keluar dari tenda dan masuk ke tenda lain. Tanpa memperlambat langkah, Philippe menggendong Gretchen dan berjalan ke kamarnya sendiri, menurunkan tutup tenda sebelum menyentakkan selimut dan membaringkan Gretchen di atas seprai katin putih. Ia melepaskan kain penutup kepala, jubah, dan sepatu botnya, lalu melakukan hal yang sama pada Gretchen sebelum membaringkan Gretchen kembali ke permukaan ranjang yang lembut. Ia tidak pernah merasakan harapan sebesar itu terhadap diri sendiri, amarah dan semuanya. Ia harus mencoba, harus! Gretchen kini hampir gila karena tegang. Ia mengulurkan tangan ke arah Philippe ketika pria itu berbalik ke arahnya, ingin berbicara, tetapi takut merusak suasana. Begitu banyak hal bergantung pada apa yang terjadi selanjutnya. Philippe mulai mencium Gretchen sebelum wanita itu sempat berbicara. Semangat Philippe sangat mendesak, sangat intens, nyaris brutal. Ia tidak memikirkan kemampuan atau kekurangannya. Gretchen hangat dan liat di tubuhnya yang kuat. Ia bisa merasakan panas tubuh Gretchen, menghirup aroma lavender yang menempel di kulit Gretchen. Ia merasakan tangan Gretchen di punggungnya, penyerahan wanita itu. Gretchen sama sekali tidak takut kalau ciuman-ciumannya menunjukkan bagaimana perasaannya yang sebenarnya. Tangan Philippe menyentakkan blus Gretchen dari roknya dan menyelinap ke bra tipis berenda yang menutupi payudaranya yang kencang. Philippe menyingkirkan kain itu dan membelai Gretchen, menggerakkan tangannya lagi untuk melepaskan beberapa kancing yang menahan kemeja khaki Gretchen. Tubuh Gretchen melengkung ketika Philippe menurunkan mulutnya ke salah satu payudara kecil yang kencang itu dan mulai mengisapnya. Sementara itu tangannya sibuk dengan rok dan semua yang ada di baliknya. Dalam beberapa detik, Philippe sudah menelanjanginya, dan ia menikmati Gretchen seolah-olah Gretchen adalah kekasih pertamanya. Philippe terbakar gairah. Ia melepaskan thobe dan celana panjang sutranya, chalwar, yang dikenakannya di balik celana itu, dan melepaskan celana pendek sutranya sementara mulutnya mengulum payudara Gretchen. Philippe menyentuh Gretchen, dan terkejut menyadari Gretchen sudah siap untuknya. Gretchen mengatakan sesuatu, tetapi Philippe tidak bisa mendengarnya. Mulutnya bergerak di tubuh Gretchen, menggoda bibir Gretchen sampai terbuka sehingga lidahnya bisa memasuki kehangatan dan kegelapan lembut di dalamnya. Gretchen mengerang serak. Kukunya mencengkeram tengkuk Philippe, membenamkan kukunya di sana, tubuhnya menggeliat menggoda. Sebelah tangan yang ramping mencengkeram paha Gretchen. Philippe tidak berhenti untuk memikirkan kemampuannya. Ia tidak membiarkan dirinya memikirkan apa pun selain kelembutan tubuh Gretchen yang pasrah dan semangat mulut Gretchen di bawah mulutnya. Philippe menahan Gretchen dan memasuki tubuh wanita itu dengan satu gerakan yang halus dan kuat. Pekikan kecil Gretchen yang tak berdaya karena sakit dibungkam tekanan mulut Philippe yang keras dan lapar. Kemampuan ini tidak mengejutkan. Ia bergairah, seperti yang sudah dialaminya bersama Gretchen. Ketidakmampuannya untuk mencapai puncaklah yang mengganggunya. Tetapi ia bisa memberi Gretchen kenikmatan, walaupun tubuhnya sendiri tidak mendapatkannya. Sementara memikirkan hal itu, tangan Gretchen membelai punggung Philippe dengan lembut, lalu ke pahanya. Mulut Gretchen terbuka dan ia mengerang lagi, melengkungkan tubuhnya ke arah Philippe, memintanya bergerak lebih dalam ke tempat rahasia itu. “Katakan padaku apa yang harus kulakukan”. bisik Gretchen liar. “Aku akan melakukan apa saja, apa saja untuk memberimu kenikmatan!” Napas Philippe tersekat. Ia mendongak dan menatap ke dalam mata Gretchen. Ia bergerak perlahan dan lengan Gretchen memeluknya erat. “Ajari aku,” Gretchen mengerang, mengangkat dirinya untuk menempelkan bibirnya ke bibir Philippe. “Aku tidak menginginkan kenikmatan kecuali aku juga bisa memberimu kenikmatan!” Getaran menjalari tubuh Philippe karena permintaan lembut, serak, dan tidak egois itu. Tubuh Gretchen yang masih muda tidak terbiasa dengan tuntutan-tuntutan Philippe, dan ia menyesal telah menyakiti Gretchen. Ia ingin menghargai Gretchen. Bibirnya menyentuh seluruh wajah Gretchen, turun ke bibir Gretchen, menyapu, membukanya. Tubuh Philippe juga menggoda, bergerak bersama tubuh Gretchen, sengaja memperpanjang kontak, lalu menahan diri. Gretchen menahan napas. Matanya menatap lurus ke mata Philippe dan ia terkesiap pelan seiring setiap gerakan pelan tubuh Philippe yang kuat. Philippe menunduk dan membisikkan sesuatu dengan sangat lirih ke telinga Gretchen. Gretchen mengeluarkan suara kecil malu-malu, tetapi ia mematuhi Philippe. Philippe mengerang tajam. “Apakah itu... yang kauinginkan?” bisik Gretchen malu, dan melakukannya lagi. “Ya,” kata Philippe serak. “Ya, Sayang, ya…!” Philippe menggerakkan tubuhnya sendiri di tubuh Gretchen, meningkatkan erangan lembut Gretchen. Tubuh Gretchen yang lembut mengencang lagi, dan Philippe merasakan tubuh Gretchen menegang di sekelilingnya, sesuatu terjadi. Desakan kenikmatan besar mengejutkan Philippe. Ia merasa panas, seperti sesuatu yang hidup dan bernapas, menjalari saraf-sarafnya yang sudah mati selama bertahun-tahun. Ada ketegangan mengerikan, lalu badai kenikmatan menyilaukan mengangkat tubuh Philippe di atas tubuh Gretchen dalam lengkungan kencang, lalu mendesak tubuh Gretchen dengan kuat. Philippe merasakan tubuh Gretchen menahannya sekali lagi, hanya sejenak, kembali mendengar teriakan kecil Gretchen yang lembut dan tajam. Kepala Philippe terangkat dan ia menatap lurus ke dalam mata Gretchen sementara tubuhnya yang ramping mendesak dalam satu gerakan halus dan keras. Bibir Gretchen terbuka. Sepertinya ia tidak bisa memusatkan perhatian pada Philippe. Sensasi itu semakin dekat, lalu memudar lagi, dan sekujur tubuh Gretchen seolah-olah memudar bersamanya. Ia membenamkan kukunya di punggung Philippe, berpegangan kuat-kuat sementara Philippe meningkatkan gerakan pinggulnya yang dalam dan kuat. “Sakit, tidak?” tanya Philippe dalam bisikan serak. “Tidak... lagi. Oh, tidak, tidak, ini tidak... sakit!” Gretchen gemetar sementara kenikmatannya meningkat. Philippe menatap mata istrinya. Gretchen menyentuh wajah Philippe, pipi, mulut pria itu dengan lembut. “aku menginginkanmu,” bisik Gretchen serak. “Aku menginginkan seluruh dirimu. Aku ingin kau utuh kembali. Aku akan melakukan apa saja untukmu, apa saja Philippe...!” Ia berteriak, bergetar hebat sementara kenikmatan menghunjamnya. Sesuatu yang angkuh dan posesif berkelebar di wajah keras Philippe. Pria itu mengamati Gretchen dengan tajam dan gerakan tubuhnya semakin menuntut. Ia menahan pergelangan tangan Gretchen di ranjang di atas kepalanya sementara tubuh Philippe bergerak liar. Gretchen mulai melengkung ke arahnya dengan kekuatan terakhir, mengerang seiring setiap desakan yang menimbulkan kenikmatan yang lebih besar. Reaksi Gretchen membuat Philippe berubah kasar. Ia sudah lama tidak merasakan kenikmatan semacam ini... begitu lama! Ia bisa merasakan putarannya, putaran kenikmatan yang tidak asing, dimulai! Ia benar-benar bisa merasakannya.... Gelombang itu datang. Nyaris mengenainya. Ia tidak bisa menahannya...! Philippe melengkungkan tubuh, mengerang kasar sementara menguasai wanita itu. Kaki Gretchen yang jenjang bergerak di tubuh Philippe, dan wajah Gretchen mulai berkerut ketika perubahan posisi itu membuat kenikmatan menghunjamnya seperti pisau. Ia berteriak. “Ya,” bisik Philippe panas. Ia melepaskan pergelangan tangan Gretchen dan menangkup kepalanya. “Biarkan aku melihatnya... biarkan aku melihatnya!” Rasanya luar biasa. Gretchen sekarat. Tidak ada manusia yang bisa bertahan menghadapi gelombang kenikmatan yang tajam itu, begitu dalam sampai terasa menyakitkan. Gretchen mulai terisak, pekikannya terdengar keras dalam keheningan tenda. Suara itu seolah-olah membuat Philippe senang. Bibir Philippe menemukan bibir Gretchen dan ía mendekap Gretchen di tubuhnya, berguling bersama Gretchen. Dan selama itu tubuhnya menggoda Gretchen, menjanjikan kenikmatan di luar bayangan. Gretchen memohon supaya Philippe mengakhirinya, terisak, mengerang keras sementara Philippe membangun kenikmatan sampai puncak. “Ya, sekarang,” cetus Philippe. “Sekarang, Gretchen. Sekarang, sekarang…!” Gretchen terjatuh dari ujung dunia. Suaranya keluar dalam bentuk teriakan melengking dan serak sambil melengkungkan tubuh, matanya terbuka lebar, seperti mulutnya, ketika menyerah pada tuntutan tubuh Philippe yang besar. Mengamati Gretchen, merasakan getaran pasrah tubuh Gretchen, mengirimkan rasa panas ke sekujur tubuh Philippe. Ia bisa merasakannya di tulang punggung, merasakannya meninggi, mencabik, merobek, memiliki. Ia merasakan hawa panas itu menguasai, tanpa terduga. dengan kecepatan yang membuatnya menggantung di udara. Ia merasakan rasa panas meledak dalam sensasi fisik yang kasar, mengejutkan, dan intens. Ia mengerang dan mulai gemetar. Kenikmatan ini benar-benar kenikmatan. Ia tidak pernah berpikir bisa merasakannya lagi seumur hidupnya. Sembilan tahun, ia berpikir ketika masih bisa berpikir, sembilan tahun, sembilan tahun...! Ia menyerah pada gelombang yang panas dan manis itu. Ia mengerang kasar dan tubuhnya menegang, mengencang di tubuh Gretchen, bergetar lagi dan lagi dengan sensasi kenikmatan. Ia mengerang lagi. Berteriak keras, suaranya terdengar serak ketika intensitas kenikmatan membuatnya tak sadarkan diri. Seumur hidupnya ia tidak pernah merasakan ini...! Terdengar bunyi langkah kaki berlarian dan serentetan kata-kata dalam bahasa Arab di luar kamar. Philippe, dengan rambut lembap karena keringat, wajah masih kaku karena gairah, tubuh gemetar karena kenikmatan yang masih berlanjut, meneriakkan sesuatu kepada mereka dengan kasar. Langkah-langkah kaki itu pun pergi dengan cepat. Philippe menarik napas dengan pelan untuk menenangkan diri, dan menunduk menatap mata hijau di wajah merah itu dengan kaget dan ragu. Matanya sendiri liar, gelap, dan terguncang. Ia gemetar lagi dan lagi dalam gelombang kenikmatan yang mulai memudar, menatap lurus ke dalam mata Gretchen yang lembut dan penasaran, membiarkan Gretchen berbagi kenikmatan bersamanya sampai, akhirnya, getaran-getaran itu mulai memudar dan tubuh Philippe berubah santai. Hampir tidak bisa bernapas, Philippe mengangkat diri dari Gretchen, dengan cepat menutupi diri sebelum bisa melihat tubuhnya, dan matanya beralih ke paha Gretchen. Ia menyentuhnya dengan lembut, menemukan seberkas darah. Ia menatap tubuh Gretchen yang menyerah dan gemetar, matanya gelap karena posesif ketika melihat kulit Gretchen yang halus dan kemerahan. “Kau berdarah,” kata Philippe lirih. Suaranya agak bergetar, karena debar jantung mengentak-entak dirinya. Rambutnya lembap, seolah-olah habis berlari. Gretchen menelan gelombang perasaan malu. Ia tidak mengenakan apa-apa, dan mata Philippe berpesta pora. Gretchen juga masih gemetar, karena mengalami sesuatu yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun dalam hidupnya. “Ya. Itu alami.” “Apakah buruk?” desak Philippe. Gretchen menggeleng. Ia tersenyum malu, matanya berkilat-kilat ketika mendongak menatap Philippe “kau merasakannya, bukan?” bisik Gretchen. “Kau merasakannya di sekujur tubuhmu, pada akhirnya, sama seperti aku.” “Ya,” bisik Philippe. “Aku merasakannya. Aku merasakannya!” Ia menunduk dan menyapukan bibirnya di bibir Gretchen dengan lembut, lalu di mata Gretchen, mencicipi air mata yang terbit di sana. “Jangan menangis,” bisik Philippe sambil menatap wajah Gretchen. “Tadi itu Sangat indah, Gretchen. Aku tidak pernah berani berharap bisa mengenal kepuasan lagi seumur hidupku.” Lengan Gretchen memeluknya, menarik Philippe kembali ke tubuhnya yang gemetar. Philippe tertawa lirih. “Tidak. Belum waktunya.” Philippe menarik diri dari Gretchen dengan ekspresi yang membingungkan. Ia menyentuh wajah Gretchen dengan ujung jarinya yang lembut dan halus. Matanya posesif, gembira. Ia terkekeh, rendah, dan perlahan-lahan mengenakan kembali pakaiannya dengan tangan yang masih agak gemetar karena kenikmatan tadi. Ia menatap Gretchen dengan lapar selama beberapa detik. Wanita itu terbaring di atas seprai dengan rambut tergerai di sekeliling kepalanya. Philippe tersenyum lembut sambil menarik Gretchen berdiri dengan perlahan. “Satu demi satu, My Lady,” katanya serak, dan berbalik. Ia memanggil Leila dan pergi sebelum Gretchen bisa berkata-kata. Gretchen yang malu mendapati dirinya diserbu oleh Laila dan empat wanita lain, yang bergegas memilih pakaian, mengisi bak mandi, dan mengganti seprai tempat tidur. Leila membantu Gretchen masuk ke bak mandi kecil. “Tidak apa-apa,” katanya lembut, seolah-olah tahu apa yang baru saja terjadi. Tidak sulit untuk tahu, pikir Gretchen, malu karena ingat teriakan penuh kenikmatan Philippe dan kekhawatiran para penjaga di luar kamar. “Leila,” kata Gretchen. “Sidi menyuruh kami memandikan dan memanjakan Anda, dan dia akan kembali untuk makan malam dengan Anda. ini malam pengantin Anda, Lady,” tambah Leila sambil tersenyum lebar. “Saya rasa ini akan menjadi malam yang panjang!” Gretchen memejamkan mata dan mengerang. Well, ia atau Philippe tidak ragu lagi tentang kondisi pria itu. Itu percintaan yang nyata, bukan pemanasan. Dan sudah jelas wanita-wanita yang melepaskan seprai ranjang akan melihat bukti pengesahan pernikahan itu. Hal itu akan menyelesaikan dilema Philippe. Ia tidak perlu takut pada gosip lagi. Tetapi itu juga berarti Philippe bisa menikah sekarang. Ia bisa mencari istri yang sesuai dengan posisinya dalam hidup, dan itu bukan gadis kecil dari Texas yang bukan siapa-siapa. Gretchen tersiksa memikirkan akan kehilangan Philippe ketika dirinya baru mulai mencintai pria itu. Ia merasakan nyeri yang sepertinya dipulihkan basuhan air dan ketika selesai, Leila membawakan sekendi kecil salep untuk dioleskan di jaringan yang sobek. Wanita-wanita ini jelas sudah menikah, dan mereka tahu tentang pengalaman pertama. Mereka sangat baik. Kemudian, mereka membantu Gretchen mengenakan gellabia sutra ungu dengan sulaman indah dalam berbagai warna dan meninggalkannya di kamar tidur, rambutnya yang panjang sudah disikat dan dibersihkan. Gretchen dengan gugup menunggu Philippe kembali. Hari ini adalah pengalaman baru. Ia menemukan sisi Philippe yang tidak diketahuinya. Philippe sebagai suami, dan ternyata tidak canggih. Well, dia memang canggih, tetapi juga seperti harimau. Gretchen ingat Philippe berkuda ke perkemahan untuk menyelamatkannya—tak kenal takut, nekat. Itu akan menjadi kisah yang bakal ia ceritakan kepada cucu-cucunya, kalau nanti punya cucu. Rasanya lama sekali sebelum ia mendengar suara Philippe di depan kamar. Gretchen terduduk tegak, merasa setengah telanjang dan sangat malu ketika Philippe menyingkapkan tirai dan bergabung dengannya. Philippe juga sudah mandi. Ia mengenakan thobe sutra putih dengan sulaman emas dan terpotong di bagian depan ke tulang belikatnya, menampilkan bulu hitam berikal. Ia mengenakan celana panjang dengan bahan sama di baliknya. Rambut Philippe masih lembap. Ia terlihat tampan dan sangat berbahaya, benar-benar berbeda dengan pria yang Gretchen temui dan dikiranya ia kenal di Maroko. Ada perbedaan dalam cara Philippe menatap Gretchen sekarang. Ada seulas senyum samar di bibir pria itu, di mata hitamnya berkilat-kilat posesif. Ia berdiri menyamping untuk membiarkan Leila masuk membawa senampan makanan dan teh panas. Leila melemparkan tatapan penuh arti ke arah Gretchen dan tersenyum lebar kepada Philippe ketika melesat keluar lagi. Philippe menutup kain di belakang Leila dan menjatuhkan diri di bantal-bantal di sampipg Gretchen. “Ini,” katanya sambil memasukkan sepotong kue lembut ke mulut Gretchen. “Mmm,” gumam Gretchen sementara mengunyah dan menelan. “Enak.” Ia menuangkan teh ke dalam dua cangkir, menyukai aroma mint yang tercium dari sana. Ia menyerahkan cangkir kepada Philippe dan melirik pria itu malu-malu. “Apakah kau masih marah padaku?” Sudut mulut Philippe melengkung turun. “Seharusnya begitu,” sahutnya. “Kau bisa terbunuh tadi. Mulai sekarang, Madame, kalau aku memberi perintah, patuhi.” “Begitulah kata sang pemimpin,” kata Gretchen sambil tersenyum nakal. Philippe mencengkeram lengan Gretchen dan menarik wanita itu ke dekatnya. Ia tersenyum melihat kekhawatiran Gretchen. “Aku adalah pemimpin di sini,” kata Philippe dengan suara dalam dan lembut. “Dalam segala hal sekarang.” Gretchen menatap mata hitam Philippe. “Wanita-wanita itu memandikanku.” Philippe mengangguk. Ia menyentuh rambut Gretchen dengan ringan. “Itu tradisi di sukuku. Itu, dan menyimpan seprai pengantin.” Matanya berkilat-kilat. “Itu adalah bukti bahwa kau naik ke ranjang pengantin sebagai perawan dan bahwa anak yang kau kandung adalah anakku.” Mata Gretchen terlihat sedih. “Aku mengharapkan anak Philippe,” katanya tulus. “Aku ingin memiliki anak laki-laki bersamamu.” Wajah Philippe mengeras ketika menatap Gretchen. “Satu keajaiban dalam hidup sudah cukup, bukan?” tanyanya lirih. “Jadi apakah kau merasakan apa yang terjadi padaku?” Wajah Gretchen memerah. “Oh, ya.” Philippe membelai bibir Gretchen dengan jemarinya. “Itu... tak terduga. Aku tahu aku bisa mempertahankan gairahku cukup lama untuk memuaskanmu. Tapi aku tidak sadar aku bisa mengambil kenikmatan dari tubuhmu sekaligus memberikannya.” Ia membungkuk dan mencium Gretchen dengan lembut. “Kau membuatku menjadi pria lagi,” bisiknya. “Itu anugerah yang akan kuhargai seumur hidupku.” Gretchen tersenyum di bawah mulut Philippe yang keras, tangannya melilit rambut Philippe yang hitam, lembap, dan tebal. “Apakah menurutmu kau bisa melakukannya lagi?” Philippe terlihat agak cemas. “Aku tidak tahu,” katanya jujur. Ia tersenyum agak kaku. “Gabungan bahaya, lega, gairah, dan setelah kekerasan itu... akan sulit menciptakan kembali keadaan seperti itu.” Gretchen membelai bekas luka di pipi Philippe yang ramping dan ke sudut mulutnya. “Kurasa begitu. Tapi tadinya kau mengira kau sama sekali tidak bisa melakukannya.” “Itu benar.” Philippe membungkuk dan mencium Gretchen lagi, dengan lembut. “Sembilan tahun hidup selibat, Gretchen,” katanya serak. “Dan dalam waktu beberapa minggu, kau mengembalikan hidupku.” Lengan Gretchen melingkari leher Philippe. “Hanya karena kau menyerahkan dirimu kepadaku,” cetus Gretchen. “Mungkin itulah yang terlewatkan selama ini Kau mengira tidak bisa melakukannya, jadi kau bahkan tidak mencobanya.” “Apakah kau sadar bahwa pernikahan kita hanya mengikat di Qawi?” tanya Philippe, hanya untuk memastikan Gretchen mengerti. Sesuatu berkelebat di mata lembut Gretchen. Gretchen menarik lengannya dari leher Philippe. “Ya, aku ingat apa yang kaukatakan padaku,” katanya sambil menjauh. Ia memaksakan seulas senyum di bibirnya. “Aku lapar ini kelihatannya enak.” Gretchen mulai makan, kini menarik diri. Philippe mengamati Gretchen sementara ia juga makan, matanya dengan berani menatap lekuk tubuh Gretchen yang terlihat di bawah sinar lentera hias di atas mereka. Gretchen cantik dengan caranya sendiri. Dan tubuh Gretchen membuat Philippe bergairah seperti yang belum pernah dialaminya. Philippe merasa dirinya menegang dengan desakan kenikmatan aneh yang tadi membuatnya berlari ke ranjang Gretchen. Gretchen tidak menyadari Philippe mengamati tubuhnya. Ia berpikir Philippe ingin ia segera pergi, karena sekarang Philippe sudah utuh kembali. Philippe mungkin sudah memiliki calon istri untuk berbagi takhta dengannya. Mungkin Brianne Hutton yang pernikahannya tidak bahagia seperti yang Philippe katakan, dan Philippe memiliki ambisi ke arah itu. Gretchen membayangkan wanita cantik berambut pirang yang Philippe peluk erat-erat. Gretchen menelan makanannya dan meletakkan potongan kue lembut terakhir yang tidak bisa ditelannya lagi. Ia menyesap apa yang disebut Leila “air berdesis” dengan sambil lalu sampai menyadari bahwa Philippe telah menyuruh pelayan membawa pergi nampan makanan, menambahkan perintah singkat lain yang tidak bisa Gretchen dengar. Tetapi ia menyadari bahwa si pelayan menutup tenda besar itu saat keluar. Mata hitam Philippe menusuk mata Gretchen dalam keheningan mendadak di ruangan itu. Philippe bangkit tanpa berkata apa-apa dan menurunkan rantai yang menahan lentera gantung sehingga bisa memadamkan apinya. Philippe menggantung lampu itu lagi, memasang rantainya, lalu membungkuk untuk menarik Gretchen berdiri dan menarik wanita itu ke kamar tidur Philippe. Dengan jantung berdebar di dada, Gretchen merasa Philippe meraba pinggiran gellabia-nya dan melepaskannya. Gretchen telanjang di baliknya, seperti yang cepat disadari Philippe. Tangan Philippe meluncur mudah di lekukan tubuh Gretchen yang lembut dengan aroma halus yang dipakaikan Leila dan wanita-wanita lain pada Gretchen sehabis mandi. “Kau terasa seperti sutra hangat,” gumam Philippe sambil menarik Gretchen ke arahnya. Philippe menunduk dan mulai mencium Gretchen dengan pelan, lembut, dan halus. “Aku menginginkanmu. Apakah ini terlalu cepat? Apakah kau butuh waktu untuk memulihkan diri setelah yang pertama kali?” “Tidak.” Gretchen melingkarkan lengannya di leher Philippe, menginginkan apa pun yang ingin Philippe lakukan padanya. Ia masih merasa nyeri, tetapi tidak sakit untuk mencegah dirinya mengalami keintiman yang lebih nikmat. “Tunggu,” kata Philippe lembut. Ia bergerak menjauh dari Gretchen dan terdengar suara kain terlepas dari tubuhnya. Ketika Philippe kembali kepada Gretchen, Gretchen merasakan ketelanjangan Philippe di tubuhnya yang telanjang dan ia terkesiap senang, mengulurkan tangan untuk lebih mendekatkan diri pada kekuatan dan rasa panas itu. Tangan Philippe meluncur di punggung Gretchen dan ke pinggulnya, lalu menarik Gretchen dengan lapar. Ketika Philippe merasakan Gretchen di tubuhnya, tubuh Philippe sendiri mulai menegang, dan ia tertawa senang. dengan kebahagiaan murni karena kejantanannya kembali. Gretchen memeluk Philippe dan membalas ciuman-ciuman lembut pria itu dengan kenikmatan yang sama besarnya, berlama-lama dalam kontak lembut itu. Philippe mengajarinya bagaimana memperlama cumbuan pelan ini dan menerima belaian yang membangkitkan api yang besar. Tangan Philippe membelai payudara Gretchen yang lembut dan kencang dengan malas sampai ia membungkuk dan mulutnya yang hangat menggantikan belaian halus jemarinya yang ramping. Gretchen mengangkat tubuhnya, napasnya tersekat, membujuk bibir Philippe untuk lebih dekat lagi, meningkatkan isapan lembut yang membuatnya gemetar senang. Philippe membuka bibir Gretchen dengan bibirnya, dan tangannya mencengkeram paha Gretchen, mengangkatnya, mendesak Gretchen, sehingga mereka tiba-tiba bersentuhan dengan intim. Gretchen terkesiap ketika merasakan desakan keras di tubuhnya yang lembut, desakan mendadak yang membuat tubuhnya memprotes. Gretchen merangkul leher Philippe, gemetar, menjauhkan diri karena masih sensitif dengan desakan seperti itu, Philippe sepertinya lebih bergairah daripada ketika pertama kali. “Kau mengernyit,” bisik Philippe. “Apakah kau sakit?” “Tidak... di dalam,” sahut Gretchen, senang karena Philippe tidak bisa melihat wajahnya yang memerah. “Tapi sepertinya kau... lebih bergairah,” tambahnya malu. Philippe menarik napas dengan tajam. “Memang,” gumamnya di mulut Gretchen. Ia membaringkan Gretchen ke kasur tebal, kemudian ia sendiri menyusul. “Cobalah santai sedikit,” bisik Philippe sementara menyatukan tubuh mereka dengan pelan. “Tubuhmu menegang begitu keras sampai menolakku.” “Aku minta maaf. Bukannya aku tidak ingin kau melakukannya, kau tahu,” bisik Gretchen. “Aku suka bersamamu seperti ini.” Philippe mengangkat kepala dan mencium kelopak mata Gretchen, tubuhnya bersandar dengan intim di tubuh Gretchen. “Aku lupa hambatan yang bisa muncul,” gumamnya misterius, dan tawa terkekeh terdengar di kening Gretchen. “Terutama dengan kekasih yang belum berpengalaman.” Napas Gretchen tersekat. “Hambatan?” “Tidak apa-apa.” Philippe bergerak dengan sensasi menggoda tubuh Gretchen dengan cara yang baru dan sangat menggairahkan hingga Gretchen mulai melengkungkan tubuhnya. “Aku harus lebih sabar, hanya itu. Sini…” Philipre bergerak dengan pelan sementara bibirnya menguasai bibir Gretchen. Gretchen mengerang ketika gerakan itu membawanya dari satu gelombang rasa lapar ke gelombang lain yang lebih tinggi. Ia merasakan Philippe bergerak, mempersempit jarak di antara mereka, sehingga mereka berpelukan dalam kedekatan paling intim yang pernah mereka alami. Napas Gretchen terdengar jelas sementara Philippe mulai bergerak, lidahnya menyelinap ke dalam mulut Gretchen sementara tubuhnya dengan lembut mendesak tubuh Gretchen. Tangan Philippe terulur, menyentuh Gretchen dengan cara-cara yang belum pernah dilakukannya, membuat Gretchen gemetar karena desakan-desakan gairah kecil. Gretchen juga ingin menyentuh Philippe, tetapi ia was-was karena percakapan mereka sebelumnya, jadi ia memuaskan diri dengan membelai bahu Philippe sementara tubuh Philippe membelai tubuhnya dengan cara yang semakin menggairahkan. “Kemarilah,” bisik Philippe, mengubah posisi Gretchen. “Di sana?” tanyanya lembut ketika Gretchen menegang dan mengerang. “Ya. Jangan takut,” bisik Philippe, lalu mulai bergerak lagi dengan lihai dan cepat sampai kuku Gretchen menusuk bahu Philippe dan napas wanita itu tersekat di tenggorokannya ketika sensasi baru dan mengejutkan mulai timbul dalam tubuhnya. Philippe bergerak mendekat dan Gretchen merasa tubuhnya menerima tubuh Philippe dengan gembira, merasakan dirinya terangkat untuk membujuk Philippe lebih mendekat. Kenikmatan itu berubah kasar, seperti sentakan listrik berkekuatan tinggi, dan kontak mereka, walaupun sangat tiba-tiba tidak cukup intim. Gretchen melengkungkan tubuh sambil mengerang kecil. “Philippe” seru Gretchen cepat, nyaris panik karena ledakan kenikmatan yang lebih besar daripada yang pernah mereka alami sebelumnya. “Tidak... cukup... dekat!” isaknya sambil memeluk Philippe dengan penuh tuntutan. Tangan Philippe terulur dan mencengkeràm bantal. Menopang tubuh Gretchen dengan bantal itu, dan ketika bergerak lagi, Gretchen berteriak keras dan tubuhnya bergetar. “Bahkan ini,” bisik Philippe di telinga Gretchen, “tidak cukup dekat, bukan?” Ia bergerak dengan tajam dan mengerang ketika Gretchen bergetar lagi. “Aku tidak pernah menguasai seorang wanita seutuh ini,” cetusnya. “Aku tidak pernah ingin sedekat ini...!” Tangan Philippe mencengkeram tubuh Gretchen ketika mengangkatnya dan bergerak liar. Tubuh Philippe melengkung penuh kenikmatan yang nyaris menyakitkan. Ia gemetar dan mengerang ke dalam mulut Gretchen yang terbuka. Ia merasakan Gretchen menggigiti bahunya dan ia tertawa, dengan rendah sementara bergerak lebih liar lagi. Gretchen melengkungkan tubuh dengan desakan waras terakhirnya, menginginkan kenikmatan yang tiba-tiba saja menusuk dirinya seperti api perak sementara kukunya yang tajam mencengkeram pinggul Philippe. Gretchen terisak, suaranya pecah sementara tubuhnya menegang di tubuh Philippe yang kuat, merasa Philippe menutupi mulutnya untuk membungkamnya ketika pria itu membawanya menuju puncak kenikmatan. Tubuh Philippe sendiri begetar karena sensasi ketegangan manis yang tak tertahankan. Sensasi itu meningkat dalam spiral liar dan tiba-tiba meledak dalam kenikmatan. Philippe merasa kekuatan itu mengangkat tubuhnya, melengkungkan tubuhnya. Philippe membisikkan nama Gretchen dengan serak, seperti doa, lagi dan lagi sampai akhirnya ia mengerang dan tubuhnya bergetar berirama karena kepuasan paling indah yang pernah dirasakannya bersama seorang wanita. Ia berbaring di dekat Gretchen, merasa dirinya berdenyut tanpa daya, merasakan Gretchen di sekeliling tubuhnya, di dekatnya, di sebagian dirinya. Tangannya melilit di rambut Gretchen yang dingin dan berantakan, dan bibirnya mencari-cari bibir Gretchen dengan lapar. Philippe mencicipi kelelahan yang membuatnya gemetar tegang. Mulut Gretchen menempel di lengan keras yang digigitnya tadi. Ia membelai lengan Philippe dengan bibir dan lidahnya dalam keheningan yang berdenyut karena kenikmatan. “Aku merasakan gigitanmu,” bisik Philippe, dengan malas menyapukan mulutnya di bibir Gretchen yang terbuka. “Apakah kau merasakan gigitanku?” “Ya. Apakah itu normal?” tanya Gretchen ragu. Bibir Philippe membelai kelopak mata Gretchen, membuat Gretchen memejamkan mata. “Kalau kita merasakan kenikmatan karena melakukannya, ya.” Gretchen bergerak dan gemetar karena sentakan-sentakan kecil yang sepertinya tidak bisa berakhir. Ia mengerang. “Ini berlanjut terus,” bisiknya. “Jarang sekali,” sahut Philippe. Pinggulnya bergerak masuk dan Ia tertawa ketika Gretchen gemetar. “Ya. Sekarang kita bisa terus saling memuaskan dengan gerakan-gerakan kecil ini.” Ia menarik napas dengan gemetar. “Dan aku cukup egois untuk menginginkannya. Tapi tubuhmu sakit dan lelah. Tubuhmu akan sangat kesakitan kalau kita melanjutkan lebih lama lagi.” Philippe mencium Gretchen sekali lagi dan perlahan-lahan menarik diri dari Gretchen melihat Gretchen mengernyit samar ketika ia berguling telentang dan meregangkan tubuh dengan malas. Gretchen tidak bisa melihat Philippe dalam gelap, tetapi ia mendengar Philippe mengenakan kembali thobe-nya Rasanya memusingkan dan manis memeluk Philippe tanpa ada apa pun di antara mereka. Tetapi Philippe terlalu malu dengan bekas-bekas lukanya untuk melakukannya di bawah sinar lampu, dan Gretchen harus menerima hal itu. Philippe mengulurkan gellabia ungu Gretchen dan menarik wanita itu berdiri sebelum membantu Gretchen mengenakannya. “Ayo,” kata Philippe lembut, dan menggendong Gretchen, membawanya kembali melewati tenda ke kamar Gretchen sendiri. Philippe membaringkan Gretchen dengan lembut di kasurnya sendiri dan berlutut di sampingnya, mengamati wajah Gretchen dalam cahaya api redup yang berasal dari obor di luar tenda. “Kenapa aku tidak bisa tidur bersamamu sepanjang malam?” tanya Gretchen. Philippe menyentuh rambut Gretchen yang cerah. “Aku suka bermimpi buruk,” katanya ringan. “Kau tidak akan bisa tidur.” “Kau suamiku,” kata Gretchen. “Di Qawi,” kata Philippe singkat. “Dan hanya di Qawi. Tiba-tiba ia berdiri. “Ada perubahan rencana. Kita akan pulang besok pagi. Brianne akan tiba di istana pada saat kita tiba, dan aku harus memastikan ada cukup banyak, pengawal. Dia tiba lebih cepat daripada yang kuduga.” “Bagaimana dengan Brauer?” tanya Gretchen cemas. “Kita sudah menghancurkan markas besarnya. Sebagian besar orang-orangnya menghilang, sebagian besar peralatannya hancur. Walaupun dia ingin memancing kekacauan di perbatasan, hal itu tidak akan terjadi dengan cepat. Dia harus mengumpulkan lebih banyak uang untuk membeli senjata dan membayar orang. Sementara itu, kira Semua akan aman. Terutama dengan pamanku berada di bawah pengawasan dan rekan-rekannya dipenjara.” “Kau sudah memenjarakan para mata-mata?” tanya Gretchen. “Ya. Mereka akan disidang. Dan juga pamanku, kalau dia tidak berhati-hati.” “Dan kukira kau butuh perlindungan,” kata Gretchen sambil bergerak-gerak gelisah di kasur. “Mungkin,” kata Philippe. “Kau memiliki pengaruh yang tak terduga pada diriku,” tambahnya lirih. “Aku tidak yakin aku menyukainya.” “Pengaruh apa?” “Penguasaan fisik yang tak terduga ini,” kata Philippe blak-blakan. “ini bukan apa yang kuinginkan ketika membawamu ke sini.” “Kau tidak akan tahu apakah kau masih mampu kalau kau tidak melakukannya.” Wajah Philippe pasti mengejutkan Gretchen, kalau Gretchen bisa melihatnya. Mampu. Philippe begitu terobsesi dengan apa yang terjadi sampai merasa rapuh. Ia tidak pernah mengenal kerapuhan di masa lalunya yang Kasar dan sulit, tetapi wanita ini bisa membuatnya bertekuk lutut. Wanita ini memiliki kekuatan atas dirinya, dan hal itu mengganggu. Philippe bisa mengenali wanita-wanita jahat yang memperalat pria demi kepentingan mereka sendiri. Ia tidak berpikir Gretchen akan bersikap seperti itu, tetapi bagaimana ia bisa yakin? Menyerah pada penguasaan fisik bukan tindakan yang bijaksana, walaupun keadaanlah yang membuatnya berlari ke ranjang Gretchen Sekarang ia harus menguasai diri setelah memperoleh kenikmatan itu, padahal ia terlalu bingung untuk memikirkan semuanya. Brauer masih ada di luar sana, Brianne sedang dalam perjalanan ke Qawi. Philippe menatap Gretchen dan sekujur tubuhnya menegang. Ia butuh waktu... “Kau tidak menyesali apa yang terjadi, bukan?” Tanya Gretchen, dengan cepat memahami suasana hati Philippe yang gelap. Philippe tidak menatap Gretchen. “Aku tidak tahu” katanya kaku. “Itu mungkin akan terbukti sebagai kutukan dan anugerah,” katanya ketus. “Tidurlah yang nyenyak.” Ia berbalik dan meninggalkan Gretchen tanpa melirik ke belakang lagi. Gretchen meringkuk di balik selimut tipis dan bertanya-tanya apa yang sudah ia katakan atau lakukan sampai membuat Philippe tiba-tiba menjauh. Pengalaman paling luar biasa dalam hidupnya telah mengubah Philippe menjadi orang asing. Sesuatu telah berubah drastis di antara mereka, dan bukan hanya soal keintiman Philippe sudah maju beberapa langkah di depannya. Gretchen bertanya-tanya apakah Philippe tidak akan merayunya lagi sekarang setelah Brianne Hutton datang untuk tinggal di sini, dan apakah Philippe merasa bersalah karena telah menyerah pada gairah padahal cinta lamanya muncul kembali dalam hidupnya. Hanya waktu yang akan bicara, tetapi Gretchen merasa lebih gundah dan ragu daripada yang pernah ia rasakan seumur hidupnya. 13 KEESOKAN paginya Philippe kembali mengenakan jubah putihnya yang berkibar-kibar, terlihat sangat cocok di padang pasir seperti para prajuritnya yang kasar. Ia masih menjaga jarak dengan Gretchen, walaupun tetap sopan dan halus. Tetapi Gretchen menunggang kuda sendiri, dan Philippe tidak menawarkan Gretchen berbagi kuda dengannya. Land Rover sudah dikirim pulang lebih dulu, dalam perjalanan ke bandara untuk menjemput Mrs. Brianne Hutton dan putra kecilnya, yang tiba lebih awal dari rencana. Saat mereka tiba di istana, para penghuni baru itu sudah berada di sana. Brianne keluar menyambut Philippe yang menaiki dua anak tangga sekaligus untuk menggenggam tangan Brianne dan mencium telapaknya dengan hangat. Ia membungkuk dan menggendong anak keci yang datang bersama wanita cantik berambut pirang itu yang terlihat sebaya Gretchen. Ketika Mrs. Hutton berbalik, Gretchen nyaris terkesiap. Wanita itu bisa menjadi kakaknya, mereka sangat mirip. Sementara Gretchen menatapnya, terpaku, Philippe membawa Mrs. Hurton dan putranya ke dalam istana tanpa menoleh ke belakang atau bahkan memperkenalkan mereka pada Gretchen. Hassan, pengawal Gretchen, mengawal Gretchen ke dalam dan membiarkan Leila mengurusnya. Tetapi Hassan tetap berada di dekat mereka ketika mereka berjalan ke kamar Gretchen. “Masih ada bahaya,” Leila menjelaskan ketika mereka sudah masuk ke kamar Gretchen. “Sidi menyuruh Hassan selalu berada di dekat Anda, karena Monsieur Brauer masih berkeliaran di luar sana.” “Kata mereka dia tidak akan menjadi ancaman untuk sementara waktu, karena Philippe sudah menghancurkan markasnya,” kata Gretchen. “Begitulah. Tapi jangan menganggap remeh sesuatu.” Leila menatap Gretchen dengan tatapan bijak dan diam. “Anda harus beristirahat, Lady,” katanya. “Ini saat yang meresahkan bagi Anda.” Wajah Gretchen memerah, dan ia mengalihkan tatapan. “Nah, nah,” kata Leila lembut, dan tersenyum. “Ini kejadian yang dialami semua wanita, belajar tentang pria dan kebutuhannya. Itu bukan pengalaman yang menakutkan bukan?” Gretchen tersenyum malu. “Bukan,” akunya. “Dan Sidi adalah pria dengan banyak pengalaman,” celoteh Leila sementara mulai membongkar barang-barang Gretchen dan memasukkannya ke laci. “Ketika kami masih kecil, selalu ada wanita-wanita cantik yang mengikutinya. Dalam beberapa tahun terakhir, dia sangat berhati-hati, terutama sejak mengambil alih kekuasaan di Qawi. Tapi dia masih menginginkan ahli waris. Dan seorang istri Amerika,” tambahnya sambil tersenyum lebar, “adalah pilihan yang bagus untuknya. Akan sangat membantu saat dia perlu meminta bantuan teknis dari pemerintahan Anda untuk membantu program modernisasinya.” Gretchen duduk di kursi rendah dan mengelus lengan kursi kayu itu. “Mrs. Hutton orang Amerika,” katanya. “Dia sudah menikah, Lady,” terdengar jawaban kaget. “Seorang tamu, tentu saja, dan sama sekali tidak sekelas istri syekh!” “Menurutmu begitu?” tanya Gretchen sambil lalu, mendesah. Ia menyandarkan kepala ke belakang dan mejamkan mata, kembali melihat bayangan menyakitkan suaminya yang berjalan pergi dengan Brianne dan putra wanita itu. Kenangan potongan-potongan percakapan menyelinap ke dalam penderitaannya, dan ia ingat apa yang Philippe katakan tentang istri muda Pierce Hutton. Sekarang setelah Gretchen bisa melihat kemiripannya, ia takut apa yang Philippe rasakan kepadanya adalah gairah yang tidak bisa Philippe tunjukkan kepada Brianne. Tidak ada gunanya bertanya-tanya apakah Philippe berpura-pura pada saat-saat mereka yang paling intim, bahwa Gretchen tidak lebih daripada bayangan wanita yang benar-benar diinginkannya. Gretchen mengingat sikap Philippe menjauh setelah mereka bercinta, dan Philippe yang tiba-tiba tidak sadar Gretchen ada di sana begitu dia melihat Brianne. Gretchen merasa keadaan ini tidak hanya terjadi satu kali. **** Memang tidak. Hari pertama menjadi dasar pembentukan pola untuk apa yang terjadi pada minggu-minggu berikutnya. Philippe mencari waktu untuk mengajak Brianne berkeliling kerajaan dan menunjukkan semua pemandangan yang sebenarnya ingin Gretchen lihat juga. Anak itu selalu bersama mereka, dan Philippe sangat memperhatikan anak itu sampai Gretchen merasa patah hati. Mereka tidak akan pernah punya anak. Tetapi sepertinya Philippe menganggap anak Brianne sebagai anaknya sendiri. Kepada Gretchen, Philippe bersikap sopan dan halus, seperti tuan rumah kepada tamunya. Philippe tidak lagi mengunjungi kamar Gretchen, bahkan pada siang hari. Gretchen merasa seolah-olah tidak memiliki status sama sekali, tetap berada di istana dan menderita. Ia adalah kelinci percobaan, untuk memastikan apakah Philippe bisa menjadi pria lagi. Dan sekarang setelah Philippe tahu ia bisa, ia mulai mengejar Mrs. Hutton—yang menurut gosip sedang bertengkar dengan suaminya. Ternyata mereka bertengkar karena keberadaannya di sini bersama Philippe. Gretchen mendapatkan teman tak terduga dalam diri mantan musuhnya, ayah Philippe. Suatu hari pria tua itu mengundang Gretchen ke rumah kacanya dan mulai mengajari Gretchen tentang anggrek. Gretchen adalah murid yang cerdas, mendengarkan dengan penuh perhatian sementara sang syekh tua menjelaskan berbagai jenis spesies, kondisi tumbuh kembang, dan kualitas kelopak anggrek-anggrek yang indah itu. Bunga-bunga itu tumbuh dalam media berupa gabungan batang dan bukan tanah, yang membuat Gretchen takjub. Gretchen menyentuh kelopak phalanopsis yang lembut dengan halus. “Mereka sangat individual,” komentarnya. “Sama seperti manusia.” “Aku suka berpikir mereka juga memiliki kepribadian.” kata sang syekh tua sambil tersenyum hangat. “Beberapa di antara mereka pemalu dan hanya mekar di bawah perawatan yang persuasif. Yang lainnya flamboyan dan suka pamer. Tapi ada juga yang penyendiri, menyembunyikan kelopak mereka di bawah daun. Aku rasa mereka sangat menakjubkan.” “Ya, aku juga,” Gretchen membenarkan, matanya mengamati bunga-bunga itu dengan sayang. “Apakah mereka semua punya nama?” “Setiap tangkainya,” sahut sang syekh tua. “Dan sebagian besar di antara mereka sudah cukup tua untuk menjadi anakku, apalagi cucuku,” tambahnya sambil terkekeh. Mereka berjalan pelan menyusuri deretan panjang tanaman, dikelilingi berbagai pohon dan semak-semak tropis dan subtropis. Ini rumah kaca yang luar biasa, yang bisa membuat tukang kebun mana pun iri. Sang syekh tua menunduk menatap Gretchen mengenakan gellabia putih dan merah dengan kerudung yang menutupi seluruh rambut pirangnya. Ia sangat cocok di sini, pikir pria tua itu. Wanita ini tidak pernah memaksa atau mencoba memberi perintah; ia membujuk dan merayu orang-orang melakukan apa yang diinginkannya. Ia bahkan bersikap lembut kepada para pelayan. Koki memberinya makanan kecil melalui Leila. Penjahit sepertinya berusaha keras membuatkan jubah dan gaunnya. Pedagang permen mengirimkan contoh cokelat terbaiknya. Dan koki pembuat kue mengirimkan roti manis terbaiknya dalam kotak berpita setiap pagi. Tidak pernah ada wanita lain yang begitu dikasihani para pelayan setelah nenek sang syekh tua. Tetapi Gretchen juga tidak bahagia. Syekh tua itu mendengar dari para pelayan tentang malam pengantinnya bersama putranya, dan ada bukti yang cukup bahwa pernikahan itu telah disahkan: Walaupun Philippe tidak bisa memberikan anak untuknya, ternyata Philippe mampu memberikan pernikahan yang utuh dan lengkap. Ini berita yang bagus untuk pria yang berduka karena impotensi putra satu-satunya yang masih hidup. Tetapi ada yang salah, sangat salah. Philippe menghabiskan setiap waktu senggangnya bersama Mrs. Hutton dan putranya yang berkunjung ke sini, dan Gretchen dibiarkan menghibur diri sendiri. “Kenapa dia meninggalkanmu demi wanita dari Paris itu?” tanya sang syekh tua tiba-tiba. Gretchen berhenti melangkah dan berbalik menghadap pria tua itu. “Dia mencintai wanita itu,” sahut Gretchen jujur. “Apakah kau tidak punya keinginan untuk bersaing dengannya?” desak pria tua itu dengan lembut. “Bagaimana caranya?” tanya Gretchen sambil tersenyum sedih. “Aku tidak sekelas dengannya secara sosial, dan aku tidak memiliki penampilan seperti dirinya atau sejarahnya bersama Philippe. Begitu Philippe melihat Mrs. Hutton, dia langsung pergi kepada wanita itu dan tidak pernah menoleh ke arahku lagi. Sudah seperti itu selama berminggu-minggu.” Gretchen menunduk, menatap lantai berubin dan entah kenapa berpikir bagaimana rasanya ubin itu di kakinya yang telanjang. Ia berharap ia berani bertelanjang kaki. “Kau pasti menyadari bahwa aku mirip dengan wanita itu,” tambah Gretchen, menambahkan garam di luka. “Philippe menginginkanmu,” kata sang syekh tua blak-blakan, mengabaikan komentar itu. “Itu senjata yang bisa kaugunakan.” “Tidak akan cukup,” kata Gretchen halus. “Tidak kalau Philippe mencintai wanita itu.” Ia melirik pohon palem di dekatnya yang berdiri di pot keramik yang bagus “Aku berpikir ingin pulang.” “Apa?” “Anda pasti tahu ini tidak akan berhasil,” kata Gretchen sambil menggerakkan tangan. “Sampai kapan pun dia tidak akan memilihku menjadi istrinya kalau aku tidak memancing indra dan akal sehatnya. Dia tahu dia kini bisa menjadi pria yang utuh, dan kurasa dia sudah mempertimbangkan kualitas yang diinginkannya dalam seorang istri. Percayalah padaku, aku bahkan tidak akan dipertimbangkan.” “Mrs. Hutton sudah menikah dan memiliki seorang putra,” kata sang syekh tua tegas. “Mrs. Hutton dan suaminya bertengkar hebat sebelum dia datang ke sini,” kata Gretchen, menceritakan yang dibisikkan Leila kepadanya. “Philippe mencintainya dan wanita itu merasakan sesuatu kepadanya.” Ia mengangkat bahu. “Bagaimana aku bisa melawan itu?” “Kalau kau mencintainya kau harus mencoba mempertahankan pernikahan kalian,” kata sang syekh tua. “Dan kalau aku gagal?” “Kalau kau gagal... aku akan membantumu pergi. Dengan syarat Hassan ikut denganmu,” tambah sang syekh tua tegas. “Brauer memiliki banyak mata-mata, sampai ke Amerika Serikat. Apa pun kekurangan putraku, dia tidak ingin kau berada dalam bahaya.” “Hassan tidak akan suka pergi dari sini,” Gretchen mencoba membantah. “Itulah syaratku.” Gretchen mendesah. “Oh, baiklah.” “Tapi hanya sampai kau melakukan usaha terakhir untuk memperbaiki pernikahanmu, Wanita muda,” kata sang syekh tua kepada Gretchen. “Aku tidak suka berpikir harus memulangkan satu-satunya orang yang ingin mempelajari anggrek di istana ini!” Gretchen terkekeh. “Cukup adil. Dan terima kasih.” Sang syekh tua mengangkat bahu dan meraih gunting. “Sekarang. Mari kuajari seni bernegosiasi yang benar!” Malam itu, Gretchen mandi dan memanjakan diri, menambahkan parfum di air dan rambutnya. Ia mengenakan kaftan beledu biru yang paling indah dengan sulaman emas, dan membiarkan rambutnya tergerai panjang. Dengan setiap harapan dan doa ia berjalan dengan pelan ke kamar suaminya sementara hatinya berdebar keras karena bermaksud untuk merayu Philippe. Ini adalah usaha terakhir, pikirnya. Ia seperti Texas Ranger terakhir yang menghadapi geng penjahat. Ia berjalan ke tempat yang ditakuti malaikat. Setidaknya Philippe memang menginginkannya, dan Gretchen adalah satu-satunya wanita dengan siapa Philippe berhasil melakukannya. Itu adalah satu kelebihan Gretchen, walaupun Philippe tidak mencintainya. Dengan napas tersekat, Gretchen berbelok di sudut ke arah pintu ganda menuju kamar Philippe—dan dihentikan dua pengawal bersenjata. Gretchen terkesiap. Salah seorang pengawal menatapnya dengan mata disipitkan. “Apa yang kauinginkan?” tanya pengawal itu. “Tidak ada orang yang boleh masuk ke sini tanpa diundang. Terutama wanita yang tidak berpakaian dengan pantas dan memamerkan tubuhnya!” Pria itu berbicara seolah-olah Gretchen adalah selir yang tidak berotak. Pria itu tidak mengenalnya. Gretchen juga tidak mengenal pria itu. Tetapi sikap merendahkan pria itu membuatnya marah. Kenapa Philippe memiliki pengawal yang tidak mengenali istrinya sendiri? “Aku ingin bertemu dengan suamiku,” katanya sambil mengumpulkan keberanian. “Dan kenapa kau berpikir bisa menemuinya di sini? Siapa dia?” tuntut pengawal itu ketus. Mata hijau Gretchen berkilat-kilat. “Dia Philippe Sabon,” katanya dingin. Mata pengawal itu menyipit. “Aku tidak percaya ini. Sidi belum menikah.” Mata Gretchen menyala-nyala seperti api. “Ya, dia sudah menikah. Dan kau panggil dia. Sekarang juga!” “Oh, baiklah. Tunggu di sini,” kata pria itu kesal. Ia melirik Gretchen, mengerutkan kening, dan masuk ke kamar, membiarkan pengawal lain berdiri kaku dalam keadaan siap siaga. Terdengar percakapan samar, dan si pengawal kembali diikuti Philippe. Suami Gretchen masih mengenakan jubah. Ia terlihat sangat asing, dan sangat menarik. Philippe mengangkat dagu, menatap Gretchen seolah-olah tidak mengenal wanita itu. Semenit kemudian, Gretchen mendengar gerakan dan melihat Brianne Hutton di dalam sana. Wanita itu mengenakan setelan sutra hijau. Dia tidak terlihat berantakan, tetapi kenyataan bahwa wanita itu ada di kamar Philippe selarut ini sudah menjelaskan semuanya. “Apa yang kauinginkan, Gretchen?” tanya Philippe resmi. “Sekarang sudah terlalu larut untuk mendiktekan surat, bukan?” Di wajah Philippe yang ramping dan keras Gretchen bisa melihat bahwa hubungan apa pun yang pernah mereka miliki sudah hilang. Komentar itu mengejutkan Gretchen. “Mendiktekan surat?” kata Gretchen tergagap. “Kau sekretarisku, Miss Brannon,” Philippe mengingatkan dengan singkat. Ia terlihat sangat gelisah, dan tidak mau menatap mata Gretchen. Jadi inilah permainannya. Philippe akan berpura-pura mereka belum menikah sama sekali, bahwa dia masih lajang. Tidak heran dia menempatkan pengawal yang tidak mengenal Gretchen di pintunya, untuk melindunginya dari gangguan yang tidak diinginkan, gangguan dari Gretchen. Gretchen teringat bahwa ia tidak memiliki cincin kawin atau surat nikah. Hanya Philippe, Gretchen, Leila, dan orang-orang di upacara pernikahan yang tahu bahwa mereka sudah menikah. Leila, tentu saja, akan mengatakan apa pun yang Philippe katakan. Gretchen mengangkat dagu dengan angkuh. Hatinya hancur, tetapi ia tidak akan memohon. Kalau Brianne-lah yang Philippe inginkan, Gretchen tidak bisa memaksa Philippe kembali kepadanya. “Ya, Monsieur Sabon, saya memang sekretaris Anda. Itu, dan tidak lebih,” kata Gretchen tenang, hampir tidak melihat gerakan di kelopak mata Philippe. “Maafkan saya atas gangguan ini. Saya hanya datang untuk memberitahu Anda bahwa saya akan pulang besok dan Anda harus mencari pengganti saya. Selamat malam!” Setelah melemparkan bom itu, Gretchen berbalik ke arah pengawal muda yang sudah bersikap kurang ajar kepadanya tadi dan kini terlihat bingung. Gretchen melemparkan umpatan dalam dialek Arab yang sudah dipelajarinya dengan susah payah sejak kedatangannya, dengan harapan membuat suaminya senang. Umpatan itu pastilah bagus, karena pria itu memucat. Gretchen mempelajarinya dari sang syekh tua, yang meneriakkannya ketika seorang pelayan menghancurkan pot anggrek dan anggrek di dalamnya. Syekh tua itu terus mengulangi ucapan itu sampai Gretchen mengingatnya. Sang syekh tua memang menyayangi anggreknya. “Mademoiselle!” kata pengawal itu dengan suara tersekat. Tidak ada wanita yang pernah berbicara kepadanya seperti itu seumur hidupnya. Ia terperanjat. “Madame untukmu, dasar ular beracun!” omel Gretchen, marah karena seluruh situasi ini, terutama karena identitasnya sendiri disangkal suaminya. Ia mengangkat sebelah kakinya yang bersandal dan menendang tulang kering pengawal itu sekeras mungkin dan menghambur ke koridor. Alis Philippe terangkat tinggi sementara ia berdiri, terkejut, melihat Gretchen pergi dengan marah. Pengawalnya yang kini pincang melompat-lompat dengan satu kaki dan mencoba terlihat terhormat sembari melakukannya. Philippe melontarkan perintah ketus kepadanya dan membiarkannya kembali ke posnya. Dengan marah ia melirik pengawal lain yang mencoba keras tidak tersenyum. Pengawal itu berdiri tegak dan cepat-cepat menghadap ke depan. Philippe kembali ke kamar dan menutup pintu, merasa tidak enak pada Brianne. Ia sudah bersikap buruk. Gairahnya yang besar pada Gretchen telah mengejutkan dan membuatnya malu. Bahkan ketika ia masih muda, kegiatannya di tempat tidur biasanya tenang dan terkendali. Bersama Gretchen, ia telah mengatakan dan melakukan hal-hal yang tidak pernah terpikir akan dilakukannya dengan wanita lain. Kelemahan dan kerapuhannya telah membuatnya gelisah di dekat Gretchen. Ia tidak benar-benar percaya Grechen tidak akan memanfaatkan kerapuhannya. Wanita suka membuat pria mengemis-ngemis. Masa lalu Philippe dipenuhi wanita yang akan memanfaatkan kerapuhan itu untuk mendapatkan apa pun yang mereka inginkan darinya. Tetapi dalam berminggu-minggu sejak mereka kembali dari padang pasir, istrinya tidak mendekatinya, tidak merayu, tidak menuntut. Sikap Gretchen yang menjaga jarak membuat Philippe malu, dan sekarang ia juga berjuang melawan perasaan bersalah. Perlakuannya pada Gretchen malam ini akan menghantuinya. Apa yang ia kira bisa ia dapatkan bersama Brianne Hutton sekarang, kecuali persahabatan? Brianne mencintai suaminya. Dia berduka seperti janda sejak kedatangannya ke sini, setelah harus berpisah dengan suaminya. Di samping itu, kedatangan Brianne yang tiba-tiba dan kesulitan yang dialami wanita itu di Paris memenuhi pikiran Philippe. Ia pernah mencintai Brianne. Ia telah menghindari Gretchen, hidup dalam alam mimpi tempat Brianne dan anaknya adalah keluarga Philippe. Tetapi impian itu tidak nyata. Dan malam ini ia mendadak tersadarkan akibat kejutan besar. Gretchen akan meninggalkannya. Philippe tidak akan memiliki apa-apa, karena hanya itulah yang bisa diharapkannya bersama Brianne Hutton. Philippe masih memuja Brianne, tetapi wanita itu sudah menikah dan Philippe juga. Kalau memang ada kesempatan bagi mereka berdua, sekarang semuanya sudah terlambat. Yang selalu Brianne bicarakan adalah Pierce dan betapa menderitanya dia sejak mereka berpisah dalam keadaan marah. Ada satu hal lagi, hal yang membuat Philippe terguncang sampai ke dasar jiwanya—saat bersama Brianne ia tidak bergairah. Tubuhnya yang begitu bersemangat dan langsung merespons tubuh Gretchen sama sekali tidak bereaksi kalau berada di dekat Brianne. Luar biasa, pikir Philippe, karena ia membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk menyadari betapa buruk sikapnya terhadap orang-orang di dekatnya. Dan malam ini ia telah melakukan kesalahan terbesar di atas segalanya, dengan menyangkal pernikahannya dan membiarkan Gretchen pergi. “Kenapa kau memiliki sekretaris orang Amerika?” tanya Brianne penasaran. Philippe mengacak-acak rambutnya yang hitam dan tebal dengan tangan lalu mendesah berat sementara menunduk menatap mata Brianne yang bingung. Ia mengernyit. “Aku telah membuat banyak kesalahan dalam hidupku. Malam ini adalah kesalahan terbesar di atas segalanya.” Philippe tersenyum samar. “Gretchen bukan sekretarisku, Brianne. Dia istriku.” Wajah Brianne tiba-tiba terlihat takjub, kaget, lalu geli. “Istrimu?” tanya Brianne, nyaris geli. Philippe mengangkat bahu, terlihat malu. “Dia berasal dari Texas,” kata Philippe sambil tersenyum. “Dia berkuda seperti angin dan menembakkan Colt 45 seperti koboi wanita dalam film.” Ia terkekeh. “Dia berkuda ke arah medan perang dan diculik karena mencoba menyelamatkanku dari bahaya.” “Wanita yang sangat menarik,” kata Brianne hangat. “Mencoba menyelamatkanmu...?” “Dia hanya pernah melihatku dalam pakaian resmi,” Philippe menjelaskan dengan masam. “Dia mengira aku, apa istilahnya, pria lemah.” Brianne terkekeh. “Oh, astaga.” “Ayahku memujanya,” Philippe menambahkan. “Dia membiarkan Gretchen menyentuh anggrek-anggreknva. hak istimewa yang bahkan tidak kumiliki.” Senyumnya memudar. “Berbahaya baginya untuk pergi sekarang. Ayah tirimu masih ada di dekat sini, mungkin merencanakan kejahatan lagi.” “Kalau begitu tidakkah sebaiknya kau datang padanya dan memintanya tetap tinggal?” tantang Brianne sambil tersenyum nakal. “Butuh pria pemberani untuk berjalan ke sana tanpa senjata,” kata Philippe. “Kurasa pengawalku akan pincang selama seminggu. Dan dia mungkin tidak akan pernah pulih karena penghinaan Gretchen.” Ia meledak tertawa. “Aku tidak tahu Gretchen mengetahui umpatan seperti itu, dan dalam dialek orang-orangku sendiri. Kurasa ayahku telah mengajarinya, tanpa memberikan pengertian yang tepat. Aku benar-benar harus berbicara dengan ayahku.” Mata Brianne melembut ketika mendongak menatap Philippe. “Sudah lama aku berharap kau akan menemukan seseorang yang bisa, well, yang bisa menerimamu apa adanya dan membuatmu bahagia. Kau sahabatku. Aku peduli padamu.” Philippe mengangkat tangan Brianne ke mulutnya. “Sama seperti aku peduli padamu,” katanya lembut. “Dan akan selalu begitu. Tapi Gretchen…” Ia ragu sejenak, malu. “Aku... utuh... bersamanya.” Brianne menahan napas. “Philippe!” Philippe tersenyum. “Aku tidak pernah percaya pada keajaiban sampai dia memasuki hidupku. Aku sudah bersikap buruk padanya. Sekarang aku harus memperbaiki keadaan. Aku permisi dulu.” “Tentu saja.” Brianne terkekeh. “Kurasa aku benar-benar harus menelepon Pierce dan melihat apakah dia sama menderitanya seperti aku. Kalau dia memohon dengan baik, aku akan pulang.” “Dengan pengawalan orang-orangku,” kata Philippe tegas, “tidak sendirian. Aku tidak mau membiarkanmu membahayakan diri sendiri.” “Akan kukatakan pada Pierce.” Brianne berjinjit dan mencium pipi Philippe yang ramping. “Terimá kasih, Philippe. Kau sudah sangat baik pada Edward dan aku.” “Aku menyayangi putramu. Kuharap…” Ia mengangkat bahu lagi. “Tapi, satu keajaiban sudah cukup besar untuk diharapkan. Aku tidak boleh serakah.” “Aku menyadari dalam hidupku bahwa keajaiban Sering terjadi saat kau tidak mengharapkannya,” kata Brianne. “Bahkan dokter pun bisa salah.” Ia tertawa jail. “Seperti yang sudah kausadari, kurasa?” Philippe juga tertawa. Ia meninggalkan Brianne dan berjalan menyusuri koridor panjang ke arah kamar Gretchen. Di tengah jalan ia bertemu dengan Leila yang terlihat sedih dan bingung. “Sidi,” seru Leila sambil berlari ke arah Philippe. “Lady sedang berkemas. Dia tidak mendengarkan ketika aku mencoba menenangkannya, dan dia mengatakan kata-kata yang sangat mengerikan….” “Beruntung sekali kau tidak memegang senjata,” gumam Philippe datar. “Dia menendang salah seorang pengawalku.” “Dia sudah gila!” kata Leila. “Aku akan menghadapinya. Tidurlah,” kata Philippe. “Tapi, Sidi…” “Pergilah.” Leila membungkuk dan pergi tanpa membantah. Ketika Philippe tiba di kamar Gretchen, ia bertemu dengan ayahnya sendiri yang baru keluar dari sana. Ayahnya melotot ke arah Philippe dari ambang pintu “Sana dan lihatlah hasil perbuatanmu!” omelnya dalam bahasa Arab. “Dia akan pergi, dan semua ini karena perbuatanmu!” “Kau kedengarannya membenarkan diri sendiri, sementara bahasa yang Gretchen gunakan membuat salah Seorang pengawalku ketakutan!” Pria tua itu berdeham. “Dia mendengarnya dariku ketika salah seorang pengawal menjatuhkan cucuku dan mematahkan tangkainya. Aku tidak memberitahunya apa arti kata-kata itu.” “Seharusnya kau melakukannya. Aku mungkin akan dicela semua orang di rumah ini. Dan dia menendang salah seorang pengawalku begitu keras sampai pengawalku tidak bisa berjalan.” Ayah Philippe merapatkan bibir. “Benarkah? Kenapa?” Philippe berdeham. “Dia, euh, menghentikan Gretchen di depan pintuku dan tidak percaya bahwa aku adalah suaminya.” “Dia bisa dimaafkan, karena kau menghabiskan lebih banyak waktu bersama wanita dari Paris itu dan sedikit waktu dengan wanita yang kaunikahi.” Ayahnya melambai ke arah pintu. “Aku tidak bisa mencegahnya. Tapi aku sudah menegaskan agar Hassan ikut dengannya kalau dia pergi.” “Dia tidak akan pergi ke mana-mana,” kata Philippe angkuh. Pria tua itu menunduk menatap kaki Philippe yang terbungkus aba emas dan putih yang dikenakannya di atas thobe dan chalwar-nya. “Kusarakan kau memakai pelindung tulang kering sebelum menemuinya,” gumam ayah Philippe datar, dan berjalan pergi. Philippe menarik napas dalam-dalam dan berjalan memasuki kamar Gretchen. Ranjang Gretchen yang besar dan berkanopi dipenuhi pakaian ala Barat-nya yang sedikit. Gellabia, jubah, dan aba sutra serta beledu yang Philippe berikan kepadanya ditumpuk di dua kursi di dekat jendela. Rambut pirang panjangnya tergerai dan jatuh ke wajahnya sementara Gretchen menggerutu, melempar jubah mandi ke arah tumpukan pakaian yang tidak diinginkan. Ia melirik Philippe sekilas ketika pria itu masuk. “Datang untuk mengucapkan selamat tinggal?” Tanya Gretchen dingin. “Baiklah. Kau sudah mengatakannya. Selamat tinggal.” Philippe ragu sejenak, tidak yakin apa yang harus ia lakukan selanjutnya. “Brauer masih ada di sekitar sini. Ini waktu yang buruk untuk pergi.” “Aku membawa ‘Elvis’ pulang bersamaku,” kata Gretchen. “Dia akan melindungiku.” Philippe bersedekap, membelalak menatap Gretchen. “Aku tidak akan mengizinkanmu keluar dari negara ini. Aku akan menyuruh orang-orang menghentikanmu di bandara.” “Ayahmu sudah memberiku surat-surat yang kubutuhkan untuk pergi, dengan pesawat jet pribadinya, tanpa izin terkutukmu,” balas Gretchen. Mata Philippe mulai berkilat-kilat. “Kau istriku!” “Persetan dengan itu!” balas Gretchen, matanya menyala-nyala ketika berjalan ke arah Philippe. “Aku hanya sekretarismu. Kau sendiri yang berkata begitu!” Philippe mengernyit. “Aku ingin menjelaskan,” katanya. “Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Sekarang keluar dari kamarku!” Dagu Philippe terangkat perlahan. Amarah di wajahnya meningkat seiring tarikan napasnya yang dalam dan terkendali. “Kau tidak bisa memerintahku di istanaku sendiri, Madame!” “ini kamarku dan aku ingin kau keluar dari sini!” “Aku akan pergi kalau aku mau pergi,” geram Philippe. “Tidak sebelum itu!” “Kalau kau tidak keluar dari sini, aku akan—Philippe!” Gretchen berteriak tajam. Dengan wajah marah Philippe menggendong Gretchen. Ia berbalik, berjalan ke pintu, membantingnya sampai tertutup, dan menguncinya. “Turunkan aku!” kata Gretchen marah, melawan Philippe. “Aku mau pulang! Aku akan menikah dengan mandor peternakanku dan hidup bahagia selamanya, kau dengar aku?” Mengabaikan perlawanan Gretchen, Philippe membawanya ke ranjang dan melemparnya ke sana. Dengan senyum keji, Philippe membungkuk dan merobek kaftan yang Gretchen kenakan dari garis leher sampai pinggirannya, melepaskannya dari tubuh Gretchen kecuali celana dalam putih. Philippe juga menyentakkan celana itu sampai terlepas dan berdiri menjulang di atas Gretchen, gemetar karena marah dan cemburu pada pria di Texas yang pernah diakui Gretchen dicintainya namun tak pernah Philippe lihat wajahnya. “Dasar monster!” kata Gretchen dengan suara tercekik, mencengkeram selimut, menutupi ketelanjangannya sementara mendongak menatap Philippe dengan mata terbelalak. “Berani-beraninya kau!” “Kau istriku,” kata Philippe kasar, begitu terpengaruh gairah sampai tubuhnya bergetar kuat. Gretchen juga marah, bibirnya bergetar sementara Philippe berdiri menjulang di atasnya. “Bukan itu yang kaukatakan beberapa menit lalu! Dan apa yang ingin kaulakukan?” tuntut Gretchen. Philippe tertawa dingin. “Karena aku tidak akan rugi apa-apa, aku akan menunjukkan kepadamu apa yang kaunikahi,” katanya kasar. “Kalau kaupikir aku monster, biar kubuktikan kepadamu—sebelum kau meninggalkanku— bahwa kau benar.” Philippe mencengkeram pinggiran aba dan thobe-nya. lalu melepaskannya. Pria itu berhenti cukup lama untuk melepaskan sandal dan celana panjang sutra yang ia kenakan di balik jubah. Ketika Philippe berbalik, bekas luka yang memenuhi sisi kiri tubuhnya terlihat seperti guratan putih yang terpampang jelas di kulit cokelat alaminya. Tetapi bukan bekas luka itu yang menarik mata Gretchen yang kaget. Ia pernah melihat foto pria telanjang, tetapi Philippe berbeda. Ia tidak melihat kelemahan pria itu. Malah, ia tidak yakin ia mengenalinya kalau melihatnya. Ia terduduk tegak di ranjang, tiba-tiba bingung, dan menatap Philippe dengan mulut terbuka. “Well?” tanya Philippe marah, tinjunya terkepal di sisi tubuh. “Kau tidak mau mengatakan sesuatu?” Gretchen menelan ludah dan mengangkat matanya kembali ke mata Philippe. “Tidak heran rasanya sakit saat pertama kali,” katanya dengan nada serak dan takjub. 14 TUBUH Philippe yang kaku berubah santai. Kepalannya terbuka. “Apa?” Philippe memberengut. Gretchen menelan ludah lagi. “Kau mendengarku.” Matanya kembali jatuh ke pinggul Philippe dan wajahnya merah padam. Sesuatu berubah di wajah Philippe yang ramping. Ia bergerak mendekati Gretchen, duduk di pinggir ranjang menghadap Gretchen. “Aku ingin kau melihat bekas luka itu,” kata Philippe ragu. “Oh.” Mata Gretchen bertemu dengan mata Philippe, penasaran dan lembut. “Kenapa?” Philippe tertawa serak. “Kukira itu akan menjadi pembalasan yang tepat untuk kepergianmu.” “Pembalasan? Aku tidak mengerti.” Sudah jelas Gretchen tidak mengerti. Mata Philippe jatuh ke mulut Gretchen. Ia membungkuk dan mencium Gretchen perlahan, menggoda bibirnya agar terbuka. Ia merasakan tangan Gretchen yang malu-malu menyentuh dadanya yang berbulu dan membenamkan tangannva di sana. Tubuh Philippe menggelenyar karena sensasi yang ditimbulkannya. Philippe membaringkan Gretchen ke kasur dan bergerak mendekat. Ia merasakan lengan Gretchen memeluknya, merasakan kaki Gretchen yang panjang melembut dan meluncur di kakinya dalam belaian pelan dan malas. Tangan Philippe menangkup wajah Gretchen sementara mencium wanita itu. Lidahnya menyelinap perlahan di antara bibir Gretchen dan masuk ke kegelapan lembut mulut Gretchen. Tubuh Philippe membelai tubuh Gretchen, lama dan menggoda, berbisik di sana dalam keheningán yang semakin meledak-ledak setiap detiknya. Philippe merasakan hal serupa ketika masih remaja, ketika masih belum kenal lelah dan ingin bereksperimen. Ia memperlakukan Gretchen seperti mem-perlakukan perawan, perlahan-lahan menerbitkan gairah Gretchen, menolak kenikmatan yang dipinta Gretchen. Waktu berjalan lambat seiring irama percintaan mereka yang indah. Pada saat Philippe menarik Gretchen ke arahnya dan mulai menguasai wanita itu, Gretchen gemetar tanpa daya karena besarnya kebutuhannya. Gretchen memekik pelan di telinga Philippe, mencengkeram lengan Philippe yang kuat dengan kukunya sementara Philipppe bergerak intim di tubuhnya. Philippe merasa tubuh Gretchen melengkung dan ia mendongak menatap Gretchen. Ia membaca pikiran Gretchen melalui mata wanita itu. Tanpa bergerak, ia mengambil bantal kecil dan menempatkannya dengan lembut di tubuh Gretchen. “Ya,” bisik Philippe ketika ia bergerak lagi, kali ini dalam desakan yang membuat Gretchen terkesiap. “Untukku juga harus... sangat dalam.” Gretchen merintih ketika mulut Philippe bergerak menutupi mulutnya. Philippe membisikkan hal-hal yang kasar dan mengejurkan yang membuat Gretchen menggeliat. Gretchen merasakan kenikmatan bergerak naik seperti api yang meliuk, bergelantung pada kekuatan Philippe dan merasakan diri Philippe membesar seiring setiap belaian tubuhnya. Yang sebelum-sebelumnya tidak pernah seperti ini. Dalam detik-detik terakhir Gretchen hampir tidak yakin bisa menerima Philippe...! Philippe merasakan tubuh Gretchen mengejang, lagi dan lagi. Pria itu bersuka ria dalam kenikmatan Gretchen sampai kebutuhannya sendiri menuntut kepuasan. Ia menyerah pada tuntutan tersebut, tubuhnya ganas di tubuh Gretchen, berharap tidak menyakiti Gretchen dalam gairah liarnya. Ia melambung, terbakar, dikuasai api yang berdenyut dan terus berdenyut tanpa henti. Ia mendengar napasnya sendiri yang kasar mengembus di telinga Gretchen sementara berbaring di dekat tubuh Gretchen yang lembap, gemetar setelah ledakan percintaan mereka. Akhirnya, Philippe mendongak dan menatap wajah yang pucat karena derita dan air mata. “Gretchen!” bisik Philippe, terkejut. “Apakah aku menyakitimu?” Bibir Gretchen gemetar. Ia merasa mual. Ia sudah menyambut Philippe, mempermalukan diri bersama Philippe, padahal ia tahu pria itu melakukannya karena Philippe menginginkan Brianne dan tidak bisa mendapatkan wanita itu. Philippe memanfaatkan Gretchen, dan ia mengizinkannya, karena cinta tanpa daya dan memalukan yang tidak bisa ia kendalikan. Tetapi ini salah. Salah! Gretchen mendorong Philippe dan Philippe menarik diri darinya. Gretchen meringkuk dan menolak memandang pria itu. “Apakah aku menyakitimu?” desak Philippe. Gretchen menggeleng. “Kalau begitu ada apa?” Gretchen menelan ludah, membenci Philippe karena semua kenikmatan yang diberikan pria itu kepadanya. “Wanita itu sudah menikah,” bisiknya serak. “Tapi orang buta pun bisa melihat dia mirip denganku. Kurasa aku penggantinya malam ini, bukankah begitu? Kau tidak bisa mendapatkannya, jadi kau mendapatkanku. Kuharap kau menikmati ini.” Jantung Philippe seolah-olah berhenti. “Maksudmu? “Aku sangat malu,” isak Gretchen. “Aku tidak pernah merasa semalu ini seumur hidupku. Aku bahkan tidak kuat menolakmu. Aku membiarkanmu... memanfaatkanku!” Philippe tidak ingat pernah merasa semarah ini. Ia turun dari ranjang dan mengenakan pakaiannya kembali, begitu marah karena penghinaan Gretchen sampai lupa merasa malu dengan bekas lukanya. Tetapi Gretchen juga tidak menatapnya. Gretchen memunggunginya. Philippe meraih selimut dan melemparkannya ke tubuh Gretchen, wajah pria itu sekeras batu. Ia memarahi Gretchen dalam tiga bahasa, ucapannya kacau balau dan hampir tidak bisa dipahami. Gretchen berguling di balik selimut dan duduk, membelalak menatap Philippe dengan wajah marah. “Kau tidak tahan mendengar kenyataannya, bukan?” tuntut Gretchen sambil terisak. “Kau menginginkan wanita itu, tapi kau terlalu terhormat untuk melakukan ini bersamanya. Kau bahkan tidak memperkenalkanku sebagai istrimu, tapi ketika kau menginginkan seks, kau mencariku!” “Kau bukan lagi istriku,” kata Philippe dalam bahasa Inggris yang berlogat. “Aku menceraikanmu!” Pria itu. menjentikkan jari. “Kau boleh kembali ke Texas dan menikah dengan mandormu, dengan persetujuanku!” “Dan kau bisa mendapatkan perceraian untuk Brianne Hutton dan menikahinya, bukan?!” seru Gretchen. “Percayalah, apa pun yang kauinginkan, Madame!” Philippe berbalik dan menyerbu keluar kamar, membuat para pelayan berlari terbirit-birit sementara ia terus menyumpah, dengan keras dan jelas, sepanjang koridor. Leila berlari datang, merasa Lady-nya mungkin membutuhkannya. Ketika melihat wanita yang menangis itu di tempat tidur, Leila tahu ia benar. “Lady, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?” tanya Leila lembut. Bibir bawah Gretchen gemetar, tetapi ia mengangkat wajah dengan angkuh. “Kau boleh membantuku berkemas dan memanggil Hassan! Aku akan pergi sekarang juga!” “Tapi, Lady,” kata Leila. “Kau sudah mendengarnya,” jelas Gretchen. “Seluruh istana mendengarnya. Dia sudah menceraikanku. Aku tidak lagi bisa tinggal di sini!” Ia turun dari ranjang, sangat marah, dan mengenakan gellabia-nya. “Aku mau mandi, lalu aku mau kau memanggil sopir untuk mengantar aku dan Hassan ke bandara.” “Saya akan ikut dengan Anda,” Leila menawarkan diri. “Aku akan merindukanmu. Tapi kau tidak boleh ikut denganku.” Gretchen berpaling. “Tidak lama lagi kau punya Lady baru yang harus dilayani.” “Dia sudah menikah, Lady!” “Dia bisa diceraikan semudah Philippe menceraikan aku. Ayo. Aku ingin mengakhiri semua ini.” **** Seminggu kemudian Gretchen tidak hanya sudah kembali ke Jacobsville, tetapi juga sudah kembali bekerja. Gadis yang menggantikan tempatnya di perusahaan hukum di Barnes and Kemp hamil dan melepaskan pekerjaannya karena rasa mual pada awal-awal kehamilan membuatnya harus terus berbaring di ranjang. Lowongan itu untuk sementara terbuka, dan Gretchen harus mencukupi kebutuhannya sendiri sampai bisa mencari pekerjaan lain yang permanen. Ia juga terkejut karena Callie Kirby tidak ada di Jacobsville. Sesuatu yang misterius tengah terjadi dan tidak ada orang yang membicarakannya. Gosipnya ada gembong narkoba yang terlibat, dan bahwa Micah Steele, kakak tiri Callie, juga menghilang. Selain itu, tidak ada lagi yang diketahui umum. Gretchen bisa saja mencari tahu dari kakaknya, Marc, tetapi Marc juga belum pulang ketika Gretchen tiba. Connor Mack, mandor peternakan yang sudah tua, dan istrinya, Katie, menyambut Gretchen dengan tangan terbuka. Teman lama Marc dari sesama Texas Ranger, Judd Dunn, juga pulang untuk berlibur. Ia mampir untuk melihat keadaan Gretchen dan terkejut mendapati Gretchen bersama pengawal Arab setinggi 193 sentimeter yang mengekor ke mana pun Gretchen pergi. “Dari mana kau mendapatkan dia?” tanya Judd. “Hassan? Oh, dia maskawinku,” kata Gretchen sambil menyeringai. “Kurasa dia juga tunjangan perceraianku. Harus kuakui, aku tidak pernah merasa seaman ini selama hidupku. Dia menjagaku dengan sangat baik.” Mata hitam Judd berkilat-kilat penuh humor. “Apakah kau bisa masuk ke toilet wanita sendirian?” tanya Judd nakal. “Dia berdiri di luar pintu,” kata Gretchen sambil terkekeh. “Dia sangat mengintimidasi, bukan?” “Apakah dia bisa berbahasa Inggris?” Gretchen menggeleng, tersenyum pada Hassan, yang mengangguk dan balas tersenyum. “Tapi dia sangat baik Aku merasa sangat aman bersamanya.” Judd menyadari kilatan di mata Hassan, tetapi Judd tidak mengatakan apa-apa. “Apa yang akan kaulakukan dengan perkawinanmu?” Wajah Gretchen mengeras. “Tidak ada yang bisa dilakukan. Dia menceraikanku sebelum aku meninggalkan negara itu. Aku wanita bebas.” “Kedengarannya tidak terlalu sah,” komentar Judd. “Pernikahan itu hanya sah di Qawi,” jelas Gretchen. Ia bersedekap, berjuang menahan rasa mual. Sejak pulang, ia terus-menerus mengalami rasa mual yang menjengkelkan ini. Ia pasti terjangkit virus di Qawi ketika berada di padang pasir. “Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Gretchen. “Sulit,” kata Judd datar. “Mereka memaksaku bekerja dengan rekan baru, dan kami tidak akur. Aku merindukan Marc.” Ia menjejalkan tangan ke saku celana jinsnya. “Dia tidak akan pernah bahagia hidup dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Kenapa dia tidak pulang?” “Dia sendiri juga bertanya-tanya. Dia tidak gembira di FBI. Dia tidak suka dengan tugas yang mengharuskannya bepergian.” “Bagus. Kuharap rasanya sangat parah sampai dia tidak bisa tidur pada malam hari.” Gretchen tersenyum. “Tunggu saja. Dia mulai melemah.” Judd melirik Gretchen ketika mereka berbalik dan kembali ke rumah. “Aku bertanya-tanya kenapa dia pergi sejak awal. Dia suka menjadi Ranger.” Gretchen tidak akan membongkar rahasia Marc. terutama tidak kepada Judd. Alasan Marc pergi masih menyakitkan. “Dia menginginkan perubahan suasana.” “He-eh.” Judd merapatkan bibir. “Dan mungkin sekaligus menjauh dari seseorang.” “Aku tidak mengatakan apa-apa. Dan aku tidak akan melakukannya.” Judd terkekeh. “Tidak apa-apa. Aku juga tahu kapan waktunya menyerah.” Judd datang berkunjung dua kali lagi sebelum liburannya berakhir dan dia kembali ke markas besar di Austin untuk tugas berikutnya. Gretchen menyukai Judd, tetapi ia masih merasa agak terintimidasi dengan pria itu. Gretchen sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan mandor peternakan dan istrinya, yang memasak dan membersihkan rumah, Connor berumur lima puluhan dan begitu juga Katie. Gretchen bertanya-tanya apa yang akan Philippe pikirkan kalau tahu Gretchen “menyukai Connor ketika ia berumur enam tahun. Connor lebih mirip ayahnya daripada karyawan, Gretchen sangat menyayangi mandor tua itu dan Katie. Ia telah memberikan kesan yang salah kepada Philippe, tetapi hal itu tidak benar-benar mengganggunya. Gretchen masih marah tentang Brianne dan karena diperlakukan seperti budak di ranjangnya sendiri sementara ia menggantikan wanita lain. Harga dirinya hancur, tetapi tidak ada yang membantunya menghindar dari perasaan kesepian. Ia semakin merindukan Philippe setiap hari. Ia sedih memikirkan masalahnya sendiri, tetapi cemas tidak akan bisa menyelesaikannya. Ia berharap Philippe menelepon atau menulis surat, atau bahkan muncul di depan pintunya suatu hari. Tetapi sebulan berlalu tanpa kabar apa pun dari pria itu, dan Gretchen menyerah. Ia lesu dan menderita, sakit hampir sepanjang hari dan lelah, tetapi ia menampilkan sisi terbaiknya di depan rekan-rekan kerjanya. Hal buruk berikutnya adalah ia terpaksa mengunjungi Dr. Lou Coltrain setelah jatuh pingsan di tempat kerja. Ketika sadarkan diri, Hassan sudah membawanya ke tempat praktik dokter dengan truk peternakan. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana Hassan menemukan truk itu, tetapi pria itu memang cakap. Ia membantu Gretchen turun dari truk dan menuntun wanita itu, dengan cara paling halus, ke meja resepsionis dan menepuk bahu Gretchen dengan tangan seukuran daging ham. “Menurut Hassan aku harus bertemu dengan Dr. Lou,” kata Gretchen kesal. “Aku jatuh pingsan,” tambahnya. “Apakah Mr. Hassan itu suamimu?” tanya si resepsionis sambil menatap pria bertubuh besar itu dengan mata terbelalak. “Kisah tentang dirinya bisa dijadikan buku,” kata Gretchen sambil mendesah. “Bisakah kau membantuku, karena dia tidak akan membiarkanku pulang?” “Tentu saja! Pasien Dr. Lou hanya tinggal satu lagi. Dia akan pulang lebih awal, terapi tidak keberatan menemuimu. Duduklah.” Gretchen duduk. Hassan duduk dan menunggu bersamanya, mengabaikan lirikan takjub orang-orang lain di ruang tunggu itu. Sepuluh menit kemudian perawat memanggil nama Gretchen dan menuntunnya ke bilik kecil. Hassan mengikuti-nya, berdiri tegak di luar pintu. Lou Coltrain masuk beberapa detik kemudian. menatap pria bertubuh besar itu dengan penuh arti sebelum menutup pintu geser bilik dan menatap Gretchen. “Kau punya pengawal,” komentar Lou sambil tersenyum lebar. Dia juga berambut pirang panjang dan menikah dengan “Copper” Colttain, dokter lain di tempat praktik kecil itu. “Hassan.” kata Gretchen puas. “Walaupun aku memanggilnya ‘Elvis’. Dia maskawinku.” Lou mengenjap. “Maaf?” “Suamiku memberikan dia padaku sebagai maskawin. Aku boleh tetap bersamanya, walaupun suamiku sudah menceraikan-ku. Dia pengawalku.” Lou tersenyum lebar. “Apakah kau membutuhkan pengawal?” “Aku... dulu,” Gretchen mengoreksi, “menikah dengan kepala negara di negara kecil di Timur Tengah. Dia menceraikanku dan memulangkanku, tapi salah seorang musuhnya mencoba menghancurkan istana. Menurut mantan suamiku aku akan menjadi sasaran, jadi Hassan harus hidup bersamaku sampai salah seorang dari kami mati atau Kurt Brauer ditahan lagi. Lou memiringkan kepala. “Kisah yang bagus. Kau ingin menerbitkannya?” Gretchen melotot ke arah dokter itu. “Itu kisah nyata.” Lou mengangguk. “Tentu saja,” katanya, menyenangkan pasiennya. “Sekarang mari kita dengar gejala-gejalamu.” Gretchen menjelaskan gejala-gejala yang ia rasakan. Lou mengajukan pertanyaan dan Gretchen terkesiap keras ketika menyadari bahwa ia sudah tidak datang bulan selama dua bulan. Lou mengerutkan kening dan meminta perawat masuk untuk mengambil darah. “Menurutmu apa artinya?” tanya Gretchen cemas. “Kurasa kau hamil,” kata Lou datar. “Kita bisa mengetahuinya dengan menjalani salah satu tes ini. Mengingat sudah delapan minggu berlalu sejak kau mendapatkan menstruasi terakhir,” tambah dokter tersebut. “Kurasa ini bukan asal tebak.” Gretchen mencengkeram majalah lama dan mulai mengipasi diri dengan liar. “Aku tidak mungkin hamil,” kata Gretchen sesak napas. “Tidak mungkin.” “Kaubilang kau sudah menikah.” kata Lou. “Tidak, bukan itu.” Gretchen mendongak. “Mantan suamiku terluka akibat ledakan ranjau darat bertahun-tahun lalu.” katanya. “Dokter spesialis berkata bahwa dia tidak akan pernah bisa melakukan hubungan seks lagi atau memiliki anak. Mereka salah tentang bagian seksnya, tapi dia tidak pernah percaya mereka bisa salah tentang tidak mungkin memiliki anak. Dia tidak akan berpikir anak ini adalah anaknya.” Gretchen membenamkan wajah di tangannya. “Aku bahkan tidak bisa memberitahunya. Aku tidak tahan...!” Lou menggenggam kedua tangan Gretchen dan menggenggamnya erat-erat. “ini masih sangat dini,” katanya. “Kalau kau mau mempertimbangkan pilihan lain...” Gretchen menggeleng. “Oh, tidak. Tidak.” Ia menarik napas pelan dan melepaskan tangan Lou yang dingin dan kuat. “Aku menginginkan bayiku. Aku hanya harus memastikan dia tidak tahu.” “Pengawalmu ada di luar bilik ini,” cetus Lou. “Dan pintunya setipis kertas.” “Hassan tidak bisa berbahasa Inggris.” Gretchen tersenyum. “Dia sangat tampan, bukan?” “Sangat. Dan sebesar rumah.” Lou berhenti ketika si perawat kembali dengan hasil tes darah Gretchen, tersenyum lebar. “Yap,” kata Lou sambil membaca hasilnya. “Kau hamil.” Gretchen merasa seolah-olah tongkat sihir telah dikibaskan. Matanya melembut. Wajahnya berubah cerah. Ia menatap Lou dengan ekspresi yang masih agak bingung, agak takjub. “Hal pertama yang harus kaulakukan adalah pergi ke dokter kandungan,” kata Lou. “Yang terbaik yang kutahu ada di Houston, tapi kita punya dokter spesialis yang datang ke sini setiap hari Jumat dan bertugas di Rumah Sakit Umum Jacobsville.” “Aku lebih suka kalau ada dokter yang bisa merawatku di sini,” sahut Gretchen. “Bagus. Aku akan mengirimmu ke Dr. Genoa. Kau akan menyukainya.” “Dokter wanita.” Lou mengangguk. “Dan dokter kandungan yang sangat baik. Aku akan meminta Tilly membuatkan janji untukmu bulan depan. Sementara itu, banyak-banyaklah istirahat. Selain vitamin kehamilan, aku bisa memberimu Sesuatu untuk mengatasi mual pada pagi hari, obat yang aman.” Ia menulis resep. Ia menyerahkannya kepada Gretchen dan tersenyum. “ini bukan urusanku,” katanya lembut. “Tapi suamimu berhak tahu, walaupun dia sudah menceraikanmu.” Gretchen mengangguk. “Aku akan memberitahunya. Nanti.” “Pulanglah.” “Ya, Ma’am.” Hassan menemani Gretchen kembali menyusuni koridor dan ke truk peternakan. Hassan mengantarkan Gretchen pulang dan bukan ke tempat kerja, dan ia tersenyum penuh rahasia. Gretchen terlalu lelah, lemah, dan cemas sampai tidak menyadari senyuman itu. Tetapi dua hari kemudian, ketika sedang mengetikkan surat untuk Mr. Kemp di kantor hukum dan menghadang setengah lusin gangguan, sebuah limusin hitam panjang dengan bendera diplomatik berkibar-kibar, diikuti limusin berwarna gelap lainnya, berhenti di depan kantor. “Astaga,” seru salah seorang sekretaris sambil mengintip ke luar tirai, Matanya nyaris melompat keluar ketika melihat pria terhormat yang keluar dari limusin saat pintu dibuka oleh sopir berseragam. “Ada apa?” gumam Gretchen, otaknya masih berpusat pada ketikannya. “Orang penting! Dua limusin panjang!” “Astaga, mungkin Mr. Kemp menjadi pengacara Seorang mafia,” Gretchen terkekeh. “Sepertinya tidak, kecuali mafia itu punya cabang di Arab,” terdengar jawaban yang geli. Jemari Gretchen membeku di keyboard. Ia mendongak saat pintu terbuka dan wajahnya memucat ketika Philippe Sabon masuk ke ruangan, diikuti dua pengawal yang mengenakan kain penutup kepala dan igal, serta tiga pria. jelas-jelas orang Amerika, dalam setelan dan memakai earphone. Philippe membelalak ke arah pendamping-pendampingnya. “Tidak bisakah kalian berdiri di trotoar dan menakut-nakuti pejalan kaki?” tanyanya agak muak. “Kami mendapat perintah tegas untuk mendampingi Anda, Yang Mulia,” kata salah seorang pria yang mengenakan earphone itu dengan sopan. “Maaf.” Philippe mengatakan sesuatu dalam bahasa Arab kepada pengawal-pengawalnya, yang dengan patuh membuka pintu dan keluar. Philippe menoleh dan menatap Gretchen dengan mata hitam yang marah. Gretchen balas menatap pria itu, mengingat pertengkaran terakhir mereka ketika Philippe merobek pakaian dan menguasainya, lalu wajahnya memerah di luar kontrol. Philippe menggerakkan leher seolah-olah kerah bajunya mencekiknya. Ia mengenakan setelan hitam sutra yang sangat mahal, dasi, dan kemeja putih bersih. Rambutnya rapi, seperti kuku-kukunya. Ia selalu terlihat segar, seolah baru selesai mandi. “Ya?” tanya Gretchen dingin. “Ada yang bisa kubantu?” “Aku ingin berbicara denganmu. Berdua saja,” gumam Philippe sambil melotot ke arah sekretaris satunya, resepsionis yang ternganga, dan pria bersetelan di belakang Philippe. “Aku tidak ingin berbicara denganmu, sendirian atau pun tidak,” sahut Gretchen angkuh. “Pulang dan rayulah tamumu. Ingat, tidak? Kita sudah bercerai!” tambahnya galak. “Kita belum bercerai!” balas Philippe, semakin lama logatnya semakin kental. “Kau sendiri yang bilang kita sudah bercerai!” “Aku berbohong!” Philippe melempar kedua tangan ke atas dan melontarkan sumpah serapah dalam bahasa Arab yang ternyata hanya dimengerti Gretchen. Wajah Gretchen memerah dan ia berdiri. “Jangan gunakan bahasa seperti itu di depanku! Aku harus berbicara kepada ayahmu tentang bahasamu!” “Aku sudah berbicara kepadanya tentang bahasamu!” Gretchen menegakkan tubuh. “Apa maumu? Aku tidak akan pulang bersamamu, apa pun alasannya,” tambahnya tegas. “Aku sangat bahagia di tempatku sekarang.” “Ya, aku ingat kau pernah memberitahuku tentang mandormu tersayang,” kata Philippe dengan gigi mengertak. “Kuharap kau ingat kau wanita yang sudah menikah!” “Untuk yang terakhir kalinya, aku tidak menikah!” Philippe melotot ke arahnya dan Gretchen balas melotot ke arah pria itu untuk waktu yang lama. Mr. Kemp. yang tidak menyadari sesuatu sedang terjadi, menyerbu keluar dari ruangannya sambil membaca surat dan menabrak salah seorang pendamping Philippe. “Apa-apaan..?” ledak Mr. Kemp. Philippe melotot ke arah Mr. Kemp. “Siapa kau?” Pria yang satu lagi menyipitkan mata dan memberengut. “Aku Kemp. ini kantorku.” Ia membelalak. “Siapa kau?” Philippe mengangkat dagu menantang. “Aku Philippe Sabon, Syekh Qawi, pelindung orang-orang tak bersalah, pembela orang-orang setia, penguasa padang pasir... dan sebagainya, dan sebagainya.” Kemp tidak terkesan. Ia mengatupkan bibir dan melirik Gretchen yang merasa ingin menghilang dari sana. “Jadi ini mantan suamimu,” kata Kemp karena pernah diberitahu garis besar hubungan itu ketika Gretchen kembali bekerja padanya. “Kami belum bercerai,” kata Philippe marah. “Kau bilang kita sudah bercerai!” Gretchen mengingatkan. “Aku tidak tahu ada negara di dunia ini yang tidak membutuhkan dokumen resmi untuk mengakhiri pernikahan,” balas Philippe. “Tanyakañ saja pada atasanmu.” Kemp tersenyum lebar. “Dia benar, kau tahu.” “Kau bilang...!” Gretchen berteriak. “Aku mengatakan banyak omong kosong,” kata Philippe, berubah agak tenang sementara mengamati Gretchen. “Aku ingin berbicara denganmu.” Ia menoleh ke balik bahunya dan meringis. “Kita harus mengajak Secret Service, pengawalku, dan Hassan, tapi mungkin kita bisa menyumpal dan menutup mata mereka, lalu menyuruh mereka berdiri di sudut sementara kita membahas perselisihan kita.” “Itu melanggar peraturan, Yang Mulia,” kata salah Seorang agen Secret Service dalam logat Georgia yang kental. Philippe melotot ke arah agen itu. “Kalau aku menggunakan pengaruhku, Russell, aku bisa membuatmu ditugaskan mengawal delegasi PBB dari Salid. Rasanya dia memelihara ular kobra dan bergabung dengan perkumpulan kuno yang anggotanya hanya mandi sekali setahun….” “Saya lebih memilih untuk berdiri di sudut, Sir,” kata pria itu segera. Kemp berusaha menahan senyum. “Pulanglah,” katanya pada Gretchen. “Melly bisa menyelesaikan surat itu untukmu,” tambahnya. “Tentu saja,” kata Melly. Gretchen sudah meraih tasnya. Ia membawa pekerjaannya ke meja Melly dan menunjukkan apa yang harus sekretaris itu lakukan. “Dan jangan lupa janji sarapan besok pagi tentang proyek air yang baru itu,” ia mengingatkan Mr. kemp. “Aku tidak akan lupa. Jaga dirimu, Gretchen.” Gretchen tersenyum. “Terima kasih.” Philippe dan agen-agen Secret Service berdiri menyamping untuk membiarkan Gretchen keluar. Hassan yang tersenyum lebar menunggu di trotoar. “Dasar pengkhianat,” kata Gretchen pada Hassan. “Aku tidak tahu bagaimana kau bisa mengerti apa yang dikatakan Dr. Lou Coltrain kepadaku, tapi aku tahu Philippe ada di sini karena kau. Dasar terlalu protektif.” Hassan tersenyum lebar lagi. “Terima kasih banyak” katanya, dengan imitasi suara Elvis yang sempurna. Gretchen terkesiap. “Aku tidak memberitahumu, ya?” gumam Philippe ketika menghampiri Gretchen dan memberi isyarat kepada sopir limusin agar membukakan pintu belakang untuknya. “Hassan lahir di Tupelo, Mississippi. Dia memiliki aksen yang mengerikan, tapi bisa berbahasa Inggris dengan fasih!” 15 KEHADIRAN Hassan di dalam mobil membuat Gretchen malu untuk berbicara kepada Philippe. Ia melipat tangan di pangkuan dan kesal karena tatapan tenang dan memuji yang dilontarkan suaminya ke arahnya. Ia menyadari ada mobil lain yang mengikuti mereka, dan sadar bahwa pemerintah Amerika Serikat pasti juga menganggap Kurt Brauer sebagai ancaman sampai repot-repot melindungi Philippe. Hal itu membuatnya resah. Mereka tiba di peternakan sepuluh menit kemudian, dan Philippe meminta para pengawalnya tinggal di beranda bersama Hassan dan agen-agen Secret Service, sementara ia dan Gretchen masuk ke rumah. Katie muncul sambil menggosokkan tangan di celemek dan berhenti melangkah ketika melihat Philippe. “Katie, ini... suamiku,” kata Gretchen ragu. “Philippe, ini Katie. Dia dan suaminya, Connor, mengelola peternakan kalau aku dan Marc tidak ada.” Alis Philippe terangkat ketika melihat Katie dan usianya yang jelas terlihat dari penampilannya, dan Grerchen tahu Philippe teringat pada mandor yang “ditaksirnya.” Gretchen tidak pernah menyebutkan usia Connor dan kenyataan bahwa pria itu sudah menikah. Tetapi sementara menatap Gretchen, Philippe tidak berkata apa-apa. dan air mukanya tidak bisa dibaca. “Katie, bisakah kau membuatkan es teh dan membawanya ke beranda? Kurasa kita kedatangan enam orang tamu—tiga pengawal, termasuk Hassan, dan tiga agen Secret Service.” “Agen Secret Service!” Katie terlihat seolah-olah akan pingsan. “Tidak apa-apa, Katie,” sela Gretchen cepat. “Mereka hanya datang untuk melindungi Philippe selagi berada di negara ini.” Katie mengerutkan kening dengan cemas sementara menatap Gretchen. “Apakah dia tahu?” tanya Katie resah. Tentang bayi itu, maksudnya, dan sebelum Gretchen bisa menjawab, Philippe sudah menjawabnya. “Ya, aku tahu,” kata Philippe singkat dan menatap Katie sampai Katie berdeham lalu kembali ke dapur. “Kita bisa bicara di sini,” kata Gretchen. berjalan ke ruang kerja kecil dan menutup pintu. Ada meja kerja dan kursi, tempat Marc suka menulis, dan rak buku dengan kursi-kursi kulit nyaman yang menghadap jendela indah berpemandangan padang rumput. Banteng-banteng bertanduk panjang merumput di sana di dalam pagar kawat yang terjaga baik. Philippe memandang ke sekeliling ruangan, mengamati lemari senapan dan penghargaan menembak, juga peralatan elektronik yang kadang-kadang digunakan Marc dalam pekerjaannya. “Mengesankan ,“ komentar Philippe. “Ya.” Gretchen duduk di salah satu kursi dan menunggu ledakan dari Philippe. Philippe bergerak ke meja dan duduk di pinggirannya dengan tangan terlipat, matanya yang marah menatap mata Gretchen. “Ketika Hassan meneleponku, aku hampir tidak memercayai apa yang dikatakannya kepadaku,” katanya ketus. “Kau sudah menemui dokter, tentu saja.” Gretchen mengalihkan pandangan. Philippe menunggu, tetapi Gretchen tidak berkata apa-apa. Ia memberengut. “Tentunya masih terlalu awal untuk mendapatkan hasil tes kehamilan yang tepat.” “Sudah lebih dari delapan minggu,” kata Gretchen kasar. Keheningan yang mengejutkan terasa, diikuti tarikan napas yang jelas dan sumpah serapah sementara Philippe berdiri. Gretchen menatap Philippe. “Kenapa kau marah-marah?” “Sepertinya kau kesulitan menghitung, Madame. Kau baru sebulan kembali ke negara ini!” “Ya, dan aku hamil delapan minggu,” kata Gretchen. menunggu dengan tidak sabar. Mata Philippe menyala-nyala. Ia terlihat seolah-olah bisa meledak. “Kalau kau hamil delapan minggu, anak itu pasti anakku. Dan itu tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Kau berbohong!” “Berbohong!” Gretchen juga berdiri, tinjunya terkepal di sisi tubuh. “Kaupikir aku hamil di sini? Dan bagamana hal itu bisa terjadi?” Philippe terlihat gelisah. “Kau pernah berkata kau merasakan sesuatu kepada mandormu,” katanya kasar. “Ya, dan kalau-kalau kau tidak memperhatikan, Katie berumur 55 tahun—suaminya, Connor, berurnur 57 tahun!” Seiring detik berlalu Philippe terlihat semakin berbahaya. Ia mulai kehilangan arah. “Jadi? Bukankah kau kedatangan tamu pria, teman kakakmu…” “Sialan kau!” seru Gretchen sambil mengepalkan tinju lebih erat. Ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan agen Secret Service kalau Ia melemparkan kursi ke kepala Philippe. Philippe mendesah marah. Otaknya berputar-putar. Para dokter, spesialis, berkata bahwa tidak mungkin ia bisa punya anak. Gretchen tahu itu. Berani sekali Gretchen menuduh Philippe sebagai ayah calon anaknya “Aku tidak bisa memiliki anak!” ulangnya. “Dan kau juga tidak bisa berhubungan seks,” kata Gretchen sinis, “jangan lupakan itu!” Philippe melontarkan sederetan umpatan dalam bahasa Arab yang bisa membuat ayahnya bangga. “Hanya karena mereka salah satu kali, tidak berarti prognosis tiga spesialis internasional juga salah!” katanya. Gretchen sudah hampir menangis, tetapi Philippe tidak akan membuatnya menangis. “Percayalah apa pun yang ingin kau percayai, Philippe!” kata Gretchen dengan suara tersekat. “Aku tidak akan percaya pada isapan jempol terkutuk semacam itu!” balas Philippe. Itulah batasnya. Gretchen melontarkan umpatan yang lebih buruk lagi dalam bahasa Arab kepada Philippe, tetapi dengan lebih menggebu-gebu. Lalu, ketika kehabisan kata-kata, ia menggapai meja baca di samping lemari buku, memungut buku terberat di tumpukan kecil yang ditemuinya di sana, dan melemparnya ke arah Philippe dengan sekuat tenaga. Buku itu mengenai Philippe dengan bunyi keras dan memuaskan, membuat pria itu tercengang. “Apa yang kau lakukan?” ledak Philippe. “Menunjukkan koleksi bukuku kepadamu!” balas Gretchen marah. “Sakit, ya? Kenapa kau tidak memanggil agen Secret Service untuk menyerbu masuk dan melindungimu?” Gretchen melempar buku lagi, lebih keras, dan Philippe berhasil menghindari yang satu itu. Tetapi yang ketiga adalah yang paling berat di antara semuanya, dan buku itu mengenai bahu Philippe. Gretchen sedang meraih buku keempat ketika Philippe mendekat dan mencengkeram tangannya, menahannya di belakang tubuhnya. Gretchen melawan dengan marah dan menendang Philippe. Philippe mengerang dan mengangkat kaki itu dan ketika sedang lengah, Gretchen menendang kaki satunya lagi. Kali ini Philippe berteriak. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan kedua agen Secret Service dengan pistol teracung dan dua pengawal dengan senjata otomatis berdiri siap siaga di ambang pintu. “Keluar!” Gretchen dan Philippe serentak berteriak. Para pria itu langsung mundur dan menutup pintu di belakang mereka. Philippe menunduk menatap wanita berambut pirang yang marah dalam cengkeramannya dan tiba-tiba meledak tertawa. “Tidak heran para pelayan bersikap seperti sedang menghadiri pemakaman selama berminggu-minggu,” gumamnya sambil mendesah, memeluk Gretchen erat-erat ketika wanita itu mencoba menendangnya lagi. “Baiklah, aku menarik kembali semua tuduhan kotorku,” katanya lirih. “Harus kuakui, aku benar-benar tidak bisa membayangkanmu bersama pria lain seperti kau bersamaku. Tapi aku merindukanmu dan sangat cemburu ketika Hassan memberitahuku tentang tamumu.” “Kau tidak menghubungjku...” tuduh Gretchen marah. Tangan Philippe yang ramping meluncur ke punggung Gretchen, menahannya dengan tegas. “Aku malu,” akunya lirih sambil mengernyit. “Aku bersikap sangat buruk dan aku hanya pernah meminta maaf satu kali seumur hidupku, sampai sekarang.” Matanya yang hitam menatap mata Gretchen dengan penuh hasrat. “Brianne adalah temanku, Gretchen. Dia tidak pernah lebih dari itu. Dia tidak akan pernah bisa menjadi lebih dari itu.” Gretchen melemah. Ia tidak mau begitu. Tetapi rasanya sudah sangat lama sejak Philippe memeluknya, dan ia kesepian dan agak takut dengan kondisinya. Ia mengamati dasi sutra Philippe. “Judd adalah teman Marc. Aku dan dia tumbuh besar bersama. Dia sudah seperti kakakku sendiri.” “Aku benar-benar meminta maaf karena kecurigaanku,” kata Philippe lembut. Jemarinya membelai mulut Gretchen dengan ringan. “Aku ingin menebusnya.” Gretchen masih marah, dan membelalak menatapnya. “Benarkah? Berikan buku yang lain kepadaku,” gumamnya. “Akan kutunjukkan caranya kepadamu!” Philippe tertawa lagi, dan membungkuk dengan cepat, mencari mulut Gretchen dengan mulutnya. Gretchen menolak, tetapi hanya selama beberapa detik. Tubuhnya, yang haus ciuman dan belaian, menempel ke tubuh Philippe seperti bunga layu yang menyambut hujan pada musim semi. Ia mengerang, menarik tangannya dari cengkeraman Philippe sehingga bisa merangkul leher pria itu dan mendekatkan diri. Philippe menciumnya dengan segenap hati, langsung bergairah. Ia terkesiap di mulut Gretchen dan lengannya yang kuat bergetar samar. Gretchen mengerang dan Philippe memundurkan Gretchen ke meja dengan mendesak, mengerang sambil membaringkan Gretchen ke atas permukaan meja yang keras sementara Gretchen menggeliat. “Ini gila,” kata Philippe dengan suara tersekat, tetapi walaupun mengatakan itu, mulutnya kembali ke mulut Grechen dan tangannya terulur ke arah kaitan pakaian, begitu bergairah akan Gretchen setelah berminggu-minggu selibat sampai jemarinya tidak bisa membuka kaitan dan kancing. Ketika Gretchen menyadari niat Philippe, ia menarik bibirnya dari bibir Philippe. “Philippe, jangan! Sayang, kita... tidak bisa. . .!” ia terkesiap, tetapi Philippe sudah melakukannya. Gretchen mendongak, terkejut sampai tidak bisa berkata-kata, menatap mata Philippe yang berkilat-kilat sementara pria itu bergerak dengan mendesak, gemetar karena besarnya gairah. Philippe menahan pinggul Gretchen dengan sebelah tangan yang ramping sementara bibirnya menguasai bibir Gretchen. “Jangan berteriak,” katanya serak. “Aku tidak akan berani,” bisik Gretchen, menggigit bibirnya untuk mencegah dirinya mengerang sementara Philippe meningkatkan tekanan dan irama, dan Gretchen merasakan awal kenikmatan yang tidak asing dan menyenangkan. “Gretchen. Sayangku!” Tubuh Philippe bergetar karena liarnya gerakan tubuhnya, dan ia menangkap mulut Gretchen ketika erangan serak meluncur dari tenggorokan wanita itu. Rasa panas dan kekuatan Philippe membawa Gretchen pada kepuasan mengejutkan dan menggebu-gebu dalam beberapa detik. Ia merasa tubuh Philippe menegang ketika Gretchen membuka mata dan menatap lurus-lurus ke mata Philippe dan ia menegang, mengejang. Itu hal paling intim yang pernah dibayangkan Gretchen. Kehebatan keintiman ini menambah kenikmatannya sampai Gretchen terisak pasrah, yakin Ia akan mati. Mata Gretchen terpejam dan kukunya mencengkeram Philippe sementara mereka saling mendekap untuk kenikmatan liar terakhir. Beberapa saat kemudian Gretchen merasakan beban tubuh Philippe dalam pelukannya ketika Philippe terkulai. Gretchen mendesah gemetar, sadar bahwa pakaiannya berantakan dan celana dalamnya ada di suatu tempat di lantai. Philippe juga hanya tertutup dari pinggang ke atas. Pria itu mengangkat kepala dan menunduk menatap mata Gretchen, lalu mengangkat sebelah alis. Wajah Gretchen merah padam. “Lihat apa yang kau dapatkan kalau melempariku dengan buku?” tanya Philippe malas sambil mencoba mengatur napas. Gretchen menyentuh mulut Philippe yang keras dengan ujung jemarinya. “Aku harus membeli beberapa buku lagi untuk dibawa pulang.” Mata Philippe melembut. “Dan kukira aku harus mengikat dan memasukkanmu ke karung supaya kau mau kembali.” Gretchen menatap tubuh mereka yang masih menyatu. “Oh, tidak,” sahutnya, kembali mendongak, menatap ke mata Philippe. “Aku mencintaimu.” Napas Philippe tersekat dengan keras dan tubuhnya mulai terasa mampu. Ia mengumpat kasar ketika Gretchen melengkungkan tubuh dengan sensual. “Ya, kau suka ini bukan?” bisik Gretchen dan melakukannya lagi. “Peluk aku, Sayang... seperti ini…!” Ini terlalu cepat, terlalu cepat, terlalu cepat. Philippe merasakan ledakan-ledakan kecil di sekujur tubuhnya, di bawahnya, di sekelilingnya. Ia mengira ia tidak bisa bertahan menghadapi dalamnya kenikmatan yang diberikan Gretchen kepadanya. Tetapi dengan segera, tubuhnya memuaskan diri sendiri, dan Gretchen tertawa, dasar penyihir kecil berambur pirang. Philippe menggigit bahu Gretchen dengan senang, dan Gretchen melingkarkan kakinya yang panjang di sekeliling tubuh Philippe dan tertawa penuh rahasia di telinga Philippe sementara Philippe mengejang. “Dasar penyihir!” Philippe mengerang ketika ia bisa bernapas. “Kalau aku membuatmu bahagia, kau tidak akan membiarkanku pergi darimu lagi,” kara Gretchen sambil mendesah puas, menggeliat di tubuh Philippe. “Sayang, aku mencintaimu, tapi aku sangat tidak nyaman.” Philippe bergerak perlahan menjauh dari Gretcher dan berhenti dengan sengaja, tersenyum melihat kekagetan Gretchen ketika ia menarik diri. “Ternyata keberanianmu ada batasnya,” tuduh Philippe lembut dan mencium Gretchen sebelum berdiri kembali dan merapikan pakaiannya yang berantakan. Gretchen tertawa lembut sementara melakukan hal yang sama, matanya berkilat-kilat nakal ketika menatap mata Philippe. “Aku tidak akan pernah menatap meja kerja dengan cara yang sama lagi,” kata Philippe. Mata hitamnya berkilat-kilat jenaka. “Dan aku akan punya kisah-kisah menarik unruk anak-anak kita kalau mereka sudah cukup dewasa untuk memahaminya!” “Anak-anak kita.” Wajah Gretchen melembut sementara menghampiri Philippe dan menatap mata pria itu. “Kau tidak percaya ini anakmu ketika kau datang ke sini.” tuduhnya lembut. Tangan Philippe yang ramping menangkap bahu Gretchen dan mengernyir. “Aku takut memercayainva. Tapi setelah itu,” tambahnya nakal, melirik ke arah meja kerja, “aku tidak mungkin percaya kau membiarkan pria lain menyentuhmu. Kau kelaparan.” “Kau juga,” balas Gretchen. “Tentu saja. Aku belum menyentuh wanita mana pun sejak kau meninggalkanku.” Gretchen menatap Philippe. “Tapi, Brianne Hutton... ?” Philippe menarik Gretchen ke dalam pelukannya, memeluk wanita itu dengan lembut. “Dia tidak bisa membuatku bergairah. Bukan berarti dia tahu aku memikirkan hal seperti itu,” aku Philippe. “Selama satu atau dua hari mungkin aku mencoba kembali ke masa lalu ketika kami berdua masih lajang, masa lalu ketika aku tidak terpesona pada seorang wanita yang membuatku sangat bergairah dan sangat lemah sampai aku menginginkannya siang dan malam,” tambah Philippe dengan tatapan penuh arti yang membuat Gretchen tersenyum penuh kemenangan. “Tapi tubuhku seolah-olah mati ketika Brianne berada di dekatku. Tentu saja, tidak membantu juga karena dia merindukan suaminya dan terus membicarakan pria itu sepanjang waktu,” Philippe terkekeh. “Atau bahwa aku hanya bisa memikirkan dirimu, dan perlakuanku yang sangat buruk padamu, terutama setelah kau meninggalkanku.” “Dia tidak membuatmu bergairah?” tanya Gretchen, terperanjat. “Tapi kau dulu mencintainya?” “Benarkah?” Philippe mengangkat tangan Gretchen ke bibirnya dan menatap mata Gretchen. “Dia bersikap baik padaku, pada saat aku membutuhkan kebaikan. Tapi kau menyalakan api dalam diriku. Aku merasa hidup saat bersamamu, seperti yang belum pernah kurasakan sebelumnya, bahkan ketika aku masih utuh. Kau adalah bagian hidupku. Aku harus memilikimu, kalau tidak aku tidak akan pernah bahagia.” Mata Gretchen berbinar-binar. “Kau yakin?” Tangan Philippe terulur ke bawah dan menyentuh perut Gretchen dengan lembut. “Aku yakin.” Ia tersenyum nakal. “Salah satu spesialis yang berkata bahwa aku steril membuka praktik di Paris. Kita harus mengundangnya menghadiri upacara pembaptisan.” “Mengirimi mereka undangan berhiaskan ukiran,” Gretchen membenarkan dengan sepenuh hati sambil tersenyum lebar. Mata Philippe menatap mata Gretchen, lalu mendesah. “Padahal kukira aku akan menjalani hidup sendirian dan tidak utuh. Keajaiban yang kita bicarakan—kurasa aku sekarang memercayainya.” “Aku selalu percaya,” kata Gretchen ringan, dan berjinjit mencium Philippe. Mereka berjalan ke ruang tamu bersama, dalam keadaan berantakan, dan beberapa kepala menoleh dengan penuh tanda tanya. “Apakah Anda sudah siap pergi, Sir?” tanya Russell. anggota Secret Service dari Georgia, dengan sopan. Philippe menggeleng. “Tidak sampai besok. Kurasa istriku harus mengurus beberapa hal sebelum kami meninggalkan negara ini lagi.” Ia merapatkan bibir dan tersenyum geli melihat keresahan para pria bersetelan itu. “Tentunya satu malam di peternakan Texas tidak menyulitkan kalian?” “Saya berasal dari Los Angeles,” kata agen yang satu lagi. “Kuda membuat saya ketakutan setengah mati.” “Dasar penakut,” dengus agen dari Georgia. “Oh ya?” balas agen dari Bronx. “Well, aku tidak melihatmu menyerbu maju untuk menghentikan banteng Bahama yang hampir menerjang Perdana Menteri Soviet di rumah musim panas Presiden di dekat Fort Worth, Russel!” Agen dari Georgia itu tertawa terbahak-bahak. “Brahma, dasar idiot, bukan Bahama!” “Kalau Texas Ranger itu tidak menyerbu masuk, kita pasti sudah mengalami Perang Dunia III!” “Itu juga bukan banteng, hanya sapi perah,” dengus agen yang lebih tinggi. “Sapi itu hanya bermain-main dengannya.” “Agen itu butuh sepuluh jahitan dan sang presiden harus membelikan sepasang celana panjang baru untuknya,” agen ketiga berkomentar. “Dan keesokan harinya kami mendengar mereka mengirimmu ke Rawa Okefenokee untuk mengawal wakil presiden ketika dia sedang berlibur.” Si agen Georgia melotot ke arah agen dari Bronx. “Aku yang meminta tugas itu! Aku suka rawa-rawa!” Agen Bronx terkekeh. “Tentu saja kau suka.” “Kalian semua bisa tidur di pondok peternakan,” kata Gretchen, menyela mereka. “Tidak, kami tidak bisa, Ma’am,” bantah agen dari Bronx. “Kami harus berada di mana pun Yang Mulia berada.” “Di kamar tidur?” seru Gretchen kaget. “Ma’am!” seru agen itu, dan wajahnya memerah. “Bukan seperti itu juga!” Philippe tertawa terbahak-bahak. “Maksudnya dia harus berada di jarak seruan,” katanya. “Kita bisa meminta kasur-kasur diantarkan ke ruang duduk, tentu saja,” “Tentu saja,” kata Gretchen, tenang. “Para pengawalku akan tidur di depan pintu, bersama Hassan,” lanjut Philippe, melihat wajah Gretchen memerah. Ia terkekeh. “Kita akan aman.” “Tentu saja kau berkata begitu,” gumam Gretchen sambil menatap pria-pria lain. “Mereka semua punya senjata.” Russell, si agen dari Georgia tersenyum lebar. “Tidak apa-apa, Ma’am, kami hanya diizinkan membawa satu peluru untuk satu pistol, dan kami harus memisahkannya dari pistol kami.” Si agen dari Bronx memukulnya. “Atasan kita tidak mungkin sebodoh itu dan memberikan peluru kepadamu. Ayo keluar dan periksa keadaan sekeliling.” “Baiklah.” Mereka pergi, dan Philippe memberi isyarat kepada para pengawalnya sendiri untuk ikut. Berarti hanya tersisa “Elvis” yang tersenyum lebar kepada Gretchen. “Kau tidak pernah berkata kau bisa berbahasa Inggris.” gerutu Gretchen kepadanya. “Anda tidak pernah bertanya,” katanya angkuh dan setelah membungkuk dengan hormat, keluar menyusul yang lain. Philippe menarik Gretchen ke dalam pelukannya dan mendekap wanita itu. “Akhirnya kita berduaan juga,” gumamnya. Ia sedang mencium Gretchen dengan penuh semangat ketika suara mobil terdengar diikuti kegemparan hebat di luar sana. “Kalian pikir kalian itu siapa?” terdengar suara marah dan sangat tidak asing dari pekarangan depan. Terdengar kekacauan lagi. Gretchen bergegas menyerbu ke beranda tepat waktu untuk melihat agen Secret Service berusaha menjatuhkan kakak Gretchen yang bertubuh besar dan marah. Marc memberikan perlawanan keras sambil menahan diri melawan mereka semua yang diikuti gerutuan, teriakan kesakitan, dan pukulan. “Marc!” seru Gretchen. Marc mendongak, teralihkan cukup lama sehingga agen Secret Service bisa menahan tangannya di belakang tubuh dan memborgolnya. Marc mulai mengumpat dan salah seorang pria itu mundur. Gretchen berlari mendahului Philippe ke tangga dan menghampiri agen dari Georgia. “Kau tidak bisa memborgolnya!” serunya. “Dia kakakku! Dia tinggal di sini!” “Kami baru saja melakukannya,” kata agen dari Bronx dengan dingin sambil mengelap luka di pipinya dengan saputangan. “Dan dia akan menghadap hakim karena menyerang agen federal!” “Dan kau akan duduk di sampingku juga. dasar brengsek!” kata Marc kepada pria itu. “Aku FBI!” “Tidak,” pria dari Georgia itu berkata pelan ketika mulai menghubungkan nama keluarga Marc dan negara bagian ini. “Oh, tidak. Tidak, kau tidak mungkin Brannon yang itu!” Mata Marc yang berwarna abu-abu menyipit di wajahnya yang ramping dan kecokelatan, dan rambut cokelatnya yang bergelombang serta dihiasi berkas pirang sepertinya berdiri ketika melotot ke arah pria yang satu lagi. “Terkutuklah kalau aku bukan orang itu. Aku memang Brannon! Dan kali ini kau akan mendapatkan ganjaran, Russell.” Marc mengacungkan tinjunya yang besar dan mengguncang borgol yang menahan tangannya “lepaskan benda sialan ini dariku!” Russell menelan ludah. “Sebaiknya kau yang melakukannya.” katanya pada pria dari Bronx. “Dia punya hubungan dengan pengacara negara bagian, dua senator Amerika Serikat, dan wakil presiden.” Pria yang satu lagi meringis sementara merogoh kunci borgol. “Well, bagaimana aku bisa tahu? Dia tidak memperkenalkan diri dengan benar!” “Memperkenalkan diri. sialan!” Marc meledak sementara menyentakkan borgol yang sudah terlepas dan melemparnya ke arah si agen Secret Service. “Kau menjatuhkanku begitu aku keluar dari mobil sialanku” “Dia menjabat sebagai Texas Ranger selama sepuluh tahun,” kata Russell resah. “Dan agen terakhir yang memborgolnya dipindahkan ke rawa Okefenokee untuk mengawal wakil presiden yang sedang berkemah.” “Bagaimana acara berkemahnya, Russell?” tanya Marc dengan mata perak berkilat-kilat dan senyum mengejek. “Saya sangat bersenang-senang. Sir,” kata Russell sambil meringis. “Saya tidak pernah tahu ular yang dibakar di atas api unggun bisa selezat itu. Kalau Anda bertemu dengan wakil preseiden, Anda bisa mengatakan padanya,” tambahnya penuh harap. Gretchen tertawa senang dan berlari memeluk kakaknya. Marc menggendong Gretchen dan menciumnya dengan keras, ekspresinya berubah menjadi kegembiraan penuh kasih sayang sementara menurunkan Gretchen. “Apa kabarmu?” tanya Marc lembut. “Dan kenapa kau tidak berada di Qawi dan melakukan pekerjaanmu?” tambahnya sambil memberengut, menatap pria jangkung yang jelas-jelas asing yang berdiri di dekat Gretchen. “Dia hamil,” kata Philippe dengan mata berkilat-kilat. Marc memberengut. “Hamil?” Ekspresinya melembut ketika menunduk menatap adiknya. “Aku akan menjadi paman?” “Tentu saja,” kata Gretchen sambil melamun. “Dia bayi ajaib.” “Maksudnya?” Lengan Philippe yang panjang menarik Gretchen kembali ke dadanya dan ia tersenyum pada Marc dari puncak kepala Gretchen yang pirang. “Aku diberitahu bahwa aku tidak bisa memiliki anak, di antara hal-hal lain,” katanya ringan. “Gretchen telah mengubah hidupku. Aku memujanya.” “Siapa kau?” tanya Marc. “Atasannya?” “Suaminya.” koreksi Philippe. “Yang Mulia adalah syekh dari Qawi,” kata Russell, si agen dari Georgia. Alis Marc terangkat. Ia menatap Gretchen “Kau sudah menikah?” Gretchen melotot ke arahnya. “Tentu saja aku sudah menikah!” katanya kesal. “Bagaimana lagi aku bisa hamil?” Ekspresi Marc penuh rahasia sementara menatap Philippe penasaran. “Bukankah kau muncul di berita malam dua tahun lalu? Waktu itu negaramu diserang, kurasa.” Philippe mengangguk. “Diserang dan diduduki. Beberapa teman yang berpengaruh membantuku menyingkirkan para tentara bayaran. Tapi sekarang pemimpin mereka sudah keluar dari penjara dan menimbulkan masalah.” “Brauer,” kata Marc tiba-tiba. Ia melotot ke arah agen-agen Secret Service. “Sekarang aku mengerti kenapa ada semua keamanan ini di sekitar sini. “Tentunya dia tidak akan mencoba melakukan apa-apa di wilayah Amerika?” “Kami tidak bisa menjamin hal itu,” kata agen dari Bronx. “Karena itulah kami ada di sini.” Marc mengangkat dagu. “Bukankah kalian sudah menangkapnya?” “Brauer berada di perbatasan negaraku, di Salid,” kata Philippe. “Kami memiliki pasukan militer elite yang mencoba menangkapnya sekarang ini.” Mata hitamnya menyipit. “Harus ada pernikahan kenegaraan,” tambahnya. “Gretchen mengandung ahli waris takhtaku. Upacara Sederhana yang kita lakukan beberapa minggu lalu tidak cukup untuk stabilitas negara. Kita harus terbang pulang besok. Akan bagus kalau kau bisa ikut dengan kami,” tambah Philippe, mengejutkan. “Aku akan meminta cuti,” kata Marc langsung, membuat Gretchen senang. “Aku akan memintanya untukmu,” sahut Philippe. “Mengingat besarnya sumber minyak kami yang baru dan status bangsa kami di mata pemerintahmu. kurasa aku memiliki daya tarik politis yang lebih daripada yang kau miliki saat ini,” tambahnya sambil tersenyum lebar. Lalu senyum itu memudar. “Aku juga ingin mengundang beberapa teman lama yang berpengalaman mengurus teroris internasional.” Marc mengangkat sebelah alis. “Micah Steele?” “Bukan. Kurasa dia sedang terlibat sesuatu. Aku memikirkan orang dari Montana, dan beberapa orang lagi,” ia membenarkan. Russell memberengut. “Dengar, Yang Mulia, Anda tidak bisa mulai mengekspor tentara bayaran ke negara asing!” “Warga pribadi,” Philippe menenangkan mereka, menarik Gretchen mendekat. “Tamu-tamu pernikahan,” tambahnya sambil tersenyum. Marc menatap agen-agen Secret Service itu. “Aku bisa menelepon wakil presiden kalau kalian punya masalah dengan itu.” “Aku tidak punya masalah apa pun di dunia,” kata Russell cepat. “Bagaimana dengan kalian?” “Kami juga tidak,” kata agen-agen lain serentak. Marc berjalan ke beranda, “Kalau begitu, kita bisa meminta Katie membuatkan makan siang. Aku lapar sekali!” Mereka duduk dan mengobrol sampai larut malam. Keesokan paginya, para koboi berkumpul di padang rumput untuk menonton kuda jantan baru yang dibeli Marc ketika berada di Austin di markas besar Texas Rangers, melamar pekerjaan lamanya kembali. “Bagus, bukan?” tanya Marc pada Gretchen dan Philippe, mereka semua mengenakan denim dan kemeja katun—ukuran tubuh Philippe sama dengan ukuran Marc, dan Philippe meminjam beberapa pakaian untuk dikenakan sehari-hari. “Sangat bagus,” kata Philippe takjub. “Cantik, bukan?” tanya salah seorang koboi sambil melirik penuh arti ke arah Philippe, yang terlihat anggun bahkan dalam denim. “Kurasa suami Miss Gretchen ingin menungganginya?” Russell melangkah maju. “Nah, nanti dulu,” katanya. “Ya, aku pasti akan senang mencobanya,” kata Philippe sambil tersenyum nakal, dan memanjat pagar padang rumput dengan tangkas. “Yang Mulia!” si agen dari Bronx berseru memprotes. “Tidak apa-apa,” kata Gretchen pada Si agen dan Marc yang terlihat cemas. “Percayalah padaku.” “Dia mungkin bisa mendompak. sedikit, Mister, dan Anda mungkin bisa cedera,” kata si koboi dengan senyum nakal. “Apakah menurut Anda, Anda bisa tetap berada di atasnya? Atau apakah Anda berubah pikiran?” “Aku akan... mencoba,” kata Philippe sambil balas tersenyum. Philippe mencengkeram tali kekang, membelai kuda itu dengan lembut dan berbicara di telinga kuda itu. merasakan ketakutan kuda itu, getaran halusnya. Ia memalingkan wajah kuda itu ke arah sinar matahari dan tiba-tiba melompat ke punggungnya dan bertahan. Kuda jantan itu mendompak liar, tetapi Philippe terlihat seolah-olah sudah menempel di pelana. Ia tertawa senang ketika kuda itu melompat dan mendompak di sekeliling padang rumput itu beberapa kali sebelum suaranya yang lembut dan belaiannya yang halus menjinakkan kuda itu. Ia membelai surai kuda itu dan berbisik di telinganya. lalu menungganginya dengan anggun mengelilingi lapangan beberapa kali sebelum melompat turun dengan anggun dan menyerahkan tali kekangnya kepada koboi yang terkejut yang tadi menantangnya menunggangi kuda itu. “Aku mengembangbiakkan kuda-kuda Arab keturunan murni,” kata Philippe padanya. “Aku melatih mereka sendiri. Ini kuda yang bagus, tapi dia tidak punya stamina. Kalau kau bermaksud mengembangbiakkannya, hal itu harus diperhitungkan.” Philippe memanjat keluar dari padang rumput dan menancapkan kaki ke tanah. Marc terkekeh. “Seharusnya aku sudah tahu. Tapi kau memang terlihat seperti pria kota lemah kemarin,” gumam Marc datar. Philippe balas tersenyurn. “Begitulah yang dipikirkan adikmu, pada awalnya, sampai dia melihatku menunggang kuda.” Ia mengulurkan tangan dan Gretchen langsung menghampirinya. “Suatu hari nanti aku harus menceritakan kisah bagaimana dia berkuda untuk menyelamatkanku dengan sepucuk pistol Colt .45 di tangannya.” “Aku tidak akan terkejut,” aku Marc. “Dia gadis yang hebat.” “Ya.” Philippe mencium kening Gretchen dengan hangat. “Aku pria yang beruntung.” Mereka terbang ke Qawi hari itu juga, dikawal ke dalam pesawat oleh para agen Secret Service dan dikerubungi para pengawal Philippe di dalam pesawat jet pribadi, bersama Bojo, yang diingat Gretchen dari Tangier, dan tiga pria lain yang lebih tua yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Marc ternyata bersahabat dengan para tentara bayaran itu, dan mereka berbicara dengan pelan selama penerbangan, berhati-hati menjaga percakapan mereka tetap rahasia. Gretchen tahu Cord Romero belum mendapatkan kembali penglihatannya, dan temannya, Maggie, masih bersama Cord, mencoba membantu pria itu mengatur kembali hidupnya. Hanya itu, tidak ada berita lain lagi. Tetapi banyak obrolan tentang Kurt Brauer. Gretchen merasa gugup dengan pernikahan kenegaraan yang menurut Philippe harus dilangsungkan. Tetapi Philippe menenangkannya dan berjanji segalanya akan berjalan lancar. Gretchen harus membiarkan Philippe dan para pengawalnya untuk mencemaskan hal itu. Semuanya akan baik-baik saja, dan Brauer akan ditangani. Gretchen tahu ia sangat aman, tetapi ia mencemaskan Philippe. Brauer sudah setengah gila karena ingin membalas dendam. Pernikahan itu akan disiarkan di televisi. Itu akan menjadi kesempatan yang sempurna untuk serangan teroris. 16 GRETCHEN pikir ia belum pernah melihat begitu banyak kru kamera, truk satelit, dan orang-orang pers dalam satu tempat seumur hidupnya. Walaupun ia tahu pernikahannya akan disiarkan di televisi, ia tidak pernah membayangkan sesuatu berskala besar seperti ini. Kegembiraan Philippe yang tidak disembunyikan atas kehamilan Gretchen telah tersebar dengan sendirinya kepada semua orang di istana, terutama ayah Philippe, yang memenuhi kamar Gretchen dengan anggrek sebagai hadiah selamat pulang. Para pelayan melakukan semua hal yang mungkin untuk membuat Gretchen nyaman, dan setiap malam Gretchen tidur dalam pelukan suaminya. Satu-satunya awan gelap adalah Kurt Brauer, yang menjadi gangguan menjengkelkan dalam kebahagiaan mereka, dan Gretchen benci mendengar namanya disebut-sebut. Paman Philippe yang telah membantu Brauer memata-matai Philippe dengan mencurigakan tidak ada di tempat seharusnya. Dia sudah pergi, bersama mantan kepala keamanan, mencari perlindungan di negara tetangga. sekutu-sekutunya yang lain telah bersembunyi. namun Philippe tidak mengambil risiko dengan mengurangi tingkat pengamanan. Bojo terlihat di istana, bersama para tentara bayaran yang terbang bersama Philippe dari Texas. Pria yang paling tua adalah hakim di Chicago bernama J. D. Brettman. Dia ditemani peternak tampan berambut pirang dari Montana yang dipanggil “Dutch” oleh yang lain. Anggota ketiga dalam kelompok mereka sangat Latin, dengan kumis dan sikap yang memesona. Dia dipanggil Laremos, dan beserta keluarganya tinggal di dekat Cancun, Meksiko. Gretchen tahu dari suaminva bahwa ketiga orang itu sebenarnya sudah pensiun, namun demi mengamankan pernikahan—sebagai bantuan untuk Philippe—mereka datang ke Qawi. Mereka juga mengenal beberapa anggota yang lebih muda dari Jacobsville, Texas, yang terlibat dalam pemberantasan gembong narkoba yang kuat dan kartel Meksiko-nya. Agak mengejutkan ketika tahu bahwa si peternak, Eb Scott, yang suka menyendiri juga merupakan anggota kelompok mantan tentara bayaran itu, bersama Cy Parks dan Micah Steele. Sementara itu, keamanan di Palais Tatluk sangat hebat. Hassan mengikuti Gretchen ke mana-mana, dan Leila tidak pernah jauh dari pandangan kecuali pada malam hari. Sang syekh tua, ayah Philippe, mendaparkan perlindungan khusus. Para tentara bayaran itu sepertinya bersenang-senang. Untuk pria-pria berusia 40-an, pikir Gretchen, mereka sangat sehat dan ahli dalam mengatur keamanan. Ia tidak pernah melihat begitu banyak peralatan elektronik seumur hidupnya. Ia mengamati salah satu alat, alat yang bisa merekam suara semut berjalan di lantai beton di samping air mancur dan merekam setiap gerakannya. Bahkan Marc tidak memiliki peralatan secanggih ini. “Oh, kami sangat teliti,” kata si pria berambut pirang, “Dutch”, kepada Gretchen sambil tersenyum lebar. “Karena itulah kami bisa hidup lama.” “Kalian semua sudah berkeluarga, bukan?” tanya Gretchen. Dutch mengangguk. “Aku dan istriku memiliki dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Laremos dan istrinya memiliki seorang putra dan seorang putri, sementara Brettman dan Gaby memiliki seorang putri. Mantan atasan kami, Apollo, dan istrinya, Joyce, sedang menunggu anak kedua mereka yang akan lahir musim Semi ini.” Ia terkekeh. “Tidak ada seorang pun di antara kami yang tadinya berharap bisa menikah.” “Aku juga,” kata Gretchen sambil melamun, menatap suaminya yang jangkung yang sedang berbicara kepada sekretaris persnya dan dua anggota media. “Kurasa kau tahu bahwa suamimu telah menjadi sasaran gosip yang menarik selama bertahun-tahun,” gumam Dutch datar. Gretchen tersenyum lebar. “Dia akan menjadi sasaran gosip yang lebih menggemparkan lagi begitu aku mulai mengenakan pakaian hamil,” kata Gretchen. Dutch mengerucutkan bibir. “Well!” Gretchen meletakkan tangannya dengan protektif di perutnya yang masih datar, lalu tersenyum. Dutch selesai memasangkan salah satu peralatan elektronik itu dan melirik ke arah Philippe. “Kukira Laremos berbohong ketika berkata suamimu bisa melawan teroris. Luar biasa, dia terlihat sangat kosmopolitan sampai kau melihatnya memegang senjata.” Gretchen menatap Dutch penasaran. “Bagaimana kau tahu penampilannya ketika dia memegang senjata?” “Apakah tidak ada yang memberitahumu bahwa kami bagian dan tim yang datang sejak awal untuk membebaskan Qawi dari Brauer?” tanya Dutch. “Kami ada saat serangan pertama, tepat di samping Philippe dan pengawal pribadinya.” Dutch bersiul. “Dia menghadapi peluru secara langsung,” katanya sambil menggeleng. “Aku belum pernah melihat seseorang yang seperti itu. Dia pergi mencari pemimpin kelompok itu, orang yang kemudian dikatakan telah membunuh pelayan rumahnya, Miriam, di pulau pemerintah di Jameel. Aku tidak akan menceritakan apa yang terjadi, tetapi bahkan beberapa prajurit berpengalaman menjauh darinya setelah itu. Dia orang yang tidak ingin kautemui saat marah.” Gretchen mengerucutkan bibir dan wajahnya memerah. “Well, aku pernah melihatnya saat marah,” komentarnya, dan tidak cukup berani untuk menambahkan bahwa suaminya telah menguasainya dua kali, merobek pakaiannya dengan gaya terbaik para pahlawan yang merobek pakaian wanita seperti pada zaman film-film bisu. Tentu saja, amarah itu tidak selalu ada, Philippe juga halus dan sangat lembut pada Gretchen. Dutch bisa membaca arti tersirat di sana. Ia terkekeh. “Tidak heran dia mengomeli pengawal yang terlihat santai di dekatmu. Salah seorang di antaranya, kukira, sedang cuti sakit. Sepertinya dia terluka…” “Oh, astaga!” Gretchen mengerang, menyembunyikan wajah dengan tangan. “Aku tidak menduga aku menendangnya sekeras itu” “Bukan tendangan itu yang melukainva, kudengar,” gunam Dutch kering sementara menyesuaikan peralatannya. “Tetapi tinju yang sangat keras di rahangnya. Beberapa giginya terepas dan jabatannva diturunkan, lalu dipindahkan untuk menjaga seekor unta tua di kandang. Unta itu milik ayahnya dan digunakan saat kudeta yang menyingkirkan orang-orang Eropa dan mengembalikan keluarga Tatluk pada puncak kekuasaan di Qawi.” “Philippu nmemukulnya?” “Beberapa kali, kurasa,” Dutch tekekeh. “Prajurit itu tidak akan pernah mempertanyakan status pernikahanmu lagi, apalagi bersikap kurang ajar padarnu” “Padahal kita mengira kita sudah cukup mengenal seseorang,” gurnam Gretchen sambil merenung, dan tersenyum lebar. Dutch melirik Gretchen geli. “Ya, kami juga mengetahui beberapa hal tentang dirimu. terutania tentang kau yang ingin menjadi penyelamat dengan Colt .45,” kata Dutch. “Kuharap kau bisa bertemu istriku. Dani membantuku mencegah pencurian pesawat beberapa tahun lalu. Dan istri J. D., Gabby, pernah rnenembak seorang pria yang mencoba membunuh J. D. di hutan di Guatemala.” Gretchen terkesan. “Para wanita ini tidak berasal dan Texas, kan?” godanya. Dutch rersenyum dan Gretchen berjalan pergi, merasa aman dan terlindungi. * * * Tradisi prapernikahan sangat menakjubkan bagi Gretchen yang menuruti semua prosesi dengan gembira. para wanita lain di istana membantu menghias tangan dan kakinya dengan henna dan menunjukkan berbagai pesta serta acara mengobrol yang merupakan awal dari upacara anggun dan kuno yang akan memastikan dirinya menikah secara tradisional kepada suaminya yang tampan. Daftar tamu, seperti juga persiapan pestanya. sangat hebat. Gretchen hampir gemetar ketika membaca beberapa nama di daftar tersebut. Ia tidak terlalu senang melihat nama Brianne dan Pierce Hutton di puncak daftar, tetapi ia tahu Philippe pernah sangat mencintai wanita itu. Ketika Philippe berbicara tentang Brianne sekarang suaranva bernada hormat, tidak ada lagi gairah tersisa. Selain keluarga Hutton, Tate winthrop dan isterinya, Cecily, juga diundang, dan orangtua Tate, Matt dan Leta Holden. Matt adalah senator dari South Dakota dan Leta adalah istrinya. Ada kisah menarik di South Dakota. yang diceritakan Philippe dengan panjang lebar dan geli. Sepertinya Mrs. Tate Winthrop yang baru benar-benar membaptis Tate yang saat itu adalah walinya dengan semangkuk sup kepiting kental di acara penggalangan dana yang disiarkan di televisi. Gretchen sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Cecily. Ketika hari pernikahan tiba, persiapan untuk keamanan semakin ketat dan efisien. Pendeteksi logam dipasang dengan teliti. Alat-alat pendengaran dan kamera dipasang di tempatnya. Para pengawal Philippe terlihat banvak. bersama sekelompok pria Amerika bersetelan—Russell adalah salah satu di antara mereka. Gretchen, dalam pakaian pengantinnya yang indah, melihat pria itu menyelinap di sudut untuk menghindari pertemuan dengan kakak Gretchen yang tampan. Gretchen mencoba tidak tersenyum lebar melihat kecemasan di wajah agen itu. Kakak Gretchen memiliki reputasi, yang pantas dia dapatkan, karena menyulitkan hidup orang-orang yang tidak disukainya. Pagi sepertinya berjalan lama sementara limusin-limusin menjemput para tamu dari bandara. Lalu, tiba-tiba, kamera-kamera disiapkan dan dinyalakan. Band upacara mulai memainkan musik. Para tamu terhormat berkumpul di karedral utama yang dibangun orang-orang Spanyol empat abad lalu. Seorang uskup berjubah menunggu di altar sementara Marc menuntun Gretchen yang anggun rnenyusuri lorong berkarpet merah ke altar tempat Philippe, dalam jubah upacara resminya, menunggu Gretchen. Anehnva, Gretchen melupakan semua ancarnan Kurt Brauer. Keamanannya begitu ketat sampai seekor lalat pun tidak akan bisa menembus masuk. Gretchen yakin semuanya akan berjalan sempurna. Ia berdiri di samping Philippe dan mengucapkan sumpahnya dengan suara yang kuat dan jernih, dan tersenyum ketika Philippe mengucapkan sumpahnya dengan semangat yang sama. Rasanya seperti upacara di padang pasir, karena Philippe mengeluarkan belatinya sekali lagi dan memotong sekerat roti, lalu menyerahkannya kepada Gretchen. Mereka dinyatakan sebagai suami-istri, tetapi di altar itu Philippe tidak menciumnya. Philippe tersenyum pada Gretchen dan mengajaknya berbalik, berhadapan dengan para tamu untuk memproklamirkan Gretchen sebagai ratunya. Suara bom yang meledak di belakang mereka terasa tidak tepat. Gretchen mendengarnya dan tidak benar-benar menyadari sampai Philippe rnendorongnya ke lantai dan melindunginya dengan tubuh kuat pria itu. Gretchen merasakan karpet yang kasar di bawah pipinya dan ia terbatuk-batuk sementara partikel-partikel kecil menutupi gereja seperti awan kelabu. Terdengar suara tembakan dan histeria. Orang-orang berlari, didorong dan didesak keluar gedung sementara pengawal pribadi Philippe yang bersenjata lengkap dan dipenuhi naluri melindungi, mengerubungi Philippe dan Gretchen. Philippe menyumpah keras sambil membantu Gretchen berdiri dan menoleh melihat sang pendeta, yang baru saja berhasil duduk. Gretchen bergerak maju untuk membantu sang pendeta. “Oh, astaga, apakah Anda baik-baik saja, Bapa?” tanyanya cemas. “Ya, anakku. Dan kau?” tanya pendeta itu langsung. “Aku baik-baik saja.” Gretchen menatap suaminya, mengenali amarah dingin dalam diri Philippe yang membuat tulang punggungnya sedingin es, sementara Philippe melontarkan perintah kepada pengawal pribadinya. Dutch van Meer melompat melewati barisan kursi yang rusak dan berhenti di samping mereka dengan senjata kecil otomatis di tangan. Ia tidak terlihat seperti pria baik hati dan ramah yang dikenal Gretchen. Ia terlihat berbahaya seperti suami Gretchen, dan mata yang sedingin besi itu menatap mata suami Gretchen. “Brauer mengirim salah seorang mata-matanya dengan peledak C-4,” kata Dutch kepada Philippe dengan wajah muram. “Dia menyembunyikannya di mangkuk baptis. di antara semua tempat, dan itulah satu tempat yang tidak kita periksa. Aku minta maaf. Aku pasti sudah lebih tua daripada yang kusadari.” “Para pengawalku juga tidak memikirkannya, termasuk Bojo,” kata Philippe. “Kami menangkap orang yang memasang peledak itu dan menginterogasinya,” lanjut Dutch. “Katanya Brauer dan sekitar tiga puluh orang sedang dalam perjalanan ke sini dengan dua helikopter militer berteknologi tinggi. Mereka akan menyelinap di bawah radar dan mendarat di helipad, dengan maksud menculikmu di hadapan pers internasional.” “Rencana yang berani,” kata Philippe dingin. “Dan aku tidak membutuhkan bola kristal untuk tahu dari mana dia mendaparkan dana. Pamanku akan berharap dia tidak pernah mendengar Qawi! Begitu juga dengan Brauer, begitu aku selesai dengannya.” Ia melontarkan perintah kepada Hassan, yang selalu ada di dekat sana, dan pergi menemui ayahnya, yang sedang melambai-larnbaikan tangan dan berteriak. “Berhati-hatilah,” kata Dutch kepada Gretchen sebelum Philippe dan ayahnya bergabung dengan mereka. “Kau tidak boleh meremehkan Brauer. Kurasa kau berada dalam bahaya yang lebih besar daripada Philipe.” “Kenapa?” tanya Gretchen kaget. “Karena Philippe akan melakukan apa pun untuk menyelamatkanmu, dan Brauer tahu itu. Pernikahan ini adalah bukti keseriusan Philippe, karena dia memilihmu, bukan Mrs. Hutton.” Gretchen menahan umpatannya. “Aku akan berhati-hati. Marc muncul di samping mereka dengan pistol di tangan dan amarah dalam matanya. “Kau baik-baik saja?” tanya Marc pada adik kecilnya dengan kecemasan tajam. “Aku baik-baik saja. Kau sendiri?” Marc mengangguk. Ia memeluk Gretchen dengan Cepat, sementara Dutch pamit dan pergi berbicara kepada Philippe. Marc mengulurkan tangan ke arah sarung pistol di balik celananya dan mengeluarkan pistol tangan Smith & Wesson .38 berlaras pendek. Ia memberikannya kepada Gretchen. “Kau tahu bagaimana menggunakannya,” kata Marc. Gretchen mengangguk muram. “Kalau dia masuk ke istana, dia pasti menyesal. Berani-beraninya dia merusaak pernikahanku!” Marc tersenyum lembut. “Jangan sampai dirimu tertembak.” “Kau juga sama,” kata Gretchen. Ia mengamati wajah kakaknya yang keras dan mengulurkan tangan untuk membelai pipi Marc dengan lembut. “Kakakku yang malang,” katanya lirih. “Aku menyesal karena segalanya tidak berhasil untukmu.” Ketegangan terlihat di wajah Marc. Ia mengalihkan pandangan. “Hidup itu keras.” “Dia tidak menyalahkanmu,” kata Gretchen. Marc melirik ke arah Philippe. “Aku menyalahkan diri sendiri. Dan sekarang rasa bersalah itu tidak berguna uutuk kepercayaan diriku. Seharusnya aku memeriksa mangkuk baptis itu.” “Aku yakin semua agen federal di tempat ini memikirkan hal yang sama. Kau akan menyadari bahwa kepala pengawal pribadi Philippe mencoba tidak terlihat. Rasa bersalahmu tidak akan membantu.” “Suamimu benar-benar luar biasa,” kata Marc sambil tersenyum. “Aku menyukainya.” “Kau menyukainya karena Russell takut padanya,” tuduh Gretchen. Marc terkekeh dan memeluk Gretchen lagi. “Itu dia para pekerja media yang datang menyerbu reruntuhan,” kata Marc sambil melirik ke balik bahu. “Sembunyikan pistol itu dan keluarlah dari sini. Kau tidak perlu berada di bawah sorotan saat ini.” “Kau juga.” “Tetaplah berada di dekat para pengawal.” Gretchen mengangguk dan berjalan melintasi bebatuan dan kayu-kayu yang hancur, masih gemetar karena ledakan tadi dan rasa lega karena mendapati dirinya masih hidup. Philippe menghampiri Gretchen. Ia memeriksa Gretchen dengan saksama, mencari luka sebelum kemudian mendesah dan mencium kening Gretchen dengan lembut. “Hassan akan tetap bersamamu, dan Leila juga. Aku harus pergi.” “Pergi ke mana?” tanya Gretchen takut. “Untuk menangkap Brauêr sebelum dia bisa mendarat di istana,” kata Philippe, memberi isyarat kepada orang-orangnya, termasuk ketiga prajurit bayaran, Bojo, dan Marc. “Aku ingin ikut denganmu!” seru Gretchen. Philippe memegang bahu Gretchen dengan tegas. “Kau mengandung anakku,” katanya lembut. “Kau tidak boleh mengambil risiko, demi dirinya. Kau mengerti?” Gretchen menyentuh mulut Philippe dengan ujung jemarinya, khawatir dan tidak bisa menyembunyikan perasaan itu. “Aku tidak bisa hidup tanpamu” kata Gretchen serak. Pernyataan sederhana itu sangat luar biasa. Philippe mengertakkan gigi seraya mengangkat telapak tangan Gretchen ke mulut dan menciumnya dengan lapar. Hidup menjadi berharga. Sangat berharga. Ia menatap Gretchen dengan cemas dan perasaan tersiksa. Ia tidak ingin meninggalkan Gretchen, tetapi risikonya lebih besar kalau tinggal di sini dan menunggu Brauer serta pasukan gila-nya menyerang. “Jaga dia, kalau kau menghargai nyawamu sendiri!” seru Philippe pada Hassan, dan berbalik. “Dia akan baik-baik saja,” Dutch menenangkan Gretchen dengan muram tepat sebelum menyusul Philippe. “Pria yang bisa menyatukan sepuluh suku Badui yang berperang di seluruh Timur Tengah sangat mampu menghadapi teroris.” Gretchen mendongak menatap Dutch dengan menderita. “Oh, kuharap begitu!” Dutch terkekeh. “Kau harus membaca sejarah negara ini, Mrs. Sabon,” katanya sambil merenung. “Kurasa kau belum mengenal suamimu.” “Aku hanya menginginkan waktu untuk mengenalnya,” kata Gretchen, dan ia bersungguh-sungguh. Istana terasa seperti rumah sakit jiwa selama satu Jam berikut. Pers ada di mana-mana, berbicara kepada siapa pun yang sepertinya bisa berbahasa Inggris atau salah satu dari dua belas bahasa asing lainnya. Gretchen kabur bersama Leila ke wilayah wanita, bersama Hassan di belakang mereka, Hassan memegang senjata otomatis yang selalu dibawanya dan ia melihat ke kiri dan kanan koridor dengan hati-hati, berhenti untuk memeriksa setiap pintu. “Dia cemas,” kata Leila lirih. “Saya juga. Pria bernama Brauer itu seperti ular kobra, diam dan tajam. Orang yang memberitahukan kedatangannya tidak bisa dipercaya. Saya tahu dia melakukan banyak hal jahat demi uang, dan saya diberitahu para petugas keamanan tidak perlu melakukan banyak hal agar dia bicara. Mereka terlalu kecewa dan marah untuk memikirkan dengan jernih apa yang dikatakannya.” “Menurutmu dia memberikan informasi palsu?” tanya Gretchen cemas. Leila mengangguk. “Mungkin saja. Walaupun sepasukan orang mungkin tidak bisa menembus istana, satu atau dua pria dengan pengawal yang sudah disuap bisa melakukannya.” Gretchen merasakan besi dingin pistol di pahanya, tempat ia menyembunyikan benda itu di balik jubah pengantinnya dan menyipitkan mata sementara memikirkan apa yang harus dilakukannya. “Kita harus mengunci diri di kamar Anda, Lady,” kata Leila tegas. “Setidaknya di sana Anda akan aman.” Gretchen berbalik, masih mengerutkan kening. “Tidak. Di sanalah tempat yang paling tidak aman untuk kita,” gumamnya. “Kalau aku adalah Brauer, di sanalah aku akan berada saat ini. Itu tempat terakhir yang akan dituju orang-orang untuk mencarinya.” Ia berbalik kepada Hassan. “Aku ingin kau pergi dan menjemput pengawal yang kutendang, dia ada di kandang unta.” Mata Hassan melebar. “Maaf, Ma’am?” katanya. “Semua sha-KOOSH sedang bersama suamiku,” Gretchen mengingatkan. “Dia satu-satunya pengawal yang tersisa di sini. Dan bawa ayah Philippe bersamamu ketika kembali. Keselamatannya sama pentingnya dengan keselamatanku.” Untunglah Hassan tidak mengajukan pertanyaan. Ia langsung melakukan perintah Gretchen. “Kau dan aku akan membuat jebakan,” kata Gretchen kepada Leila. “Aku ingin kau pergi ke ruang cuci dan bawakan pakaian pria untukmu dan aku. Tapi aku menginginkan pakaian wanita yang pas untuk Hassan dan pengawal jangkung yang menjaga unta itu.” Mata Leila berbinar-binar jail. “Anda nakal!” Gretchen tersenyum lebar. “Aku orang Texas.” Katanya muram. “Bahkan teroris internasional pun harus tahu mereka tidak boleh berurusan dengan kami!” Pengawal yang dihukum itu pada awalnya bersikap gelisah di dekat Gretchen dan terus meminta maaf. Gretchen mengangkat sebelah tangan. “Aku tidak pernah ingin suamiku merontokkan gigmu,” kata Gretchen tegas. “Tapi aku memberimu kesempatan untuk melayani kami semua, dan aku berjanji padamu, suamiku akan sangat senang kalau kita berhasil melakukan ini. Kurasa Brauer ada di kamarku. Leila dan aku akan berpakaian seperti pria dan berpatroli di depan kamarku. Kau dan Hassan akan masuk ke kamarku tanpa terduga dan membiarkan diri kalian ditemukan Brauer. Dia yang akan terkejut, karena Leila dan aku adalah bala bantuan kalian. Dan kami akan memegang senjata. Ia menunjukkan pistolnya dan menarik pistol dari tali pinggang si pengawal, lalu menyerahkannya kepada Leiia.“Apakah kau bisa menembak?” tanya Gretchen pada Leila. “Tentu saja,” jawab Leila. “Suamiku juga bergabung dengan sha-KOOSH Sidi.” Ia tersenyum lebar. “Baiklah kalau begitu, kita akan masuk ke sana dan memberikan Brauer kejutan yang paling tidak menyenangkan dalam hidupnya. Dan kita akan memberikan cerita yang jauh lebih besar daripada pernikahanku kepada para media internasional yang saat ini berkumpul di depan istana! Sekarang ayo, kita mengenakan samaran kita dan bergerak!” Beberapa kilometer dari sana, Philippe yang marah duduk di samping Dutch dan Bojo di helikopter kecil sambil menjalin kontak dengan kendaraan militer yang lain. “Helikopter Brauer tidak terlihat di mana pun, itu juga kalau helikopter itu ada,” kata Philippe marah. “Tapi salah seorang petugas patroli di perbatasan menemukan bukti gerakan baru, dan satelit mendapatkan jejak dua mobil jeep yang bergerak ke arah istana. Kita sudah ditipu. Aku tahu seharusnya aku tidak memercayai informan itu!” “Kita hidup dan belajar,” kata Dutch pelan. “Aku minta maaf. Saat ini kami semua tidak lagi terlihat seperti pelindung orang-orang tak bersalah.” “Gretchen,” Philippe mengerang. “Dia dan ayahku ditinggalkan untuk melindungi diri sendiri. Bahkan sekarang mereka mungkin sudah mati! Berbalik,” kata Philippe kepada pilot dengan kasar. “Kembali ke istana, secepat mungkin!” “Ya, Sidi,” terdengar jawaban penuh hormat. dan beberapa detik kemudian helikopter itu sudah dalam perjalanan kembali. Para pria sudah bertukar pakaian, di ruangan lain tentu saja, dan mengenalan gellabia tipis dan hijab yang ditarik menutupi wajah mereka. Sang syekh tua, marah karena tidak diizinkan beraksi, berhasil dibujuk tetap tinggal di salah satu kamar kosong untuk sementara. Si pengawal muda melemparkan tatapan menuduh ke arah Gretchen dalam jubah dan igal-nya yang melambai-lambai. “Kalau ada orang yang mengata-ngataimu. aku akan bersumpah aku yang menyuruhmu memakai gaun seperti itu, aku berjanji,” kata Gretchen pada pengawal itu “pikirkan misinya, bukan prosesnya.” “Anda terdengar seperti sersan pasukanku.” kata Hassan. Ia terlihat sangat besar untuk seorang “wanita.” “Kalau kaubilang wajahku juga mirip dengannya. aku akan membuatmu mengawasi bukit pasir selama lima tahun ke depan,” kata Gretchen pada Hassan. “Aku tidak pernah berkata apa-apa. Ma’am. sungguh!” Gretchen tersenyum lebar kepada Leila, yang terlihat aneh seperti yang juga sebenarnya Ia rasakan. Ia menyembunyikan pistol di balik jubahnya yang berkibar dan memberi isyarat kepada Leila untuk melakukan hal yang sama. Ia memberi isyarat kepada para pria yang mulai berjalan pelan ke arah kamar Gretchen dan perlahan-lahan memasuki kamar. Dari koridor, Gretchen dan Leila bergerak cukup dekat untuk mengintip ke dalam. Memang benar, Kurt Brauer, seperti yang Gretchen duga, menunggu di balik tirai bersama dua pria bersenjata. Mereka melangkah maju. Mata Brauer tampak liar dan marah, dan sesaat ia terlihat bingung. “Di mana Lady Sabon?” tuntutnya dalam bahasa Inggris. Sudah jelas bahasa Arab bukan salah satu bahasa yang ia kuasai. “Lady? Dia dibawa ke rumah sakit,” kata pengawal yang mengenakan pakaian wanita itu. “Dia terluka parah, akibat ledakan di katedral! Kami datang ke sini untuk mengambil gaunnya.” Brauer terlihat santai. “Dan suaminya?” desak Brauer. “Bersamanya. Siapa kau? Apa yang kau lakukan di kamar wanita?” desak pengawal itu. Brauer bergerak gelisah. “Tidak apa-apa. Rumah sakit mana?” Si pengawal menyebutkan nama rumah sakit. Brauer memberengut ke arah para “wanita” itu. “Kalian terlihat sangat aneh, untuk wanita,” kata Brauer. “Keluarlah dan awasi koridor!” kata Brauer kepada kedua pria yang bersamanya. Mereka menyerbu ke arah pintu dan langsung berada dalam bidikan pistol-pistol Gretchen dan Leila. “Kalian mengucapakan satu kata saja, dan aku akan bisa melihat dinding koridor melalui lubang di kepalamu!” kata Gretchen dalam bisikan lirih, memaksa tawanannya menyingkir dari pintu. Leila mengulangi perintah itu dalam bahasa Arab yang tajam, pistolnya sendiri diacungkan ke perut tawanannya. Ia menambahkan perintah supaya mereka menjatuhkan senjata-senjata mereka. “Suara apa itu?” tuntut Brauer. “Kalian...!” Terdengar suara keras, singkat saja, dan Brauer melayang keluar ke arah koridor, dengan kepala lebih dulu. Ia jatuh ke lantai, dan sebelum bisa berguling, si pengawal yang menghina Gretchen sudah menghajarnya. Gretchen harus memuji teknik itu. Si pengawal mungkin memiliki sikap yang buruk, tetapi ia sangat cocok menjadi pengawal. Dalam waktu singkat, Kurt sudah dikalahkan, memar dan terikat rapi dengan jubah “para wanita” itu. “Bagus sekali, Anak muda!” kata Gretchen kepada si pengawal, matanya berkilat-kilat. “Aku bangga padamu!” Pengawal itu tersenyum lebar pada Gretchen. Ia dan Hassan melepaskan jubah yang mereka kenakan di atas pakaian mereka sendiri dan meninggalkannya di lantai sementara membawa ketiga tahanan mereka menyusuri koridor. Gretchen dan Leila hanya butuh waktu beberapa detik untuk melepaskan samaran mereka dan menyusul pria-pria itu. Sang syekh tua mengintip dari pintu kamar yang ditempatinya, melihat para tahanan, tersenyum lebar dan bergabung dengan menantu dan pelayannya dengan sangat bangga sampai Gretchen harus menahan senyum. “ini,” kata Gretchen sambil menyerahkan pistol kepada sang syekh tua dan mendorongnya ke depan tanpa benar-benar menyentuhnya. Menyentuh pria itu akan melanggar tabu setempat, yang sudah diketahuinya. “Susullah Hassan dan pria yang satu lagi. Anda akan tampak hebat di hadapan pers internasional!” Sang syekh tua berhenti, terlihat bingung. “Kau akan membiarkanku melakukan ini? Setelah semua hinaan yang kukatakan kepadamu tentang wanita Amerika dan orang asing?” Gretchen mengangkat bahu. “Anda akan menjadi kakek bayiku,” ia mengingatkan sang syekh tua. “Benar.” Pria itu tersenyum dengan penuh kasih sayang dan mengembalikan pistol Gretchen. Ia memeluk Gretchen. “Dan kau akan menjadi ibu cucuku. Kisah ini akan diceritakan berulang-ulang di sekeliling api unggun suku untuk waktu tak terhingga. Anakmu pasti bangga kalau tahu ibunya memiliki hati rajawali. Pergilah.” Ia mendorong Gretchen ke arah rombongan yang datang menghampiri para tahanan yang sudah terikat dan kalah. “Kurt Brauer,” kata suami Brianne, Pierce, sambil tersenyum dingin. Ia memberi isyarat kepada pers internasional untuk mendekat. “Anda yang berasal dari pers Amerika mungkin mengingat bajingan ini. Dia dan para tentara bayarannya menyerang Qawi dua tahun lalu, membunuh wanita dan anak-anak, dan mendapatkan hukuman singkat di penjara Rusia. Dia akan disidang di Qawi kali ini. Dan aku berjanji pada kalian, dia tidak akan bebas dengan cepat.” “Kau benar sekali tentang itu!” terdengar suara marah dari arah belakang Pierce Hutton. Philippe terlihat, masih mengenakan jubah upacara, bersama para tentara bayaran dan pengawal pribadi yang mendampinginya. Ia berhenti mendadak melihat Kurt dan para rekannya yang terikat. Lalu matanya beralih kepada Hassan dan pengawal yang didemosi, lalu pada Gretchen yang memegang pistol Marc dan Leila dengan pistol pinjaman yang berdiri di belakang pengawal-pengawal itu. Philippe tersenyum lebar. “Seperti yang bisa anda lihat,” serunya, “para wanita Qawi pun berbahaya!” Brauer dan kedua rekannya disingkirkan sehinga pers bisa memotret Gretchen dan Leila dengan pistol di tangan. Itu benar-benar kejadian besar untuk media. Philippe bersedekap dan tersenyum bangga sementara istrinya difoto, diwawancara, dipuji, dan dikagumi setengah penduduk dunia—termasuk para tamu kehormatan luar negeri. Wakil presiden Amerika Serikat menciumnya. dan delegasi Rusia serta Israel menjabat tangannya dengan hangat. Yang lain mendesak maju untuk menambahkan pujian mereka sendiri. Gretchen berpikir ia tidak pernah bisa menanggung kebahagiaan seperti ini. Sayanganya, dengan kondisi fisik dan kegemparan itu, semuanya terlalu berlebihan bagi Gretchen. Ia pingsan. Philippe langsung berada di sisinya menepuk-nepuk tangan dan membelai rambutnya di balik tutup “Gretchen. Sayang! Kau baik-baik saja?” tanya Philippe. Philippe terdengar sangat panik. Mata Gretchen terbuka. Ia merasa kebas, dingin, dan mual. Ia mendongak menatap suaminya dan tersenyum lembut. “Kurasa menangkap penjahat tidak baik untuk wanita hamil.” Philippe terkekeh, lega. “Mungkin tidak. tapi setidaknya kau memilih waktu yang tepat untuk pingsan. sayangku.” Ia membungkuk dan menggendong Gretchen. menyapukan bibirnya dengan lembut di mata Gretchen sementara Gretchen merangkulnya. “Apakah Anda berkata bahwa Anda sedang hamil, Mrs. Sabon? Maksudku, Lady Sabon?” salah seorang wartawar bertanya, kaget. “Sangat hamil,” Gretchen menegaskan. “Anda semua boleh datang ke upacara pembaptisannya. Tapi sekarang, yang saya inginkan adalah tempat tidur dan acar mentimun dengan saus stroberi.” Ia tersenyum kepada para jurnalis ketika mereka memahami lelucon itu dan mulai tertawa. Mengidam merupakan hal biasa bagi wanita hamil, tapi acar mentimun dengan saus stroberi rasanya terlalu berlebihan. Di belakang mereka, Kurt Brauer mengutuk diri sendiri, dan rekan-rekannya. Brauer dan rekan-rekannya dengan cepat dibawa ke penjara. Gretchen senang karena semuanya sudah berakhir. Ia mendongak dan mencium pipi suaminya yang ramping sebelum mengalihkan bibirnya ke leher Philippe dan mengencangkan pelukannya. “Apakah tindakanku bagus?” “Tindakanmu bagus.” Philippe mencium Gretchen dengan lembut. “Bagaimana kau bisa melakukannya?” Gretchen ragu. Rasanya menyenangkan kalau bisa menguasai pria. Kau tidak pernah tahu kapan ancaman yang bagus akan membuatmu mendapatkan sesuatu yang sangat kaubutuhkan. Gretchen mengerucutkan bibir. “Kau tahu, aku tidak ingat. Tapi Hassan dan pengawalmu yang didemosi itu menyelamatkan semua orang. Mereka mengejutkan Brauer di kamarku dan Leila serta aku mengacungkan pistol ke arah antek-anteknya. Hanya itu.” “Dutch dan yang lainnya sudah menahan antek-antek Brauer yang lain di luar. Dua di antaranya terluka, tetapi sisanya baik-baik saja. Dan untung bagi kita, tidak ada yang terluka serius dalam ledakan itu. Aku yakin Brauer ingin membunuh kita. Karena tidak berhasil, dia harus melakukan pekerjaan kotornya sendiri.” “Dia tidak pandai melakukannya,” gumam Gretchen. “Mungkin dia bisa mempelajari hal yang berguna ketika berada di penjara.” “Penjara kita tidak punya fasilitas seperti itu,” kata Philippe tanpa berpikir. Gretchen mendongak menatap Philippe sambil tersenyum nakal. “Nah, omong-omong tentang reformasi penjara….” Erangan Philippe terdengar oleh Leila dan ayah Philippe, yang mengamati adegan kecil itu dengan Senyum lebar. Tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa. RASANYA lama sekali baru Philippe kembali ke kamar mereka. Gretchen sudah melepaskan jubah pengantinnya yang indah sejak tadi dan berganti dengan kaftan yang suka ia kenakan di kamar. Philippe tersenyum sambil menutup pintu dan merentangkan lengannya. Gretchen berlari ke dalam pelukan Philippe, mendekap pria itu seolah-olah takut ada orang yang akan merampas Philippe darinya. “Semuanya baik-baik saja,” kata Philippe lembut, memeluk Gretchen erat-erat. “Brauer dan sebagian besar orang-orangnya sudah ditahan dan mereka akan diadili. Semuanya sudah berakhir.” Gretchen mempererat pelukannya. “Kita tidak boleh membiarkan Brauer lolos!” Philippe mencium kening Gretchen. “Ayo. Aku ingin kau bertemu beberapa orang.” “Tunggu,” kata Gretchen, lalu meraih aba-nya. Ia mengenakannya sebelum bergabung dengan Philippe, tersenyum lebar melihat kekagetan pria itu. Philippe meraih lengan Gretchen dan menariknya ke pintu. Ketika Philippe membuka pintu, Gretchen langsung mengenali Brianne Hutton, tetapi ia tidak mengenal pria berambut gelap dan bertubuh besar di samping Wanita itu, begitu juga dengan wanita muda berambut pirang dan pria berkulit gelap di sampingnya. “Kau sudah bertemu dengan Brianne,” kata Philippe sambil merangkul pinggang Gretchen dengan erat. “ini suaminya, Pierce, dan ini Cecily dan Tate Winthrop.” “Aku sangat senang bertemu dengan kalian,” kata Gretchen lirih sambil tersenyum. “Well,” kata Pierce Hutton. “Ada kemiripan.” “Ya, ada sedikit kemiripan,” kata Philippe sambil tersenyum puas kepada istrinya. “Memang, sedikit,” lanjut Pierce sambil merangkul Brianne erat di sisinya. “Kau terlihat baik, mengingat kehebohan pagi ini,” katanya pada Gretchen. “Kuharap kau tidak merasa lebih buruk daripada yang terlihat?” Gretchen bersandar di dada Philippe dan tersenyum mengantuk. “Tidak. Aku hanya lelah, tapi itu alami.” “Sangat alami, bagi seorang calon ibu,” kata Philippe dengan lembut. Suara Brianne yang terkesiap dipenuhi kejutan gembira. Mata hijaunya bersinar-sinar senang. “Oh, astaga, astaga, astaga!”
Philippe terkekeh dan rona merah menghiasi tulahg pipinya yang tinggi. “Seperti yang pernah kau bilang dulu, keajaiban masih terjadi di dunia ini. Gretchen membuatku kembali memercayai adanya keajaiban.” “Sudah jelas,” kata Pierce Hutton sambil bersiul rendah. Ia menatap wajah istrinya dengan ekspresi aneh dan Brianne memberengut ke arahnya. Rasanya seolah-olah Brianne menantang suaminya untuk terus curiga pada temannya, Philippe Sabon. Dan jelas sekali suaminya tidak lagi curiga. “Aku sendiri percaya pada keajaiban,” kata Cecily Winthrop lirih, dan tersenyum kepada suaminya yang tampan. “Tate dan aku sedang menunggu anak kedua kami. Anak pertama kami sedang bersama kakek dan neneknya di hotel. Syukurlah kami tidak membawanya atau putra kecil Brianne ke upacara!” “Pasangan Holden, Matt dan Leta, tinggal di hotel untuk menjaga anak-anak kami,” jelas Pierce sambil tersenyum. “Tadi itu menakutkan sekali,” kata Gretchen sambil mendongak menatap Philippe dan tersenyum lebar. “Tetapi tidak ada yang tidak bisa kita hadapi!” Para tamu tinggal untuk makan malam sebelum mereka kembali ke hotel. Mereka akan terbang pulang keesokan pagi. Marc mengucapkan selamat kepada adiknya, mengambil kembali pistolnya sambil tersenyum masam, dan berjabat tangan dengan adik iparnya dengan ramah. Gretchen dan Philippe kembali ke kamar mereka segera setelah itu, keduanya lelah dan siap untuk tidur. Tetapi di tengah jalan mereka bertemu ayah Philippe yang terlihat cemas dan muram. “Ada apa?” tanya Philippe. Sang syekh tua mengangkat bahu. “Tidak apa-apa. Well,” koreksinya sambil melirik ke arah mereka, “tidak banyak.” “Father,” desak Philippe. Pria tua itu bergerak gelisah dan mengangkat bahu. “Bapa Felipe baru saja memberikan kuliah paling menakutkan dalam hidupku.” “Tentang apa?” tanya Philippe. “Kau tahu istrimu menghina pengawalmu. Dia putra bungsu salah satu ketua suku Badui yang sangat senang karena kau menerimanya kembali dan menaikkan pangkatnya,” katanya pelan. “Ya, dia sudah membantu menyelamatkan nyawa Gretchen,” Philippe membenarkan. “Itu hal paling kecil yang bisa kulakukan.” “Well, Gretchen mengatakan banyak hal padanya, yang didengar oleh pengawalmu yang lain dan mengulangi ucapan itu sebagai bahan candaan. Karena mereka tahu Gretchen berasal dari Amerika, dan pengetahuan bahasa Arab-nya masih terbatas, aku menjadi tersangka yang mengajari Gretchen ucapan itu.” Ia berdeham, menghindari ekspresi geli di wajah Gretchen dan Philippe. “Aku dihukum selama dua minggu dari sekarang dan disarankan berhati-hati dalam memilih kata-kata.” Ia berdeham lagi. “Selain itu, baru-baru ini aku mendengarkan menantuku, aku berusaha mempelajari beberapa umpatan yang lebih bisa diterima.” Tiba-tiba ia tersenyum lebar dan melontarkan serentetan umpatan dalam bahasa Spanyol yang membuat Gretchen terkesiap. “Kalau Anda mengatakannya di depan Bapa Felipe, dia akan mencuci mulut Anda dengan sabun!” seru Gretchen dengan wajah merah. “Aku melakukannya!” Sang syekh tua mengerang. “Itulah sebabnya Bapa Felipe memberiku hukuman dua minggu!” Gretchen meledak tertawa. Mertua Gretchen melotot dan membelalak ke arahnya. “Kau bilang itu bahasa slang Amerika!” tuduhnya. “Memang,” aku Gretchen dengan suara tercekik, “tapi aku mempelajarinya dari kakakku. Dan tidak ada satu orang pun di Texas yang bisa menyainginya kalau dia sedang marah!” “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Philippe sambil mengangkat sebelah tangan. “Malah aku sudah mempelajari film-film Amerika lama untuk mencari inspirasi. dan aku punya sumpah serapah yang akan pantas diajarkan kepada keturunanku kalau dia sudah bisa bicara.” “Benarkah?” tanya Gretchen, masih mencoba bernapas. “Oke. Apa itu?” Philippe tersenyum lebar. “Horsefeathers—omong kosong.” Gretchen dan ayah Philippe berpandangan dan tiba-tiba meledak tertawa. Beberapa saat setelah itu, selagi berbaring dalam pelukan kuat suaminya, Gretchen memikirkan beberapa bulan terakhir dan merasakan kehangatan dalam dadanya sementara menikmati kebahagiaan baru dalam hidupnya. “Kita memiliki banyak hal,” gumam Gretchen mengantuk. “Aku tidak pernah bermimpi bisa sebahagia ini.” Lengan Philippe mempererat pelukannya. “Aku juga. Kau sudah membuat keajaiban dalam hidupku.” “Kita berdua yang membuat keajaiban itu.” Gretchen menarik satu tangan Philippe ke perutnya dan menahan tangan itu di sana dengan lembut. “Kuharap kita akan memiliki istana yang penuh dengan anak-anak, tetapi bahkan satu orang anak saja sudah lebih daripada yang berani kuharapkan.” “Aku juga.” Philippe mendesah sementara bibirnya menemukan bibir Gretchen dalam gelap. “Aku harus mengajarimu beberapa kata intim dalam bahasa Prancis, kalau aku punya waktu.” Gretchen tersenyum lebar. “Aku menyesal membuat ayahmu mendapatkan kesulitan. Aku tidak bermaksud begitu.” “Ya, kau memang bermaksud begitu,” tuduh Philippe lembut. “Well, dià memang membuatku kesulitan dengan umpatan dalam bahasa Arab itu.” “Dan kau tahu Bapa Felipe bisa berbahasa Spanyol dengan fasih.” “Aku hanya mengajarinya beberapa kata kecil yang tajam,” Gretchen membela diri. “Itu membantunya memperbaiki bahasanya.” “Dan bahasamu,” tambah Philippe mengejek. “Aku sudah berubah.” “Ha!” Gretchen melilitkan kakinya ke kaki Philippe. “Sungguh. Aku akan membuka lembaran baru.” Kaki Philippe juga melilit malas di kaki Gretchen. Ia tidak lagi malu pada Gretchen, atau cemas kalau harus berbaring bersama Gretchen di bawah sinar lampu. Gretchen membuatnya sadar bahwa bekas-bekas lukanya hanya buruk dalam pikirannya, bukan kenyataannya. Gretchen membuatnya menyadari banyak hal. Philippe menyapukan pipi Gretchen di dadanya yang berbulu sambil mendesah. “Mutiaraku yang berharga,” bisiknya. “Hmm?” Philippe tersenyum. “Kau ingat cerita tentang pria miskin yang menemukan mutiara berharga dan menjual Semua yang dimilikinya untuk membelinya? Aku rela melepaskan kerajaanku untukmu.” “Sungguh?” “Semua yang kumiliki.” Gretchen mengira Philippe bercanda. Tetapi Philippe tidak terdengar seperti sedang bergurau. Tangannya berhenti di dada Philippe. “Aku mencintaimu,” kata Gretchen lirih. Bibir Philippe menyapu kelopak mata Gretchen, membuat wanita itu memejamkan mata. “Aku mencintaimu sejak pertama kali melihatmu, berdiri cemas di depan concierge dan mencoba terlihat penuh percaya diri. Rasanya seperti melihat jiwaku sendiri. Aku tidak pernah bisa melepaskanmu, bahkan pada saat itu. Aneh sekali karena aku membutuhkan waktu yang lama untuk menyadarinya.” Gretchen hampir tidak bisa bernapas. “Kau tidak pernah berkata kau mencintaiku.” Philippe terkekeh lirih dan menarik Gretchen mendekat. “Dan tentu saja tidak pernah terpikirkan olehmu bahwa aku, pria yang tubuhnya merupakan mimpi buruknya, akan rela melepaskan pakaian di depan wanita karena marah?” Sekujur tubuh Gretchen bergeming. Hal itu tidak pernah terpikirkan olehnya. Ia menarik napas dengan keras. “Aku tahu,” kata Philippe serak, “aku tahu kau tidak akan pernah mengejek atau mencelaku ketika melihat bekas luka itu. Aku cukup percaya padamu untuk memperlihatkan kecacatanku padamu. Itu tindakan atas dasar cinta, walaupun aku belum menyadarinya saat itu.” “Aku juga.” Gretchen merasakan air mata bergulir di pipinya, dan ke dada Philippe. “Kenapa kau menangis?” “Karena kau mencintaiku lebih daripada hidupmu sendiri,” bisik Gretchen. “Aku mencintaimu lebih daripada hidupku sendiri!” balas Philippe langsung, dengan semangat menggebu-gebu. “Lebih dari apa pun di dunia ini!” Ia berguling dan bibirnya menemukan bibir Gretchen, mengasihinya, menelusurinya dalam keheningan hangat dengan lembut. “Aku akan mencintaimu sampai aku mati. Selamanya. Selamanya, sayangku!” erang Philippe di bibir Gretchen. Gretchen mendekap Philippe. “Kau tidak boleh meninggalkanku,” katanya dengan suara tersekat. “Seolah-olah aku bisa melakukannya!” Philippe memeluk Gretchen erat-erat dan mencium wanita itu dengan lapar. Gretchen balas mencium Philippe. Ketika semangat liar itu mereda sedikit, Gretchen meringkuk mendekat, merasa dicintai, dihargai, dan lebih bahagia daripada apa pun yang pernah diimpikannya. “Philippe?” gumamnya. “Hmm?” tanya Phlippe, bibirnya menggoda tulang belikat Gretchen. “Semoga saja itu bukan ucapan yang kaukatakan pada semua wanita dalam hidupmu,” goda Gretchen sambil meninju tulang rusuk Philippe. Philippe tertawa rendah dan menangkap tangan Gretchen. “Hei, kau menghinaku!” katanya pura-pura ngeri. “Horsefeathers!” Philippe terkekeh sementara bergerak perlahan ke tubuh Gretchen yang menyambutnya. “Nah, nah,” gumamnya ketika bibirnya menempel di bibir Gretchen. “Kau akan mendapat masalah kalau tidak berhati-hati dengan ucapanmu. Akan kuadukan pada Bapa Felipe.” “Apakah ini akan membuatku terjebak dalam masalah?” tanya Gretchen di bibir Philippe yang lapar. “Mmm-hmm,” gumam Philippe sambil tersenyum. “Kalau begitu,” bisik Gretchen, “akan kupastikan aku belajar banyak kata baru!” Itu hal terakhir yang Gretchen katakan untuk waktu yang sangat lama. *** Tujuh bulan kemudian, Ahmed Rashid Philippe Mustafa dilahirkan sebagai pewaris takhta Syekh Qawi. Percakapan dua spesialis terkenal dalam dunia medis terdengar saat upacara pembaptisan, membahas tentang rancangan tulisan bersama tentang anomali kesuburan dan kesalahan diagnosis fungsi seksual akibat luka. Orangtua si bayi tidak berkomentar.